Ini kali aku mencoba menyerang musuh dari arah belakang. Pisau sudah benar betul posisinya mengarah ke pantat sebelah kiri musuh. Orang yang aku bidik ini adalah pembunuh keluargaku di dalam sampan milik bapakku. Sampannya mendatangi sampan bapakku dan lalu tanpa ada bicara sedikit pun perut bapak sudah tertusuk, sampannya dibalikkan. Tak ada orang saat malam itu, bapakku mengarungi dengan sampan hanya ingin bertenang diri atas perilaku ibu yang menuduh bapak yang membiarkan aku. Orang yang aku bidik inilah yang melakukan hasutan itu sebenarnya. Lalu tak lama di hadapan, sampan orang yang aku bidik ini membuang pisau ke laut.
Dia orang merapat ke pelabuh dengan tak sama sekali menyuguhkan kegugupan, jalannya selamba.
“Dari mana?”
Tangannya menunjuk arah laut, sambil mengatakan kalau angin sudah kencang. Jawabannya tidak menjawab namun cukup sebagai ucapan melarikan diri dengan tak gugup.
##
Ibu tak dapat melawan lagi, dia menyerah dan pasrah, tangan sebelah kirinya tergores. Kakinya banyak darah akibat dipukul oleh suaminya dengan belati 44. Aku tak dapat bergerak dan berani melakukan apa-apa, aku tak berdaya. Kepala ibu diantukkan ke dinding sekuat emosi suaminya, bapakku tak sadar lagi apa yang ia buat.
“Ke mana saja kau ha?”
Terus kepalanya dibentur-bentur, sampai begitu mengalir saja ibu. Dia yang menuduh bahwa ibuku telah membiarkan aku, dalam arti tidak mengurus dan menjagaku dengan baik sehingga aku seperti ini.
Tak ada orang lain yang mendengar percakapan ini, sekali pun ada tak akan ada orang yang mendatangi lalu melerai sebab keluargaku memang tak bisa diam kalau urusan antara bapak dan ibu. Keluargaku hanya ada aku (masih berumur lima belas tahun dan belum dikasih pandai berjalan sejak lahir dari tuhan), bapak dan ibu.
Tubuh ibu diam. Galian di belakang rumah sudah siap, ditutup kembali. Tidak seperti kuburan orang yang baru meninggal. Bapak melarikan diri dengan sampannya ke laut. Hatinya tergopoh-gopoh.
“Berhasil” itulah yang aku ingat saat melihat orang yang aku bidik ini mengikuti dengan menilik ke rumahku dan sampai saat bapak mengarung dengan sampan.
##
Setelah hari pemakamanku yang sah setelah ditemukan kuburan tak resmi tubuhku diangkat dan diperlakukan seperti biasa. Tubuhku telungkup, dengan penuh tanah dan binatang-binatang kecil pengidap penyakit racun. Berharu-haru ibu meraung dan tekaknya sampai pada volume teratas sebuah derita. Masing-masing tetangga mendatangiku dan membaca yasin, kubur, lalu pergi. Hampir saja ibu tak ingin pulang, kuburanku ingin dijadikan tempat bermalam semalaman. Hanya antara bapakku tak rela ibuku sedikit gila atau memang kuburan itu menyimpan mistis celaka. Dan aku sudah lebih dulu dikubur bebas tanpa prosesi sehingga menyebabkan bapak dan ibuku terpukul.
##
Dia mendatangi rumahku, membuka kain yang dibuat menjadi pintu itu dengan perlahan. Dia berhasil menyinggahi tangan orang yang aku bidik ini di kulit luar tubuhku. Berjalan ke bagian lain dan perlahan dan lembut dan sendu. Tangan kirinya menutup mulutku, aku yang sedang lapar harus terima asupan dari bibirnya ke bibirku. Aku seperti patung di hadapannya.
“Tenang, ini yang pertama dan terakhir kalinya aku melakukan ini. Besok kau akan tenang.” Orang yang aku bidik ini dengan lembut berbicara.
##
Orang yang aku bidik ini memiliki kehebatan muslihat tinggi. Sekitar sekian lama sudah tak ada yang menyangkalnya menjadi pembunuh keluargaku. Usut-usut pihak polisi yang dibantu oleh orang yang aku bidik ini ternyata malah menangkap Bang Ijal, tetangga dengan rumah nomor tiga dari rumahku. Kepiawaian orang yang aku bidik ini sudah tak ragu-ragu lagi membuat cerita. Fotonya dalam koran nasional dengan gaya dia yang sok serius. Ketika setiap bulan aku menghampiri kuburan bapak dan ibuku yang bersebelahan mereka berpesan:
“Balas!”
Saat aku mati. Tubuh sempurna manusia biasa, tapi tetap telah mati. Aku mempelajari untuk hidup kembali dan belajar berjalan. Banyak orang yang kesurupan saat sekadar lewat maupun duduk di depan kuburan, semua bagian dari materi dan terapi untuk keberhasilanku. Piawai sudah memasuki, kupelajari memegang pisau yang kuat dan cepat, setiap hari. Maklum, sejak hidup aku tak bisa melakukan apa-apa.
##
Di dekat pantai ada sebuah kafe dari kafe-kafe tempat lelaki menemukan orang lain menjadi orang utama dalam waktu singkat. Orang yang aku bidik ini memesan kopi pangku. Seorang wanita penggoda datang dengan membawa segelas kopi. Pangkunya wanita itu.
“Bagaimana kalau aku yang memangkumu?,” tatapan orang yang aku bidik ini tajam dan diam.
“Sebentar saja.”
Saat mereka bertukar tempat, tak banyak orang yang memperhatikan. Orang yang aku bidik ini seperti begitu bahagia. Dia bersandar di badan bagian depan wanita itu. saat kepalanya menoleh kepadaku,
“Sayangku, kenapa kamu memegang pisau?”
You might also like
More from Fiksi
Surat untuk Mantan
Lara, Ini mungkin adalah surat yang kesekian kali kutulis, tapi kali ini rasanya berbeda. Seperti ikan besar yang terjerat di jaring …
5 Cerpen Cinta yang Akan Bikin Kamu Terbawa Perasaan
5 Cerpen Cinta yang Akan Bikin Kamu Terbawa Perasaan Hey Sobat Semay, siap untuk terbawa oleh ombak perasaan yang mendalam? Ini …