Sejak malam itu, aku merindukan Juna. Laki-laki yang baru aku kenal. Bahkan aku baru mengetahui namanya setelah tiga minggu kami berjabat tangan. Tapi, aku tidak dapat melepaskan bayangan akan matanya yang melekat kuat pada ingatanku.
Di sini aku sekarang, menghadap sebuah jendela. Aku berada di lantai empat belas gedung ini, mataku memandangi sebuah mal yang tidak setinggi kantorku. Seandainya saja Juna mengetahui bahwa kantorku di sini. Di sekitar terdapat banyak bangunan tinggi, tapi aku hanya tertarik memerhatikan mal yang didominasi dengan warna hijau dan berlambang pohon palem itu. Lambang itu mengingatkan aku pada Paskah tahun lalu. Hari itu matahari sedang terik dan aku berjalan di tengah udara panas dengan payung pucuk palem pada saat arak-arakan daun palma menuju gereja. Ditandai dengan peringatan hari penyambutan Yesus datang ke Yerusalem itu, aku menyatakan hatiku sudah siap menyambut kehadiran seseorang untuk mengisi hatiku yang dingin tak berpenghuni.
Aku memang tidak dapat dengan jelas memerhatikan orang-orang yang berlalu lalang di dalam mal itu. Tapi, ingatanku masih dapat menggambarkan dengan jelas akan diriku yang seminggu lalu melewati pintu masuk mal itu dan duduk di sebuah coffeeshop bersama Juna sampai malam hampir larut. Aku ingat sekali, karena bersama Juna malam itu adalah momen yang indah.
Kami duduk bersebelahan pada sofa di sudut ruangan remang coffeeshop. Ini kali pertama kedatanganku ke sini. Malam ini juga pertama kali aku duduk berdua dengan Juna. Berdua saja. Kami baru kenal satu bulan. Aku dan Juna mengikuti klub buku yang diadakan setiap hari minggu. Selama dua minggu awal aku sama sekali tidak memerhatikan dan mengetahui bahwa namanya adalah Juna. Pada minggu ketiga ia mengirimkan permohonan pertemanan di salah satu media sosialku, aku menerimanya.
Juna memesan piccolo, dan menanyakan madeline. Hanya saja dengan cepat pelayan yang mencatat pesanan kami itu memberitahu bahwa madeline sudah habis. Sehingga pelayan tersebut hanya membawa pesanan ice capucino untukku dan pesanan Juna. Pelayan itu meninggalkan meja bersama dengan Juna yang membuntutinya ke showcase. Aku memerhatikannya dari jauh, menunjuk sesuatu yang tidak dapat aku lihat. Juna kembali ke meja membawa dua soucer. Satu berisikan cinnamon croissant, satunya lagi terdapat dua macaron berwarna hijau tosca dan hijau muda. Hijau warna kesukaanku.
Tidak sulit bagiku untuk segera merasa nyaman berada di dekatnya sebab begitu juga Juna. Dia seolah mengerti bagaimana membuatku merasa begitu. Dia mendengarkanku dengan tekun, dia mengerti aku suka bercerita. Malam ini dingin tapi sepertinya hatiku yang tidak berpenghuni itu mulai mencair.
Mata Juna yang membuatku luluh. Aku tidak pernah diperhatikan seperti itu oleh pasangan bicaraku yang sudah-sudah. Setiap kalimat yang keluar dari bibirku sepertinya dicerna dan didengar dengan baik oleh Juna. Berkali-kali mataku berusaha lari dari tatapannya. Tidak sepertinya, bola mata Juna akan tetap mencari mataku sekeras apapun aku berusaha untuk tidak menatapnya. Tatapan yang begitu tajam, seperti akan membelah bola mataku untuk menemukan berlian di dalamnya. Tapi aku suka sekali dengan tatapan itu, meski hanya sesekali saja aku mampu membalasnya. Mata itu yang menyihirku untuk duduk, bercerita dan enggan untuk pulang. Aku takut tidak sadarkan diri jika terus berada dalam pusaran itu. Aku takut mabuk kemudian tenggelam di dalam matanya.
“Jadi, kamu bisa dapat nomor handphone yang sesuai dengan tanggal lahirmu gimana caranya?” Tanya Juna sambil tersenyum. Selain tatapan matanya yang tajam, rupanya ia memiliki senyum yang teramat manis. Terlihat begitu serasi dengan sorotan mata itu.
“Dari nasabahku mas, sewaktu masih jadi customer service di bank.” Jawabku.
“Pasti laki-laki?” Juna menebaknya.
“Iya. Kenapa tebakanmu benar terus dari tadi?” Aku mengernyitkan dahi. Memang itu yang terjadi lama sekali berbincang dengannya, Juna seperti memberikan kejutan-kejutan kecil dari hal-hal yang belum aku utarakan namun ia sudah lebih dulu mengetahuinya.
“Sepertinya aku setuju dengan perkataanmu tadi bahwa perempuan jatuh cinta melalui telinga, dan laki-laki lewat matanya.” Kata Juna sambil tersenyum. Mungkin juga perkataanku bisa salah. Karena sepertinya aku mulai jatuh cinta, tapi bukan melalui telinga melainkan lewat tatapan matanya yang mampu menghunus hatiku.
Kami meninggalkan coffeeshop tersebut setelah diberikan tanda-tanda akan diusir secara baik-baik oleh para pelayannya. Sesekali tangan kananku dan tangan kiri Juna bersentuhan, entah aku yang sengaja atau Juna. Kami menuju pool taksi beriringan.
“Dari tadi mereka bersentuhan terus, sesekali aku rasa kesetrum. Jadi lebih baik aku gandeng aja.” Kata Juna seraya menggenggam tanganku setelah kesekian kalinya tangan kami bersentuhan. Sendi-sendiku melemah, sepertinya hatiku juga meleleh.
Kami kembali duduk sejajar di belakang supir taksi. Mobil ini akan lebih dulu menuju rumahku, kemudian mengantar Juna ke rumahnya. Aku memerhatikan jendela sebelah kanan, terdapat nomor taksi yang sedang aku naiki. II 8687. Aku tidak punya pilihan lain sebab Juna terus menatap ke arahku. Juna mencubit lenganku, membuat aku menoleh ke arahnya. Dia tersenyum menatapku. Mengapa mobil ini berjalan begitu lambat, aku ingin segera sampai rumah. Aku khawatir aku lumpuh karena tatapan mata Juna itu.
“Nanti sampai rumah kabari aku ya, mas.” Pesanku sebelum meninggalkan Juna sendiri di dalam taksi itu. Aku berpamitan masuk ke dalam rumah sebelum taksi itu pergi meninggalkan aku. Sebelum laki-laki bermata indah itu tidak berada di sebelahku lagi.
Entah mengapa mata itu begitu membekas dalam ingatanku. Aku sudah merindukan dan ingin menjumpai lagi mata yang berkali-kali kuhindari. Menatap jendela jadi tidak begitu menyenangkan seperti biasa, sekarang aku lebih memilih menanti pesan yang memberitahu bahwa Juna sudah sampai di rumah. Layar ponselku berubah, Juna meneleponku.
“Di… aku sudah di rumah. Selamat beristirahat Dia.” Begitu pesan Juna ditelepon tersebut. Aku tersenyum. Telepon itu singkat saja. Sesingkat Juna yang mampu membuka hatiku dengan lapang, kemudian menghangatkannya. Malam ini aku akan berdoa kepada Tuhan. Menyatakan kepada-Nya aku ingin bersandar bukan hanya bersebelahan dengan laki-laki yang matanya bagus dan sangat memerhatikan aku. Aku ingin terus didengarkan olehnya.
Setelah malam itu berlalu. Tidak satupun pesan dari Juna masuk ke ponselku. Sampai hari ini, hari ketujuh. Aku terus memandangi jendela kantorku yang menghadap ke arah gedung hijau berlambang pohon palem itu. Selama seminggu ini setiap kali makan siang aku memilih restoran yang ada di dalam mal itu. Tidak dengan hari ini, aku sudah cukup kecewa melewati coffeeshop dan memandangi dari kaca tempat aku dan Juna duduk waktu lalu. Tidak ada dia di sana. Hanya di dalam mataku yang merekamnya, yang sulit aku hapuskan. Kenangan tentangnya membayangiku, berkelebat menari di kepala. Aku ingin untuk mengakhiri kerinduan ini. Kerinduan akan tatapan matanya yang memabukkan layak candu. Ingin bertemu denganya. Aku pikir doa palemku sudah terjawab saat aku diberi kesempatan bercengkrama dengan Juna. Sepertinya tidak, bukan aku yang dibuat dari tulang rusuknya.
Seseorang menepuk pundakku dari belakang. Aku menatap gawaiku saat tersadar dari lamunan akan mata Juna.
“Mbak Dia, ada telepon dari Mas-nya.” Penepuk pundak itu memberitahuku. Aku berjalan menjauhi jendela menuju telepon yang berada di meja resepsionis.
“Mas siapa? Kok gak tahu extension aku?” Tanyaku yang dijawab dengan gelengan kepala resepsionis kantorku. Aku mengangkat gagang telepon. Diam dan menanti penelepon itu menyadari bahwa nada tunggunya sudah berhenti.
“Dia.”
“Ini Juna.”
“Maaf aku baru telepon. Handphoneku hilang, belum beli lagi sampai sekarang. Mencoba menikmati tidak pakai handphone. Aku cari nomor kantormu di boks redaksi yang ada di website.”
“Aku di sebrang. Di coffeeshop kemarin, aku tunggu kamu ya sampai selesai kantor dan susul aku di sini.”
More from Fiksi
Surat untuk Mantan
Lara, Ini mungkin adalah surat yang kesekian kali kutulis, tapi kali ini rasanya berbeda. Seperti ikan besar yang terjerat di jaring …
5 Cerpen Cinta yang Akan Bikin Kamu Terbawa Perasaan
5 Cerpen Cinta yang Akan Bikin Kamu Terbawa Perasaan Hey Sobat Semay, siap untuk terbawa oleh ombak perasaan yang mendalam? Ini …