Suara itu dari kamar 334, aku segera berjalan cepat kembali ke kamar. Setelah membuka dan menutup kembali pintu aku segera kembali ke kasurku. Sayup-sayup aku mendengar suara Novi sedang bernyanyi.
Si pipik si puang-puang manda
Si pipik si puang-puang manda
Urek putuih dagiang basambung
Urek putuih dagiang basambung
Mancicik darah tiok alai bulunyo
Mancici darah tiok alai bulunyo
Pai…Pai…Pai…!
Tampekmu bukan disiko
Aku duduk, sejurus aku melihat Novi tertidur dan matanya terpejam. Tampaknya dia ngelindur. Aku kembali tidur dan menutup rapat selimutku hingga ke bagian kepala. Tidak berapa lama aku mendengar ada suara perempuan menangis. Awalnya aku takut untuk membuka selimut, tapi karena aku merasa suara itu tak asing aku membuka pelan-pelan. Aku melihat Novi sedang duduk di depan meja rias sambil menangis. Aku membuka selimut dan duduk di kasur.
“Vi, Novi kenapa?” Tanyaku heran.
“Gak tau Bang, Novi pengen nangis aja,” terangnya.
Ayu terbangun dari tidurnya.
“Novi kenapa, Ded?” Tanya Ayu dengan matanya yang masih setengah mengantuk.
“Gak tau…” Terangku.
Aku berdiri dan menghampiri Novi.
“Novi lihat, apa?” Aku berusaha menggali informasi dari Novi. Karena aku tahu anak indigo satu ini pasti telah mengalami sesuatu.
“Kita pergi yuk, Bang!” Pintanya.
“Mau kemana? ini kan sudah hampir jam 12 malam.” Jelasku, seraya tangan kananku memegang dua bahunya. Wajah Novi tampak sedih dan risau.
“Justru itu, Bang, kita harus pergi sebelum jam 12 malam,” pinta Novi lagi.
“Tapi kita mau kemana?” Aku berusaha tetap tenang, meskipun dalam hatiku sudah mulai risau. Bulu kudukku merinding. Ayu tiba-tiba menghampiriku.
“Ded, Novi, kenapa? Gue takut.” Ayu menggenggam tanganku erat-erat.
“Besok tanggal berapa, Bang?” Tanya Novi dengan wajahnya masih menghadap cermin meja rias.
“30 September, Vi,” jawabku, spontan.
“Kita harus pergi Bang, sebelum berganti tanggal.”
“Iya, tapi Novi jelaskan dulu kenapa dan kita mau pergi kemana?” Tegasku, seraya menatap wajahnya dari cermin.
“Nanti Novi jelaskan. Kita keluar sekarang. Kita tidur di lobby saja.” Pinta Novi. Aku dan Ayu akhirnya menuruti permintaan Novi.
Kami bertiga keluar dari kamar. Tercium bau kopi menyengat dari ujung lorong.
“Kita lewat tangga saja, Bang,” perintah, Novi.
Kami bertiga berjalan melewati tangga, lampu koridor dan tangga tampak temaram. Kami berjalan sedikit lebih cepat. Tiba-tiba saja Novi berhenti di tangga lantai 2.
Muncul suara dari speaker-speaker kecil yang terpasang di koridor, suara itu seperti nyanyian dalam bahasa minang. Hal ini biasa terjadi di hotel-hotel lain, hanya saja biasanya musik hanya di putar di siang hari sampai menjelang malam, namun jika sudah waktunya tamu tidur musik di koridor sudah tidak dinyalakan.
Si pipik si puang-puang manda
Si pipik si puang-puang manda
Urek putuih dagiang basambung
Urek putuih dagiang basambung
Mancicik darah tiok alai bulunyo
Mancici darah tiok alai bulunyo
Novi setengah berteriak, “Pai, pai, tampekmu bukan di siko.”
“Kenapa, Vi?” Tanyaku sambil memegang erat tangan kanannya. Ayu bukan main takutnya dia merenggut pakaianku dengan kencang.
“Bang, bawa handphone? Coba lihat jam berapa!” Perintah Novi. Matanya melihat tajam ke ujung kiri koridor lantai 2.
Aku menggambil handphone dari saku celana kananku.
“Jam 12 lewat 1 menit, Vi.” Jawabku.
“Itu artinya kita sudah tak bisa keluar dari sini, Bang.” Jawab Novi dengan tatapan wajahnya masih lurus ke depan. “Kita masuk saja ke kamar dan terima tantangan.”
“Maksudnya?” Tanya Ayu heran dengan wajah penuh ketakutan.
Kami berlari naik ke lantai tiga dan kembali ke kamar 327. Sampai di kamar aku langsung menuju pesawat telepon untuk menelepon pihak hotel, namun tidak bisa, sepertinya ada sambungan yang terputus.
Novi dan Ayu duduk di kasur, aku berdiri di depannya. Novi bercerita bahwa ada sesuatu di hotel ini. Ada banyak makhluk halus di hotel ini, dan ada yang menyampaikan pesan agar kita semua pergi dari hotel ini sebelum jam 12 malam.
Aku berusaha untuk tenang dan menjelaskan sesuatu.
“Ingat, tidak ada hantu atau roh penasaran dari orang yang sudah meninggal. Logikanya begini, jika ada seorang penjahat yang mati terus jadi hantu, itu bukan roh dari si penjahat. Enak banget dong dia, di dunia hidup jadi penjahat ketika mati jadi hantu dan tidak disiksa di alam kubur,” terangku menggebu-gebu.
“Benar Bang, ini setan atau jin yang menyerupai orang yang sudah meninggal. Setan atau Jin ini mungkin dulunya pernah bersarang di tubuh orang yang sudah meninggal tersebut.”
“Terus kita harus gimana?” Tanya Ayu bingung. “Gue takut,” keluhnya.
“Kita harus memecahkan apa yang sebenarnya mereka inginkan,” jelas Novi.
“Coba Abang buka google lewat Handphone. Hotel ini sebelumnya bangunan apa.”
Perintah Novi kepadaku, namun belum sempat aku membuka handphone tiba-tiba ada suara ketukan di pintu. Suara ketukan itu tiga kali dan teratur.
“Tok… tok… tok…” Suara dari pintu terdengar jelas. Aku langsung melompat ke kasur di mana Novi dan Ayu duduk. Kita bertiga masuk ke dalam selimut.
Aku berbisik pelan ke Ayu. “Ay, ingat kata Juna, gak? Kalau ada tiga kejadian terulang secara berurutan dan teratur seperti tiga kali ketukan itu bukan manusia,” jelasku ke Ayu. Juna teman kami pernah bercerita tentang mitos jika ada ketukan yang berbunyi tiga kali dan teratur itu bukan manusia.
“Iya, gue inget. Aduuuuh gimana ini. Kita doa aja baca apa kek,” saran Ayu.
“Iya Ay, bener kita baca yasin aja. Buka Handphone.” Aku buka handphone dan mencari surah yasin. Tapi suara ketukan semakin jelas dan terdengar suara riuh di luar.
“Kita teriak aja. Siapa tahu orang di luar sana bisa dengar kita,” saran Ayu dengan wajahnya yang mulai pucat pasi.
Novi membuka selimut. Wajah kami bertiga sudah tidak lagi tertutup selimut.
“Percuma kita teriak. Tidak akan ada yang dengar, kita sudah berada di alam yang beda. Kita sudah masuk tanggal 30 September,” jelas Novi dengan wajahnya yang misterius. Ayu tampak menangis ketakutan.
“Terus kita gimana?” Tanya Ayu dengan tubuhnya yang sudah mengigil ketakutan.
“Kita harus cari tahu apa maunya,” tegas Novi, “kita harus keluar cari tahu,” ajaknya lagi.
“Vi, jangan nekad. Mending kita di kamar aja,” sergahku, dengan tubuh yang sudah terlihat keringat dingin bercucuran.
“Ya udah, Novi saja yang keluar. Abang sama kak Ayu di kamar aja,” tegas Novi lagi.
“Gak, Abang ikut!”
“Gue juga,” sambung Ayu.
Ketika mau keluar, aku menarik tangan Novi.
“Sebentar tadi Novi bilang percuma karena kita sudah masuk tanggal 30 September. Emang ada apa dengan tanggal 30 september.”
“Novi juga tidak tahu, Bang, tadi ada yang bisikin ke Novi kita harus keluar sebelum tanggal 30 September,” jelas Novi dengan tatapan matanya yang tajam.
“Wait, tadi Abang sempat dengar di tangga Novi bilang, “Pai, Pai, tampekmu bukan disiko.” Pai itu artinya, apa?” Tanyaku heran.
“Artinya pergi, Bang. Ada satu orang tadi yang bisikin Novi untuk pergi dari sini.”
“Kayaknya ada sesuatu, coba kita balik ke kamar Abang di 308,” pintaku.
“Jangan, serem ah,” Ayu melarang kami.
“Ayo, Bang. Kak Ayu pegang tangan Novi,” perintah Novi.
Kami bertiga berjalan ke arah kamarku yang bernomor 308. Pintu kubuka, aku segera lari ke tong sampah mengambil Welcome Letter yang tadi aku buang. Aku memperlihatkan Novi amplop dan tulisan yang ada di belakang surat.
“Bang, amplop ini abang ngerti, artinya?” Tanya Novi.
“Tidak Vi, kenapa?”
“Ini angka romawi, ini petanda silakan Abang pecahkan angka ini.” Novi menyodorkan kembali amplop dan surat itu kepadaku. “Di sini ada dua kubu, Bang. Yang jahat dan yang baik. Yang jahat adalah dia yang mencari korban dan yang baik adalah dia yang menyampaikan pesan agar kita segera pergi.”
“Terus kenapa kita doank, bukan tamu yang lain?” Tanya Ayu dengan wajah pucat pasinya. “Mungkin gak kalau kita gedor kamar-kamar ini? Siapa tahu ada tamu lain yang menginap,” saran Ayu.
Kami bertiga menggedor setiap kamar, dan semua kamar yang kami gedor itu tidak ada yang menggubris barang satu pun. Itu artinya lantai ini kosong hanya kami bertiga penghuninya, dan aku baru ingat semua kamar di hotel ini memang aku booking seluruhnya untuk event MICE besok, jadi wajar saja tidak ada tamu yang menginap selain kami bertiga.
Tersisa dua kamar yang belum kami periksa, yakni kamar 333 dan 334. Aku menceritakan apa yang aku alami sebelumnya. Bahwa aku melihat ada seorang lelaki paruh baya masuk ke kamar 334, aku mencium bau kopi di kamar ini dan ada suara perempuan menyanyi persis lagu yang diputar di koridor lantai 2.
Novi menarik kami agar segera kembali ke kamar, namun tiba-tiba tercium bau bangkai yang menyengat. Gedung ini seperti bergoyang. Kami berhamburan lari ke kamar 327. Pintu di tutup rapat kembali. Aku membuka handphone mencari tahu apa yang terjadi di hotel ini sebenarnya. Tiba-tiba aku langsung kaget bukan kepalang.
Bersambung……
You might also like
More from Fiksi
Surat untuk Mantan
Lara, Ini mungkin adalah surat yang kesekian kali kutulis, tapi kali ini rasanya berbeda. Seperti ikan besar yang terjerat di jaring …
5 Cerpen Cinta yang Akan Bikin Kamu Terbawa Perasaan
5 Cerpen Cinta yang Akan Bikin Kamu Terbawa Perasaan Hey Sobat Semay, siap untuk terbawa oleh ombak perasaan yang mendalam? Ini …
3 Comments
Ya Allah benci bgt liat kata bersambung, cepat di update lagi dong lagi dagdigdugser menghayati cerita tau tau bersambung 🙁 sedih bgt dah ahh
Gregett lagi ija bacanya bg . Sumpah dehhh . Jadi takut plus penasaran . Di tunggu selanjutnya bg.