Saat menulis ini, saya baru saja pulang dari perjalanan masa lalu. Itu mengasyikan betul (meskipun ada beberapa hal yang mengganggu). Oh iya, tentang bagaimana saya bisa melakukan itu? Janganlah anda menafsirkannya secara harfiah, saya sendiri belum tahu apakah ada teknologi betulan yang bisa membuat saya dapat melakukan perjalanan waktu. Meskipun hal itu sudah sering saya temukan di film maupun buku-buku bergenre fiksi-ilmiah, tapi saya belum yakin alat semacam itu betulan ada di dunia nyata.
Tentang perjalanan saya ini, saya sebetulnya tidak benar-benar mundur ke masa lalu, hanya menjalani nostalgia, reuni dan sedikit kontemplasi dengan melakukan pelbagai kegiatan yang biasa saya lakukan di masa lalu. Dan untuk melakukan itu, saya pikir tiketnya hanyalah satu, yakni mematikan internet.
Tentu mematikan internet atau memilih menjalani hidup tanpa internet adalah perkara sulit di tahun ini, entah kenapa saya yakin begitu. Barangkali fungsi internet hari ini sudah setara dengan pakaian dalam struktur kebutuhan pokok manusia. Tentu ini bukanlah argumen ngawur dan bukan juga argumen ilmiah, hanya asumsi pribadi saya dan beberapa orang yang kebetulan saya wawancara. Bagaimana bisa setara dengan pakaian? Tentang ini anda bisa melihat dari diri anda sendiri. Dalam satu bulan anda pasti akan mengeluarkan uang anda untuk membeli paket internet. Lalu, bandingkan dengan pembelian pakaian yang anda lakukan. Jika jawabannya sama maka pernyataan selanjutnya begini, “Anda pasti lebih memilih membeli paket internet dan memakai pakaian lama anda, ketimbang membeli pakaian baru namun harus menjalani hidup tanpa internet? Betul bukan?”
Sebagai manusia yang baru menikmati internet jarak dekat dalam usia remaja (kira-kira 16-17 tahun) saya mengalami betul bagaimana pergeseran budaya yang begitu cepat –sebetulnya saya sudah tahu dan berkenalan dengan internet sejak berusia dua belas tahun, namun saya baru merasakan kedekatannya sejak era ponsel pintar yang membuat saya mampu mengakses internet dari jarak yang sangat-sangat dekat. Saya sepertinya tidak perlu lagi memberi contoh, toh anda sendiri (yang lahir sebelum tahun 1995) pasti mengalami hal tersebut, bagaimana anda dulu bermain dengan teman-teman anda tanpa internet, memainkan permainan apapun –baik permainan tradisional maupun game konsol. Ada suasana karib yang tentu saja berbeda dan tidak bisa dirasakan kembali hari ini.
Dan atas dasar itulah saya melakukan perjalanan ini, melakukan kontemplasi, bernostalgia, reuni dan merayakan hidup dengan latar (seolah) masa lalu. Hal pertama yang saya lakukan (seperti yang saya katakan di awal) adalah mengaktifkan internet sampai jangka waktu yang saya tentukan. Kedua, menggunakan gawai saya sebagaimana fungsinya dulu (hanya untuk melakukan panggilan dan mengirim pesan pendek). Ketiga, memainkan beberapa permainan yang saya nikmati sewaktu kecil seperti Harvest Moon, Crash Team Racing (atau CTR) dan sebagainya. (Sayangnya saya tidak memainkannya dengan konsol dan Playstation milik saya yang sudah tidak diketahui rimbanya dan memainkannya dengan menggunakan computer jinjing saya.) Keempat, saya mendengarkan lagu-lagu lama dengan menggunakan CD dan VCD –hal ini sungguh menyebalkan sebetulnya, apalagi banyak kaset-kaset yang sudah rusak dan tidak mau diputar, saya akhirnya hanya menggunakan ini sehari saja dan lebih memilih memutar lagu-lagu lawas lewat komputer jinjing. Kelima, saya kembali menonton berita yang tayang di televisi, hal ini sebetulnya sudah tidak pernah saya lakukan (saya biasanya hanya menonton tayangan sepakbola atau acara komedi di televisi) apalagi informasi sudah mudah diakses lewat gawai. Tapi saya menikmatinya betul, apalagi saat itu Jakarta sedang dilanda gempa dan saya turut merasakan getarannya.
Ada rasa penasaran setelahnya (tentu rasa penasaran ini tidak seperti biasanya yang dengan mudah hilang saat saya langsung mengakses informasi tersebut dengan menggunakan internet). Saya kembali menyetel televisi untuk mencari tahu berbagai informasi, seperti di mana sumber gempa tersebut, berapa skalanya, apakah akan ada gempa susulan dan sebagainya. Terakhir, saya melakukan apa yang biasa saya lakukan, seperti membaca, menulis, berdiskusi, menyelesaikan pekerjaan paruh waktu dan hal lainnya.
Sebetulnya masih banyak hal yang ingin saya lakukan sebelum perjalanan ini berakhir, namun hal itu sepertinya lebih sulit daripada mematikan internet, misalnya menemui teman masa kecil saya yang sudah pindah jauh dan tidak saya ketahui keberadaannya, memainkan permainan tradisional, mencuri buah-buahan dari pohon tetangga (yang kini sudah tidak ada), mencari ikan kecil untuk pakan ikan besar, bermain sepakbola jalanan dan masih banyak lagi.
Tentu hal yang saya lakukan di awal adalah hal yang sangat menyenangkan dan begitu berkesan. Sentimentil betul. Meskipun begitu, saya tidak bisa pungkiri bahwa menjalani kehidupan seperti itu (tanpa internet) membuat saya sedikit kerepotan. Misalnya, informasi yang saya dapatkan tentu tergantung berita yang ditayangkan televisi mana, selain beritanya seragam, saya juga tidak bisa memilah-memilih berita apa yang saya ingin baca (dengan internet, tentu saya bisa membaca berita tentang apapun pada jam apapun tanpa harus mengikuti jadwal), selain itu lajunya pun lebih lambat. Lalu pekerjaan yang biasa saya lakukan dengan bantuan internet betul-betul tidak bisa saya kerjakan (membuka surel, menyunting naskah untuk media yang saya tangani, berbagai informasi tentang beberapa teman saya yang biasa saya dapatkan melalui aplikasi pesan online dan lain-lain).
Meskipun begitu, hal yang saya lakukan di atas tentu saja bukan tanpa tedeng aling-aling. Dengan hal tersebut saya mampu menjaga jarak saya dengan gawai. Hal ini tentu sangat sulit bagi anda? Apalagi hal ini sudah jadi kebiasaan anda, di manapun anda berada, gawai anda pasti selalu menyertai anda, bahkan dari bangun tidur sampai anda tidur kembali. Hal lain yang juga menyenangkan adalah berkurangnya emosi yang diakibatkan oleh berita hoax, ujaran kebencian (baik untuk personal maupun kelompok) dan meme politik yang biasanya berseliweran di media sosial, sepekan tidak melihat hal tersebut memang seperti surga. Hal terakhir, tentu saja jarak dengan media sosial. Saya yakin, banyak orang pada hari ini yang menghabiskan waktunya (realitas) dalam dunia media sosialnya (hiper-realitas), menjadi warganet, mengomentari apapun, mengkritisi apapun, mengunduh apapun, membagikan apapun hingga lupa pada diri sendiri.
Sejujurnya, (setelah merasakan sepekan tanpa internet) saya serasa lebih mengenal diri saya dengan karib dan mengatahui apa yang saya butuhkan. Saya bahkan dapat menulis dengan fokus ketimbang biasanya, membaca dengan intens tanpa gangguan dan banyak hal lain yang biasanya mengganggu saya untuk fokus (terutama saat internet tersedia).
Tentang ini, anda jangan berpikir bahwa ini adalah gerakan konservatif. Saya bukanlah seorang konservatif, toh saya juga sama seperti anda yang memiliki gawai pintar, surat elektronik, media sosial, dan lainnya. Bahkan saya juga masih aktif mengurusi rubrik media daring.
Seperti yang saya bilang di awal, ini hanya perjalanan singkat saja, sebuah reuni, nostalgia dan upaya plesir ke masa lalu dan menembus ruang dan waktu. Dan sebuah upaya menjajal hidup hari ini dengan latar masa silam (tanpa internet). Kesimpulannya, anda bisa simpulkan sendiri. Saya hanya berpikir begini, banyak hal baik dari masa silam yang bisa dipetik untuk peradaban kedepan, peradaban canggih yang harusnya membuat manusia lebih kreatif dan inovatif, bukan menjadikannya budak media sosial dan internet dan semacamnya. Sekian.***
More from Rehat
Kelemahan Tali Pocong: Simpul yang Gampang Lolos?
Kelemahan Tali Pocong: Simpul yang Gampang Lolos? Tali pocong, sering kali dianggap sebagai senjata pamungkas yang bikin bulu kuduk merinding. Tapi …
Kelemahan Pocong: Menguak Sisi Lemah Si Pembalut Keliling
Kelemahan Pocong: Menguak Sisi Lemah Si Pembalut Keliling Pocong, sosok ikonik dalam mitologi horor Indonesia, kerap digambarkan sebagai makhluk yang melompat-lompat …