Butuh 35 tahun bagi Hollywood untuk membuat sekuel dari film sci-fi Blade Runner. Dibesut oleh Dennis Villenueve yang sebelumnya menyutradarai Arrival, salah satu film sci-fi terbaik di tahun lalu, Blade Runner 2049 (selanjutnya disingkat BR2049) dengan efek-efek visual yang mencengangkan menyajikan penontonnya dunia distopia di masa depan. Villenueve membawa kita ke Los Angeles tahun 2049 dengan atmosfir noir.
K atau bisa juga dipanggil Joe (Ryan Gosling), protagonis di film ini adalah replicant (manusia buatan) yang bekerja sebagai polisi. Film diawali ketika K memburu seorang replicant yang hidup damai sebagai petani (Dave Bautista). Apa yang K temukan di area rumah si petani merupakan awal kisah detektif yang dilakukan K, menggali masa lalunya, dan mencari tahu sejarah kaumnya, replicant. Perjalanan detektif yang dilakukan K menuntunnya pada Rick Deckard (Harrison Ford), mantan polisi dari seri Blade Runner terdahulu yang tengah mengasingkan diri di Las Vegas yang telah hancur.
Villenueve menyoroti beberapa isu-isu kemanusiaan seperti alienasi diri, buruh anak, revolusi, dan kuasa absolut yang sudah menyerupai kuasa Tuhan. Walaupun menyoroti isu-isu kemanusiaan dan menghadirkan plot twist, BR2049 tidaklah begitu menantang pikiran penontonnya seperti yang dilakukan Villenueve pada Arrival.
Isu alienasi diri disinggung Villenueve melalui tokoh utamanya K, yang lebih sering berada dalam apartemen ketika tidak bekerja dan asyik dengan pacar hologramnya, Zoi. Soal penggunaan buruh anak, Dalam BR2049, buruh-buruh anak tersebut tinggal di sekitar tempat pembuangan akhir. Mereka dipaksa bekerja dan diawasi dengan ketat walaupun sedang dalam kondisi sakit. Mirip-mirip dengan kondisi yang ditemui pada buruh ‘dunia ketiga’.
Ide lain yang ditawarkan oleh film ini adalah para budak atau replicant suatu saat akan terlepas dari jerat rantai tuan mereka. Ide yang terdengar sangat Marxis. Namun, dengan jalan cerita dan plotnya yang lambat, serta K yang tiba-tiba terpilih sebagai ketua pemberontak tanpa didukung dengan sosoknya yang kuat, ide semenarik itu rasanya mengambang begitu saja.
Villenueve mengajak penontonnya menjadi detektif dan membawa penontonnya berpikir seperti K. K yang tak mengingat apapun dari masa lalunya mecoba mencari tahu masa lalunya yang samar-samar berdasarkan ingatannya. Perjalanannya mencari tahu jati dirinya ini menuntun ia berpikir bahwa ia adalah anak dari Deckard.
Kecuali efek visualnya yang memukau, BR2049 sangat menguji kesabaran penontonnya. Dengan durasi 163 menit dan alur yang sangat lambat, penonton BR2049 bisa pergi keluar bioskop, memesan makanan dan memakannya sampai habis, lalu kembali lagi ke bioskop masih di scene yang sama.
Sepanjang menonton BR2049, saya terus bertanya, apakah karena saya yang belum menonton seri Blade Runner sebelumnya, sehingga saya tak kunjung nyambung dengan film ini? Saat datang ke bioskop, saya punya harapan besar akan menonton sebuah mahakarya lain dari Dennis Villenueve. Ekspektasi tinggi saya pada Villenueve muncul tak lain karena Arrival, film yang juga digarap Villenueve, memiliki cerita yang menarik, sangat menantang penontonnya untuk berpikir, sekaligus menyentuh dengan pembangunan karakter tokoh utama yang kuat.
Yang membuat sebuah slow paced movie atau film beralur lambat menarik, bisa dari kuatnya elemen dialog, tokoh, kejelasan informasi, atau jalan cerita yang menarik, dan yang terpenting kesabaran penonton terbayarkan. BR2049 rasanya tak menyajikan itu. Dialognya biasa saja, tak ada yang bisa diingat. Durasi yang terlalu lama juga menghalangi penonton untuk mendapatkan kejelasan informasi dari apa yang dilakukan K dan mengapa ia melakukan kerja detektif dalam film ini. Kesabaran penonton ditipu dengan plot twist oleh Villenueve, hanya agar penonton memperpanjang durasi sabar mereka.
BR2049 rasanya belum bisa menyamai level Zodiac (2007) arahan David Fincher yang sama-sama bermain detektif atau There Will Be Blood (2007; selanjutnya disingkat TWBB) arahan P. T. Anderson yang ceritanya berputar pada tokoh Daniel Plainview (Daniel Day-Lewis). Kedua film tersebut sama-sama beralur lambat. Namun, setiap potongan adegannya dibuat dengan rapi dan memiliki karakter penokohan yang kuat.
Karakter Ryan Gosling dan Harrison Ford di BR2049 tidak begitu meyakinkan atau memiliki kharisma yang patut ditunggu penontonnya seperti Daniel Plainview dan Eli Sunday (TWBB) atau tidak ada tokoh yang sangat misterius dan sangat mengganggu seperti si Zodiac. Niander Wallace (Jared Leto) yang menjadi musuh di film ini dan memiliki kemampuan dan ambisi menyamai Tuhan, tersia-siakan. Ia tidak menjadi penjahat yang ditakuti dan mengintimidasi seperti, katakanlah, Frank Booth (Blue Velvet), atau berkharisma dan cerdas seperti Hans Gruber (Die Hard).
Sekuel dari Blade Runner ini menghadirkan pertanyaan, apakah memang film yang baik membutuhkan sekuel? Sejauh ini, sekuel dari sebuah film biasanya kesulitan menyamai kualitas film pendahulunya. Beberapa seri termasuk dalam pengecualian seperti Lord of The Rings atau The Dark Knight Trilogy yang konsisten dengan kualitasnya.
Klaim dari kritikus yang mengatakan film ini akan menjadi film sci-fi ‘klasik’ di masa depan, rasanya terlalu dini dan tergesa-gesa. Mereka perlu menengok kembali Ex-Machina (2015) atau Arrival (2016) untuk menata ulang definisi ‘klasik’ mereka. Yang jelas bagi saya, BR2049 seperti dunia yang dihadirkannya: mimpi buruk.
You might also like
More from Tontonan
Sinopsis Sokola Rimba
Sinopsis Sokola Rimba Film "Sokola Rimba" merupakan adaptasi dari kisah nyata seorang wanita bernama Butet Manurung yang didedikasikan untuk memberikan pendidikan …
The Commuter: Plot Twist dan Endingnya
The Commuter: Plot Twist dan Endingnya "The Commuter," dibintangi oleh Liam Neeson, membawa penonton dalam perjalanan menegangkan penuh kejutan. Michael MacCauley, …
Analisis Ending Film The Commuter
Analisis Ending Film The Commuter "The Commuter," sebuah film thriller yang dibintangi oleh Liam Neeson, membawa penonton dalam perjalanan yang penuh …