“Kalian para perawan remaja, telah aku susun surat ini untuk kalian, bukan saja agar kalian tahu tentang nasib buruk yang biasa menimpa para gadis seumur kalian, juga agar kalian punya perhatian terhadap sejenis kalian yang mengalami kemalangan itu….Surat kepada kalian ini juga semacam pernyataan protes, sekalipun kejadiannya telah puluhan tahun lewat….”
Adalah penggalan narasi dalam Memoar 246 halaman milik Pramoedya Ananta Toer yang berjudul Perawan Remaja Dalam Cengkeraman Militer (PRDCM). Ditulis pada tahun 1979 yang berjarak lebih empat tahun dengan penulisan Kwartet Buru pada 1975 sewaktu menjadi tahanan politik di Pulau Buru dalam kurun waktu Agustus 1969-12 November 1979.
Saya tidak pernah terpikirkan sebelumnya untuk membeli Memoar tersebut. Membaca resensi sebelumnya saja belum pernah, namun saya mempunyai ketertarikan besar pada karya-karya Pram lainnya pasca mengkhatamkan Kwartet Buru yang terdiri dari Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, dan Rumah Kaca. Sehingga sewaktu pergi ke toko buku dan melihat Memoar itu terselip di antara tumpukan buku lainnya, saya tak perlu ambil pusing untuk segera meraihnya. Dan yang mengejutkan akan isinya adalah: semacam peringatan keras bagi kita semua.
Memoar ini -atau sebut saja, catatan ini disusun dari investigasi Pram dan teman-temannya sewaktu diasingkan di Pulau Buru, terkait perempuan korban penipuan balatentara Jepang yang berjanji akan menyekolahkan mereka di Tokyo dan Shonanto yang justru malah dijadikan budak seks balatentara Jepang untuk kemudian berakhir dan dibuang begitu saja di Pulau Buru.
Janji itu dihembuskan pertama kali pada tahun 1943 dari kekuasaan tertinggi di Jawa -Pemerintah Balatentara Pendudukan Dai Nippon. Janji yang tidak pernah dicatat melalui harian atau barang cetakan lain -cuma berupa desas-desus.
Tak ada yang dapat mengatakan sudah berapa kali Jepang melakukan pengangkutan. Juga tidak jelas berapa puluh ribu perawan remaja yang telah diangkutnya sampai akhir kekuasaannya di Jawa. Sebagian memang ada yang berhasil kabur, sebagian ada yang bunuh diri, dan kebanyakan memang pasrah.
Dari catatan yang terkumpul, para perawan itu berusia kurang dari 15-17 tahun, berasal dari kota besar, kecil, madya, atau dari kampung dan desa yang ada dalam kawasan kota.
Sebagian besar merupakan putri dari para pembesar jawa dan pejabat pemerintah lainnya. Propaganda itu ditangani oleh Sendebu dan diteruskan kepada Pangreh Praja, Camat, Lurah, dan perangkat desa dengan konsekuensi mereka harus memberi contoh kepada rakyat demi keselamatan jabatan, pangkat, dan keluarga.
Tak sedikit yang menyebutkan jika ini serupa doktrin asimiliasionisme. Di mana para perempuan menjalani ‘perintah’ tidak dengan kerelaan, tetapi semata-mata karena hidup tidak memberi pilihan.
Catatan ini disusun beberapa bagian. Bagian pertama adalah investigasi Pram sendiri yang berbaur dengan warga Buru dan bertemu langsung dengan korban pembuangan tentara Jepang yang hidup dan beranak bersama warga Alfuru, pulau Buru. Selanjutnya adalah catatan teman-teman sepembuangannya.
Saya sangat menikmati narasi visual yang dihadirkan di Novel ini. Namun, ada beberapa bagian yang menurut saya cukup membosankan (atau mungkin saya yang memang mudah bosan), dan itu ada di Bab 8 Menjejak Ibu Mulyati Dari Klaten yang ikut dibuang ke pulau Buru dan harus hidup berdampingan dengan warga Alfuru, terpaksa memegang adat dan kepercayaan lokal, dan meninggal dalam keadaan menyedihkan karena wabah penyakit.
Kendati demikian harus saya akui bahwa di bab ini lah Pram menyematkan tanda seru bagi pembacanya. Sebagaimana kutipan tentang Ibu Mulyati di Bab 8;
“Terakhir kali ia melihat Malat (Mulyati) adalah setelah Jepang menyerah pada Sekutu. Pada waktu itu ia masih suka menangis. Pertanyaan yang timbul: mungkinkah seorang anak yang cengeng barang dua puluh tahun kemudian bisa berubah menjadi penentang dan pelawan? Bisa. Penderitaan tak tertanggungkan bisa mengakibatkan tiga macam sikap: menyerah tanpa syarat, melawan, atau membiarkan diri hancur. Mulyati memilih melawan.” (Hal 117)
Ini adalah Novel sejarah yang dirasa penting bagi generasi setelahnya. Saya tak perlu menyebut alasannya kenapa, karena terkesan melecehkan pembaca, selain itu jauh-jauh hari Pram sudah menyebut “Saya ingin menulis sejarah dalam bentuk novel, dan mendorong semua orang, dari pelajar sekolah dasar sampai profesor, untuk hidup dalam sejarah.”
GP, 2013
You might also like
More from Cerapan
Silent Treatment dalam Pertemanan: Saat Diam Menjadi Senjata
Silent Treatment dalam Pertemanan Dalam pertemanan, komunikasi adalah kunci utama untuk menjaga hubungan tetap sehat dan harmonis. Namun, apa jadinya jika …
Time Management Matrix: Strategi Efektif Mengelola Waktu dan Prioritas
Time Management Matrix: Strategi Efektif Mengelola Waktu dan Prioritas Dalam kehidupan yang semakin sibuk, kemampuan untuk mengelola waktu dengan baik menjadi …
Kebutuhan Tidak Penting tapi Mendesak
Kebutuhan Tidak Penting tapi Mendesak Dalam kehidupan modern yang serba cepat dan dinamis, sering kali kita dihadapkan pada berbagai macam kebutuhan. …