Dunia makin kesini jadi kian serius dan kurang asyik. Orang-orang kelewat ingin kelahi dan berdebat atas nama ideologi. Orang-orang kebanyakan ingin tampil cemerlang dengan segerobak teori yang mereka yakini logis dan absah. Namun sialnya, sebagian dari mereka tak lebih dari seseorang yang ingin meraup popularitas dengan gincu. Sedikit kenes, asal endeeesss.
Maka tak heran bila hari ini menulis sesuatu tentang teori filsafat bisa langsung mengerek pamor. Tentu, ini jadi sesuatu yang baik saya kira. Karena artinya banyak orang yang bakal sadar bahwa intelektualisme itu penting sekali. Saya sepakat pada titik ini.
Tapi masalahnya, hal ini juga menimbulkan konsekuensi baru. Misalnya, orang yang kecanduan membaca buku pengantar logika karya Alex Lanur, bakal terus tergoda untuk menulis semuanya dengan landasan logika. Sekali lagi, saya bilang bahwa ini bagus karena membuat orang terbiasa berpikir dalam prinsip benar dan lurus.
Masalahnya, apakah semua perkara hidup harus mashoook dengan semua perkakas logika? Apakah semua perkara harus bebas dari semua logical fallacy seperti Ad hominem sampai Bandwagon Fallacy?
Ah, betapa mengerikannya hidup jika melulu harus diukur dengan perkakas logika. Akhirnya, kita tak ubahnya seperti kecerdasan buatan yang bekerja dengan basis algoritma sistem. Kita pandai, tapi apa iya dirimu mau disama-padankan dengan Google, Instagram, dan Facebook? Nggak kan, Bosque?
Kita memang tak boleh kasih kendor kepada semua kedunguan yang berkeliaran di sekitar kita. Tapi ngendorin otak itu juga perlu. Kalau terlalu kenceng nanti bisa spaneng. Kita perlu hidup yang woles agar bisa dinikmati sensasinya.
Contohnya, seperti hidup masyarakat Bikini Bottom. Kita terkadang perlu menjadi Patrick yang hidupnya bahagia tanpa berpikir. Asal perut kenyang dan hati senang. Kita terkadang perlu hidup seperti Spongebob yang tanpa obsesi berat untuk menaklukkan dunia, hanya sekadar menjalani pekerjaan dengan gembira belaka. Kita kadangkala, juga perlu hidup cuek-bebek terhadap kowek-kowek dalam sistem Kapitalisme Lanjut ini yang akan berlanjut dan akan terus berlanjut sebagaimana tuan Krab yang mata duitan itu.
Atau bahkan, kita hanya perlu menikmati hidup sembari terus merawat sifat skeptis seperti Squidward.
Karena, hidup di Bikini Bottom bisa jadi life goals yang asyik untuk dicapai. Kan enak tuh, bisa bakar marshmellow di dalam air tanpa mesti bertanya: lho, ini nggak logis, nih. Masak api bisa nyala di dalam air? Maka ujungnya akan jadi repot lagi. Padahal, kita hanya perlu menikmati itu semua dan membiarkan akal sehat rehat untuk sejenak. Tak lain supaya kepala ini selamat dari ancaman bunuh diri.
Walhasil, perbanyaklah nonton Spongebob ya, gaeeees. Baca filsafat secukupnya saja. Hidup goblok itu nggak salah, kok. Jangan percaya teuing sama Young Lex yang nakal itu. Goblok sesekali perlu diakui, daripada terus menerus mengaku pintar dengan IQ 140 derajat? Malu-maluin ih…
More from Rehat
Kelemahan Tali Pocong: Simpul yang Gampang Lolos?
Kelemahan Tali Pocong: Simpul yang Gampang Lolos? Tali pocong, sering kali dianggap sebagai senjata pamungkas yang bikin bulu kuduk merinding. Tapi …
Kelemahan Pocong: Menguak Sisi Lemah Si Pembalut Keliling
Kelemahan Pocong: Menguak Sisi Lemah Si Pembalut Keliling Pocong, sosok ikonik dalam mitologi horor Indonesia, kerap digambarkan sebagai makhluk yang melompat-lompat …