“Nasibmu susah jika kamu menjadi perempuan. Lebih susah lagi bila kamu perempuan dan kamu janda. Lebih susah lagi jika kamu perempuan dan janda lagi miskin. Lebih susah lagi jika kamu perempuan dan janda dan miskin dan tinggal di pelosok terpencil Indonesia. Semua kesusahanmu itu belum genap jika kamu belum dipermainkan oleh negara.”
Begitulah kesan saya setelah menonton film Marlina: Si Pembunuh Dalam 4 Babak garapan sutradara Mouly Surya. Meski sudah menontonnya dua pekan yang lalu, namun gaungnya masih nyaring dalam benak saya.
Banyak orang yang menyebut film ini sebagaia film feminis. Sebab, ceritanya memang dimaksudkan untuk mengejewantahkan isu-isu tentang feminisme. Banyak adegan yang memang mengarah ke sana. Kentara sekali kalau si Marlina adalah perempuan yang dizalimi oleh para lelaki degil.
Namun, saya tak mau membahas film ini dari sudut pandang feminisme. Sudah terlalu banyak ulasan yang mengambil angle itu. Saya justru tertarik melihat film Marlina dari sudut pandang ide anarkisme. Ya, Marlina adalah wajah masyarakat anarkis. Marlina adalah seorang anarko.
Marlina hidup seorang diri pada sebuah rumah gubuk sederhana saja. Letaknya di tengah-tengah padang sabana yang begitu luas. Ia hidup bersama ternaknya. Bersama beberapa ekor unggas dan babi dan ternak lainnya. Tanpa suami. Ya, Marlina seorang janda yang hidup sendiri. Ia melakukan semua aktivitas hidupnya secara swadaya. Persis seperti ekologi masyarakat anarkis.
Sampai datanglah segerombolan perampok yang bakal mengambil ternak Marlina dan memperkosanya. Oh, tentu saja Marlina memutar otaknya. Marlina berusaha mencari siasat agar lepas dari jerat gerombolan perampok ini. Maka tercetuslah ide untuk membuat masakan yang sudah dibumbui dengan beberapa butir buah beracun. Dan berhasil. Beberapa orang perampok langsung rubuh dan mampus.
Hanya tinggal si Markus, yang merupakan pemimpin kawanan brengsek ini. Sialnya, Markus sudah kelewat syahwat dan memperkosa Marlina lebih dulu. Tapi untunglah, tangan Marlina cekatan untuk mengambil sebuah parang dan menebas batang leher Markus ketika dia sedang lemas. Persis seperti rakyat yang memenggal kepala pemimpin lalim.
Marlina lari dari rumahnya sembari menenteng kepala Markus.
***
Sampai babak itu, saya hanya bisa menghela napas. Akhirnya, ia bisa lepas dari petaka itu.
Tapi nasib sial memang belum juga berhenti mengikutinya. Marlina sedang diburu oleh adik Markus dan seorang kawannya. Marlina sebisa mungkin harus sampai di kantor polisi dan melapor.
Sesampainya di kantor polisi, Marlina malah dicampakkan begitu saja oleh para petugas. Anda, tahu apa yang dilakukan oleh bapak polisi yang terhormat itu?
Bermain bola ping-pong.
***
Marlina adalah alasan mengapa ide tentang anarkisme itu menarik untuk ditengok. Sebab, negara memang tak hadir untuk warganya. Alih-alih melindungi warganya dengan separangkat aparaturnya, negara bahkan bisa menjadi perampok itu sendiri. Mereka terus bisa memaksa warganya untuk membayar hak yang sebetulnya telah kita bayar. Negara selalu punya alasan untuk terus menghisap daya hidup warganya.
Marlina miskin. Dan ia tetap harus membayar untuk menyelesaikan kasusnya.
Marlina dipaksa untuk menunggu kasusnya beres tanpa kepastian. Jika ia ingin beres cepat, ia harus punya uang untuk menyewa dokter visum untuk memeriksa kelaminnya.
Inilah bentuk ironi paling getir dalam babak film ini. Saat seorang warga negara biasa meminta perlindungan aparatur negara, eh malah diperas. Fungsi negara memang tak lebih dari pemberi harapan kosong.
Menurut saya, pesan menarik dari film Marlina adalah ini:
ketika uang pajak kita bekerja untuk membayar polisi-polisi yang bermain bola ping-pong. Maka jangan heran bila seorang warga bisa dianggap tak lebih berharga ketimbang bola ping-pong.
Eh tapi tunggu dulu. Kita tak boleh suudzon dulu kepada para aparatur negara. Mungkin saja mereka memang sedang persiapan untuk SEA Games 2018. Siapa tahu loh?
Etapi, di SEA Games, ada kejuaraan bola ping pong ya? Atau gimana?
You might also like
More from Tontonan
Sinopsis Sokola Rimba
Sinopsis Sokola Rimba Film "Sokola Rimba" merupakan adaptasi dari kisah nyata seorang wanita bernama Butet Manurung yang didedikasikan untuk memberikan pendidikan …
The Commuter: Plot Twist dan Endingnya
The Commuter: Plot Twist dan Endingnya "The Commuter," dibintangi oleh Liam Neeson, membawa penonton dalam perjalanan menegangkan penuh kejutan. Michael MacCauley, …
Analisis Ending Film The Commuter
Analisis Ending Film The Commuter "The Commuter," sebuah film thriller yang dibintangi oleh Liam Neeson, membawa penonton dalam perjalanan yang penuh …