“Astra Bellva, nama yang cukup unik untuk seorang perempuan Jawa sepertimu.” Bintang mengangkat sebelah alis sambil menyesap kopinya.
Aku tersenyum. “Kenapa? Apa Astra atau Bellva atau gabungan keduanya lebih mirip nama lelaki?”
Dia menggeleng pelan. “Bukan. Awalnya kukira namamu Astraningrum atau Tri Astra bla bla bla… pokoknya berbau Jawa.”
Aku teringat percakapan kami saat kali pertama akhirnya bertatap muka setelah nyaris setahun hanya berkomunikasi melalu dunia maya. Kami berkenalan di salah satu grup pertemanan di dunia maya karena sama-sama pembaca dan pencinta buku. Secara kebetulan kami tinggal sekota.
Kantor tempatku bekerja hanya berjarak sekitar satu jam dengan kantor tempatnya bekerja sebagai programmer. Lalu, setelah pertemuan pertama itu ada pertemuan kedua, ketiga, kelima dan entah sudah keberapa. Dalam sebulan, minimal kami bertemu sebanyak satu kali.
“Hei, kok melamun?”
Di hadapanku, masih dengan lelaki sama yang kali pertama kutemui di kedai kopi ini, sekitar satu tahun yang lalu. Kami selalu bertemu di kedai kopi bernuansa modern dengan menu andalan kopi tradisional dari berbagai daerah di Indonesia ini. Bintang adalah seorang penggila kopi. Aroma tubuhnya seperti biji kopi yang telah disangrai. Serius.
“Kenapa namamu Bintang Timur? Apa karena kamu lahir di timur Indonesia?”
Bintang menatapku cukup intens. Jika wangi tubuhnya seperti biji kopi yang matang, maka matanya adalah biji kopi yang berwarna coklat. Matanya adalah hal pertama yang membuatku tertarik pada lelaki ini.
“Pertanyaanmu mengingatkanku saat kali pertama kita bertemu di sini. Ingat?”
Aku mengangguk.
“Lalu apa arti Astra Bellva?” Ia balik bertanya. Sangat Bintang sekali. Menjawab pertanyaan dengan pertanyaan.
“Kau masih menunggu pernyataan dari mulutku ketimbang mencarinya di internet?” Tanyaku sambil mengerling padanya.
Dia mengangkat bahu. “Aku lahir saat ayahku bertugas di Maluku Tenggara. Entahlah apa ada hubungannya dengan Bintang Timur atau tidak.” Bintang terkekeh. “Mungkin kedua orangtuaku menyukai bintang timur. Atau bisa jadi karena Kejora atau Johar terlalu mainstream. Kau tahu ‘kan kalau keduanya juga berarti bintang timur?”
Aku ikut terkekeh. Namanya sama uniknya dengan namaku. Dan aku senang akan itu. Karena selain nama unik, ada satu hal yang mungkin tak diketahui Bintang tentang nama kami.
“Tapi berkat nama ‘Timur’ ini aku jadi menyukai kopi-kopi yang tumbuh di daerah timur Indonesia. Eh, memang ada hubungannya, ya?” Dia menggaruk-garuk sebelah alisnya.
“Kopi Wamena?”
Ia mengangguk. “Selain kopi Wamena, ada kopi Toraja. Salah satu kopi terbaik di dunia. Apalagi kalau yang jenis Arabika Toraja Kalosi. Kamu tak perlu jauh-jauh ke Colombia atau Guatemala untuk menemukan cita rasa kopi arabika yang enak. Indonesia punya banyak! Kapan-kapan kamu harus pesan di sini. Apa kamu tak bosan tiap ke sini memesan menu yang sama terus menerus?” Bintang menunjuk gelas kopiku. “Caramel Macchiato?”
“Aku tak suka yang pahit-pahit,” kataku membela diri.
“Bukan kopi namanya kalau tak pahit, Astra.” Bintang menatapku dengan setengah kesal.
Aku hanya tertawa melihat ekspresinya.
“Beberapa kopi justru tak terlalu pahit saat masuk ke mulut. Serius, kamu harus mencoba menu kopi lain di sini—”
Percakapan yang sangat Bintang sekali. Apapun yang kami perbincangkan, semuanya akan berakhir dengan bahasan tentang kopi dari programmer satu ini.
I think that possibly, maybe I’m falling for you
Yes, there’s a chance that I’ve fallen quite hard over you
I’ve seen the paths that your eyes wander down, I wanna come too
I think that possibly, maybe I’m falling for you
Masih di kedai kopi yang sama. Aku masih memesan menu yang sama seperti sebelumnya. Caramel Macchiato. Lelaki di hadapanku dengan kopi Sidikalang-nya. Matanya masih seperti biji kopi dan aroma tubuhnya seperti kopi yang telah disangrai.
“Astra…,” panggilnya.
Aku mendongak menatap matanya. “Hmm?” Sebelah alisku terangkat. Ia menatapku serius.
“Apa yang membuatmu jatuh cinta pada Bintang Timur?”
Kurasakan wajahku memanas. Mungkin ekspresiku sekarang lebih parah dari yang kurasakan. Aku memang tak pernah menyembunyikan perasaanku pada Bintang. Bahkan dari caraku menatapnya, orang bisa menebak betapa aku mengagumi lelaki ini. Tapi ditanya seperti ini secara langsung olehnya, rasanya … entah.
Bintang mungkin mengerti rasa kaget dan kegugupanku. Ia tersenyum lembut. Senyum menenangkan khas Bintang. Ia mendekatkan wajahnya ke arahku lalu berbisik, “Kalau begitu, kamu saja yang bertanya, apa yang membuatku jatuh cinta padamu, Astra….”
No one understands me quite like you do
Through all o the shadowy corners of me
Aku merasa seperti anak remaja yang baru beranjak dewasa. Jantung berdebar saat bertemu lelaki pujaan hati. Wajah memerah. Oh, hal memalukan saat jatuh cinta ternyata juga melanda orang dewasa sepertiku.
Bintang menanti dengan sabar. Sialan lelaki ini, masih bisa santai menyesap kopi setelah membuatku setengah mati menahan malu seperti ini. Ingin rasanya masuk ke dalam kepalanya, mencari tahu apa yang sedang ia pikirkan sekarang setelah membuat anak gadis orang tak karuan.
Tuhan, jatuh cinta apakah senorak ini?
I never knew just what it was
About this old coffee shop I love so much
All of the while I never knew
Oke. Aku berusaha membuat tubuhku rileks dan sesantai mungkin. Saatnya membalikkan keadaan, Astra.
“Bintang—”
Ia menaikkan sebelah alisnya. Ada sedikit binar di mata itu. Aku melihat pantulan wajahku di matanya.
“Jadi….” Kutopangkan dagu di kedua tanganku. “Aku menyukai Bintang Timur si penggila kopi, yang tubuhnya beraroma kopi, dan matanya seperti biji kopi. Aku menyukai segala yang sangat Bintang sekali. Bintang yang senang menjawab pertanyaanku dengan pertanyaan, yang terkadang cerewet dan seringkali cuek, yang sering memberi materi singkat tentang kopi, dan Bintang yang selalu menatap Astra dengan hangat.” Kulihat makin banyak binar di matanya. Sayangnya, Bintang sangat pandai menguasai diri. Wajahnya tak terlihat malu-malu. Justru kulihat ekspresi puas di wajah dengan rahang tegas itu.
“Lalu?” Ia memancingku.
Tanganku bergerak menyentuh cangkir kopinya. Aku menyesapnya sekali. Pahit, tapi ada sesuatu yang menyenangkan saat masuk ke mulutku. Pahitnya langsung hilang. Aku lalu menatap matanya selama beberapa detik. “Lalu … apa yang membuatmu jatuh cinta pada Astra Bellva?”
Kini gantian ia yang mengambil gelas kopiku lalu menyesapnya. “Hmmm, ini tak terlalu buruk,” katanya. Ia mengedipkan mata ke arahku. “Kamu perempuan pertama yang tak pernah mengeluh bosan apalagi menampakkan wajah bosan saat kuajak bertemu di tempat yang sama—” Ia berhenti sejenak, memandang sekeliling ke kedai kopi ini. “Selama hampir dua tahun.” Ia terkekeh. “Kalau aku sudah puas dengan semua menu di kedai ini, mungkin kita bisa ganti tempat kencan,” kelakarnya.
Aku masih terpaku—mungkin dengan ekspresi yang lebih memalukan dari yang sebelumnya.
Bintang tersenyum tipis. “Apa kamu tahu kalau matamu tak kalah indah dengan definisi yang baru saja kauberikan padaku? Dan sebenarnya, aku tak butuh alasan untuk jatuh cinta padamu, Astra. Apa yang ada pada dirimu sudah cukup jadi alasan untuk membuat seorang Bintang Timur jatuh cinta….”
Because, oh, because I’ve fallen quite hard over over you…
“Lalu kapan kau akan melamarku?” Candaku, setengah jam setelah ‘masa-masa mendebarkan’ tadi lewat.
Bintang terbahak. Tangannya bergerak mengambil sesuatu dari tas hitamnya. Sebuah stoples bening berukuran kecil yang disodorkan padaku. Isinya biji-biji kopi. “Setelah kauberitahu arti nama Astra Bellva.” Ia memberi kode dengan matanya ke sesuatu di dalam stoples yang kini kupegang.
Sebuah cincin di antar biji-biji kopi. Tuhan….
Bintang, sekali lagi dengan ekspresi yang tak terpengaruh dengan apa yang baru saja ia lakukan, mengerling padaku. “Jadi, beritahu aku arti namamu….”
Aku tersenyum sambil mengguncang pelan stoples di tanganku. “Ibuku penyuka mitologi dan hal-hal yang berbau Yunani kuno. Bellva artinya pemandangan indah. Dan sepertinya arti nama itu sangat cocok untukku, setelah mendengar penjelasanmu tadi.” Aku balas mengerling padanya.
Dia hanya terbahak.
“Lalu kata Ibu, dia entah membaca di mana dulu, nama Astra lebih cocok untuk nama anak perempuan … yang dalam bahasa Gerika, Yunani berarti—” Aku sengaja membuatnya menunggu.
“Berarti?” tanyanya tak sabar.
“Bintang.”
Kali ini aku berhasil membuat Bintang terdiam dengan wajah sedikit bersemu. Kulihat percik binar di matanya. Masih ada aku di dalamnya.
Di belakang kami, Falling in Love at a Coffee Shop masih mengalun, entah sudah keberapa kalinya.
You might also like
More from Fiksi
Surat untuk Mantan
Lara, Ini mungkin adalah surat yang kesekian kali kutulis, tapi kali ini rasanya berbeda. Seperti ikan besar yang terjerat di jaring …
5 Cerpen Cinta yang Akan Bikin Kamu Terbawa Perasaan
5 Cerpen Cinta yang Akan Bikin Kamu Terbawa Perasaan Hey Sobat Semay, siap untuk terbawa oleh ombak perasaan yang mendalam? Ini …