Namanya Putri Dita Mulya, biasa disapa Uty mahasiswa jurusan tari di salah satu kampus Seni di Jakarta. Beberapa tahun lalu, ia memintaku untuk menemani penelitian tugas kuliahnya. Cukup unik, pasalnya ia akan mengadakan penelitian di kawasan Taman Nasional Bukit Tigabelas (TNBT). Taman Nasional Bukit Tigabelas (selanjutnya Bukit Tigabelas) adalah taman nasional yang terletak di Sumatera, Indonesia.
Bukit Tigabelas ini terletak di provinsi Riau dan Jambi. Taman seluas 181.202 hektare ini terdiri dari hutan hujan tropis dan terkenal sebagai tempat terakhir spesies terancam seperti Orangutan Sumatera, Harimau Sumatera, Gajah Sumatera, Badak Sumatera, Tapir Asia, Beruang Madu dan berbagai spesies burung yang terancam. Bukit Tiga Belas juga merupakan tempat tinggal bagi Orang Rimba dan suku pedalaman Palang Tuha. Lokasi yang akan kami tuju adalah provinsi Riau, tepatnya di daerah kecamatan Batang Gansal, kabupaten Indragiri Hulu. Di sanalah tempat keberadaan suku Palang Tuha. Kami akan menggali informasi terkait ritual gerak rentak Kibanaran. Berdasarkan informasi yang kami terima rentak Kibanaran adalah ritual pengobatan yang ada di suku Palang Tuha. Uty akan mengadaptasi gerak rentak Kibanaran ini sebagai karya akhir tarinya di semester depan.
Sebelum berangkat aku dan Uty melakukan berbagai persiapan, dimulai mencari data tentang kawasan Bukit Tigabelas hingga informasi untuk kebutuhan hidup selama penelitian. Persiapan kami lakukan dengan sangat matang. Kami sudah mencari tahu transportasi dan akomodasi yang akan kami gunakan. Kami akan melaksanakan penelitian selama tiga hari pada bulan Desember. Selama mencari informasi terkait suku Palang Tuha, aku menghubungi orang-orang yang sebelumnya sudah kukenal di kabupaten Indragiri Hulu. Tanggapan mereka rata-rata, “Kok nekad? Hati-hati nanti gak bisa pulang”, “Waduh, yakin? Baik-baik nanti gak bisa pulang”, “Mau ngapain sih kesana? Gak takut, nanti gak bisa pulang lho”, “Jangan kesana, nanti gak pulang lagi”.
Tanggapan tersebut justru membuatku penasaran ada apa dengan suku pedalaman tersebut. Waktu kecil aku pernah dengar bahwa suku Palang Tuha terkenal dengan ilmu magisnya, di sana ada seorang dukun yang sangat terkenal sakti mandraguna. Mitos yang berkembang di masyarakat jika ada pengunjung yang bertamu ke kawasan suku Palang Tuha harus menjaga sopan santun, tidak boleh membuang air ludah di depan mereka, dan jika mereka tertarik maka sulit bagi orang tersebut untuk pulang atau kembali ke rumah. Tapi itu menurutku hanya mitos belaka, kalau kita tidak pernah mengalami secara langsung kenapa mesti takut. Kita tidak akan pernah tahu apa yang terjadi kalau kita tidak pernah mencoba untuk menjalaninya, begitu pikirku.
Hari yang telah ditentukan tiba. Sesuai dengan rencana awal, kami melakukan perjalanan dengan penerbangan dari bandar udara Soekarno Hatta di Jakarta dengan tujuan bandar udara Sultan Thaha di Jambi. Kami tiba di Jambi pukul 08.00 WIB di bandara Sultan Thaha, Jambi. Selanjutnya kami menunggu jemputan mobil angkutan yang telah kami hubungi pada hari sebelumnya. Tidak lama menunggu, mobil pun datang. Mobil Innova berwarna silver dengan nomor polisi BH 2021 BI tersebut berhenti tepat di depan pintu kedatangan. Si sopir turun dan menyapa kami, barang-barang kami dimasukkan ke dalam bagasi mobil. Sebut saja namanya ‘Andi’. Badannya kurus tinggi, rambut ikal, berpakaian kemeja kotak-kotak dominan warna hitam, dengan celana jeans warna biru sedikit agak kusam. Dia mempersilakan kami untuk masuk ke dalam mobil.
“Abang sama Ayuk dari Jakarta, ya?”, sapa Andi. (Ayuk, sapaan untuk wanita di Jambi)
“Iya, Bang,” jawabku.
“Mau ke mana?”, tanyanya lagi.
“Ke Rengat, Bang.” Rengat, adalah ibukota kabupaten Indragiri Hulu, Riau. Kami memang sudah berniat untuk melakukan persinggahan pertama di Rengat.
“Kita ke loket dulu, ya.” Ajaknya, ramah. Andi menjelaskan kalau kami harus ke loket dulu untuk menunggu penumpang yang lain. Mobil ini khusus angkutan dengan jumlah penumpang 6 orang. 1 orang di samping supir, 3 orang di belakang supir dan 2 orang duduk di bangku bagian belakang.
Tiba di loket, tampak jelas tulisan ‘Travel Puak Anak’. Si sopir meminta kami untuk turun dan membayar ongkos perjalanan. Aku dan Uty pun turun dan menuju kasir.
“Atas nama siapa?”, tanya seorang kasir berbadan tambun dengan tatapan tajam menuju ke arah Uty.
“Deddy, Pak, dua orang,” jawabku.
“Rp280.000, dua orang.” Si kasir menyobek dua lembar tiket. Uty mengeluarkan uang dari dompetnya untuk membayar ongkos travel tersebut.
Arloji menunjukkan pukul 09.00 WIB, penumpang yang lain sudah berkumpul. Kami pun dipersilakan untuk masuk ke dalam mobil dan bersiap melakukan perjalanan. Aku dan Uty duduk di bangku tengah. Uty tepat di belakang sopir dekat jendela, sedangkan aku di tengah antara Uty dan penumpang lain.
Kami sengaja mengambil penerbangan dari Jakarta ke Jambi, bukannya dari Jakarta ke Pekanbaru, karena berdasarkan rute untuk menuju Taman Nasional Bukit Tigabelas lebih dekat ditempuh melalui Jambi, meskipun Bukit Tigabelas yang kami tuju adalah yang masuk ke kawasan provinsi Riau.
Sepanjang perjalanan pemandangan kiri dan kanan menyajikan hamparan kelapa sawit yang tersusun rapi, bak barisan tentara yang sedang berlatih di lapangan. Jalanannya turun dan naik bukit seperti sedang berada dalam sebuah wahana yang ada di Ancol. Belum lagi tikungannya yang tajam, tak jarang badanku harus oleng ke kiri atau kanan. Mobil yang kami tumpangi melaju begitu cepat bukan main!
“Wuuueeeeekkk,” terdengar suara-suara semi growl yang tak asing lagi. Ya, apalagi kalau bukan muntah. Penumpang di belakangku tampaknya tak tahan naik mobil dengan jalanan yang lumayan ekstrim. Rupanya si sopir punya bakat menikung jalanan tiada tanding. Mobil-mobil truk dia salip dengan lancar tanpa hambatan, meskipun terkadang ia memencet klakson panjang hingga memekakkan telinga.
Penumpang di belakang satu orang wanita setengah baya dengan seorang anak perempuannya. Yang muntah adalah anak perempuannya. Sempat nguping percakapan dengan kasir di loket tadi, dua orang ini ternyata mau pergi ke Pengalihan, salah satu kecamatan yang ada di kabupaten Indragiri Hilir.
Aku penasaran dengan pemuda di samping kiriku, wajahnya tampak santai dengan satu buah tas sandang yang dipangku. Aku coba menyapanya siapa tahu dia tahu informasi tentang suku Palang Tuha.
“Bang, mau ke mana?”, tanyaku.
“Ke Tembilahan Bang, abang kemana?”, sahutnya.
“Ke Rengat, Bang.”
“Orang Rengat, ya?”
“Bukan Bang, kami berdua dari Jakarta.”
“Ada acara di Rengat?”
“Kami mau penelitian ke suku Palang Tuha.” Tiba-tiba ibu di belakangku nyamber tanpa permisi.
“Mau ngapa kalian kesana, Dek? Nyari obat, ya.”
“Bukan Bu, tugas kuliah,” jawabku sembari menoleh ke belakang.
“Hati-hati kalian di sana, ibu pikir kalian mau bedukun,” sambarnya. Palang Tuha memang terkenal dengan dukun dan ilmu magisnya, tak heran jika ibu ini berkata demikian. Ibu ini pikir kalau kami mau berobat ke dukun di Palang Tuha.
“Tidak, Bu,” jawabku.
“Jangan sembarangan makan kalian di sana. Hati-hati!” Sarannya dengan mimik serius. Aku diam saja, daripada nanti ia bercerita mitos yang lebih banyak lagi.
Jam sudah menunjukkan pukul 12.30 WIB, itu artinya kami sudah melakukan perjalanan selama tiga jam setengah. Mobil kami berhenti di salah satu rumah makan di daerah pelabuhan dagang, Kec. Tungkal Ulu. Aku dan penumpang lain turun. Kami dipersilakan untuk istirahat makan sejenak.
Sekira 15 menit, kami pun melanjutkan perjalanan kembali. Aku bertanya ke sopir. “Bang, nanti lewat Rengat, kan?”
“Tidak Bang, nanti abang berhenti di Simpang Granit, abis itu abang nyambung pakai mobil lain.”
Aku kaget, kok dari tadi si sopir tidak kasih tahu, si kasir juga diam saja. Kok baru sekarang dia kasih tahu kalau kami harus berganti mobil. “Laaah, kok gak lewat Rengat, Bang. Terus nanti saya naik apa ke Rengatnya, huh?”
“Iya Bang, mobil ini memang tidak lewat jalur Rengat. Ini mobil lewat Simpang Granit ke arah Tembilahan. Nanti abang berhenti di Simpang Granit terus nanti naik mobil omprengan aja.”
Dalam hatiku, “kampreeeeeeet, bedebaaaaah!” Itu artinya kami akan naik kendaraan lain lagi, dan belum tentu dapat dengan cepat. Bersambung…
You might also like
More from Fiksi
Surat untuk Mantan
Lara, Ini mungkin adalah surat yang kesekian kali kutulis, tapi kali ini rasanya berbeda. Seperti ikan besar yang terjerat di jaring …
5 Cerpen Cinta yang Akan Bikin Kamu Terbawa Perasaan
5 Cerpen Cinta yang Akan Bikin Kamu Terbawa Perasaan Hey Sobat Semay, siap untuk terbawa oleh ombak perasaan yang mendalam? Ini …
2 Comments
tolong chapter selanjutnya segera di publish karena saya sudah penasaran sekali biasanya kalau saya penasaran saya gabisa tidur dan kalau saya gabisa tidur nanti saya ngantuk pas di kantor, jadi demi terbayarkannya rasa penasaran saya dan demi terjaganya kualitas tidur saya, mohon segera dipublish ya. Terima kasih
Anyway seru banget ceritanya, keep writting ya thor
Bg ehennnn 👍👍 . Kerennn lohh bg Jadi penasaran selanjutnya apaan. . Jadi handak bulik jua kesana tuh . Bang cepat2 di publish yaa . Pasti selanjutnya lebih seru dehh. . ditunggu bg ..