Pertama kali, Ibu yang berteriak. Awalnya hanya tetes keringat, hawa panas, dan sesosok bayangan gelap di atasnya yang membuatku bangun. Menyusul, kudengar rentetan erang, rintih, dan pekik yang jelas dari Ibu; bercampur decak, gigit, dan lenguh yang jelas bukan dari Ibu. Aku limbung tergelayuti ombak hebat, terbentur sekali, sakit sekali, lalu perlahan sadar keenam suara itu berirama, dan aku cuma bisa menunggu semuanya sirna. Suatu ketika, suara-suara benar berhenti seluruhnya, bayangan gelap pergi, pintu terbanting, lalu tangan Ibu mampir, lembut usap jarinya berdesir.
Tentunya ia tidak menyadari apa yang terjadi di dalam. Bahwa aku sudah mulai hidup. Bernyawa sejak Ibu dan bukan Ibu bersenyawa.
Malam harinya, ketika semua tidur termasuk Ibu, aku ingin memindai sekitar. Hitung-hitung menghirup udara segar, mencari kehangatan. Ibu tidurnya telentang, sehingga aku harus memanjat kubah, mengangkat putingnya sedikit, mengintip, membuka dan menggelindingkan putingnya, lalu beringsut keluar. Ibu tidurnya tenang, dadanya naik turun teratur, membuatku tidak takut berkelana, asal jangan lupa pulang kalau ia tak lagi tenang. Ibu tidurnya telanjang, sehingga aku bebas menjelajah kulit-kulit dan rambut-rambutnya, dari kepala sampai kaki; asal tak lupa gunung tempat aku keluar tadi.
Tempat favoritku adalah wajah Ibu. Usai mendaki puncak dagunya, aku mencapai sepasang bibirnya yang bercelah sedikit. Udara panas sebentar-sebentar memancur tegak. Lalu itu, gunung berliang dua yang berangin hangat! Lalu itu, bukit kecil berhias sebaris rambut yang tidur dan kadang berkedut-kedut! Lalu itu, padang kuning langsat yang menghampar lurus tanpa noda dengan sedikit rerumputan halus! Selagi Ibu lelap semena-mena, aku memandangi ia sepuas-puasnya. Ia cantik yang kudamba elusnya, peluknya, dan tepukannya; kini dan nanti.
Di luar sedikit mendingin. Aku menggigil sambil berguling-guling, menyusuri leher Ibu. Kupunguti puting Ibu, kupanjati tembok rumahku, pulanglah aku, dan setia menunggu.
*
Beberapa malam berturut Ibu lupa tidur. Tidak ada decak, gigit, dan lenguh dari si bukan Ibu; hanya Ibu seorang di sini. Bahunya, jantungnya, dan aku berayun naik turun. Aku tak berani bertanya, apalagi mengintip ke luar sana. Nanti ketahuan Ibu.
Di sini masih terang benderang. Rupanya Ibu lupa mematikan lampu. Jadi aku memantau saja, menunggu gelap. Lapar kala menunggu, aku membuka lemari milik Ibu. Ia penuh selai stroberi pekat. Lidahku terlipat, ludahku tercekat. Kusendokkan satu ke mulut, kukunyah pelan, padahal aku tahu harus berhenti kalau Ibu mematikan lampu dan menelentang tidur, dan aku sudah harus meringkuk di kasur kalau Ibu mulai mendengkur.
Kutunggu lama tetapi ternyata ia tak tidur-tidur dan terbitnya matahari sudah telanjur. Aku mengunyah, terus mengunyah, hingga terkapar, terpaksa berbaring membujur. Untung tadi sempat kujerang susu dari lemari sebelah. Baru kusesap sedikit ketika aku merasakan Ibu rebah, tiba-tiba saja. Kendi susu dan tabung selai stroberiku tumpah. Putih dan merah berceceran di lantai. Mulamula pisah, lama-lama baur, saling belit dan peluk. Aku takluk, tak bisa bangun dari lutut yang tertekuk, meskipun sebelah tangan masih memegang tali menuju puting Ibu.
Begitu berkali-kali. Bermalam-malam dan berpagi-pagi.
Suatu hari, Putih dan Merah berbisik.
Mereka berdua ingin jadi sahabatku. Kuiyakan.
*
Tak lama, bilik jantungku mengempat, terbentuk padat.
Tak lama, mataku membulat, lebih jernih ketika benar-benar melihat.
Tak lama, telingaku tanganku kakiku paru-paruku dan perasaanku mulai mengesat, dari tiada menjadi ada.
Tak lama, Ibu mulai sadar tamunya tak datang-datang. Kuintip ia mencoba mencelupkan secarik plastik ke dalam genangan kencingnya, tetapi aku tak tahu apa hasilnya dan apa reaksinya. Kuintip ia mencoba mencari-cari si bukan Ibu: menelepon, mengetik, bertanya, menghardik. Aku yang takut lantas mendekam ke lemari, mencari tempat untuk menghela napas. Putih dan merah memaksaku untuk terus lapar. Sebentar-sebentar, isi lemari habis, meskipun tak lama ada yang mengisi lagi, kadang dengan rokok dan alkohol yang nikmat, kadang dengan selipan-selipan uang kertas yang tak bisa dipakai di semua tempat. Sebentarsebentar, kudengar suara Ibu menyerak, kata-kata Ibu serupa tukang palak, gerak-gerik Ibu seperti perompak.
Tak lama, memang Ibu berteriak.
Malamnya, Ibu kembali terisak-isak. Ketika Ibu jatuh terlelap tanpa mandi tanpa bebersih dan tanpa melepas beha, aku megap-megap mendaki, keluar, dan berkeliling lagi. Waktuku cuma sebentar, jadi kuputuskan langsung ke wajahnya saja.
Aku tersentak. Betapa cepatnya ia menua.
Padang yang tadi kuning langsat ranum kini gersang, bebercak cokelat kotor, bercampur luntur maskara dan kering air mata yang tak sempat terhapus. Ada bukit-bukit yang tadi tak ada di pipinya. Sepertinya itu tulang. Bibir kemerahan lembutnya kini cokelat pucat terkelupas dan aroma udaranya jadi agak nikotin. Ibu yang tadinya jelita dan kucinta, kini terdera bencana, membuatku iba. Ibu yang enam bulan lalu kudamba, entah sekarang mau jadi apa.
Selama ini aku ada di sini. Sepanjang hari melekat padanya, dekat jantungnya. Namun Ibu tak tahu aku ada. Ia sungguh kesepian. Yang bukan Ibu tak kunjung ada lagi. Ibu tak bisa menemukannya lagi. Sementara…, apa yang kulakukan? Aku cuma diam. Aku bergeming dalam hening. Sampai hari ini aku belum pernah mengizinkan Ibu tahu tentang aku.
Timbul pikiran yang menggangguku.
Apakah sebaiknya Ibu tahu bahwa aku ada?
Aku berbalik, memanjat gunung, lalu mendekam.
Namun tak kunjung terpejam.
Aku sampai lupa mengembalikan puting Ibu ke tempat semula.
*
Ibu mencari-cari ke mana sebelah putingnya terpelanting, sementara aku menyusun rencana penting. Putih dan Merah sudah setuju dengan revolusi yang kugagas.
Ibu harus tahu aku ada, bagaimanapun caranya.
Aku baru saja ingin memanjat sekadar untuk mengintip, ketika aku sadar akan sesuatu. Mungkin karena Ibu jarang tidur dan aku selalu lapar, mungkin karena makanku banyak tetapi gerakku kurang, mungkin karena aku yang malas dan tubuh Ibu semakin kurus, atau mungkin karena semuanya, aku tak bisa lagi keluar dari tubuhnya. Memang rahim ini ramai susu, si Putih dan si Merah hangat, menyenangkan sekali bagiku. Namun lama-lama tempat ini sempit, sesak sekali. Minggu lalu sikuku tumbuh. Kiri dulu baru kanan. Lalu lutut. Kanan dulu baru kiri. Semuanya ketul dan melenting. Semakin besar aku, semakin terdesak aku.
Pelan-pelan Ibu tahu, ada benjolan di payudara kiri yang malu-malu. Keras, mantap mengakar, tetapi tidak nyeri. Namun Ibu tak kunjung tahu bahwa itu aku: duplikasi nyawa antara Ibu dan yang bukan Ibu.
*
Putih mengajak pasukannya yang sama-sama susu untuk menganak sungai dan berlayar. Botolbotol kecil susu mengalir sampai jauh, semua menyarikan namaku, membawa fotoku. Kabar terbaru, mereka sudah sampai ke ruas-ruas punggung dan otak Ibu. Sementara Merah memasang badan di mana pun Putih berlabuh. Botol-botol kecil merah berlarian ke rumahrumah, berkabar dan mencari bantuan, memasang badan dan badan lagi, hingga penuhlah pelabuhan dengan kedang mereka yang bidang.
Tinggal tugasku yang belum: memberi aba-aba agar mereka semua berseru serentak, sementara aku mendobrak keluar, memperlihatkan diriku ke Ibu.
Tibalah malam buta. Kuketuk mulut kubah tanpa henti. Ibu meringis, sebelah tangannya mencengkeramku. Aku melawan secair Putih, sekental Merah. Perlahan kukikis puncak payudaranya, lalu kudobrak ia sekuatnya. Lubang menganga di dekat kakiku. Darah mengalir merah padam. Semuanya tak bisa Ibu tahan, karena begitu mendadak. Seketika, beha kiri Ibu becek merah, lekit amis.
Lalu semua begitu cepat. Dingin. Tandu. Bau keringat. Sirene. Kantong darah. Bau karbol. Rengkahan cat. Bau darah. Serentetan mesin yang belum pernah kutahu. Gesek-gesekan kertas yang takkan pernah bisa kubaca. Kuhubungi Putih yang di otak dan Merah yang di punggung. Kami berembuk, ketika di luar sana kertak-kertuk. Putih melarangku mendobrak lagi; kasihan Ibu. Merah setuju. Tetapi aku belum mau menyerah.
Sampai ketika ada suara bukan Ibu. Menyebut namaku, memperkenalkanku kepadanya.
Kanker.
Mereka memaksaku. Aku harus tetap tinggal di rahim yang ramai susu ini, tidak boleh lari-lari.
Setelah hening lama, mereka mulai menembakiku. Ketul dan lentingku luluh lantak. Aku mengerang, merintih, memekik; persis seperti Ibu. Aku menangis sejadinya. Mengapa aku, yang ingin menghiburnya waktu sepi, malah ingin ia bunuh? Inikah balasan Ibu setelah tahu siapa aku?
Tak apa, aku menghibur diri.
Yang penting sekarang Ibu tahu aku hidup.
Mungkin, seiring waktu, Ibu akan pelan-pelan mencintaiku.
*
Setelah dua tahun bersemayam di payudara kiri Ibu, inilah waktunya.
Lemari Ibu porak-poranda. Yang ada hanya lautan darah berserak bungkusan, tercemar sumsum dan kaldu getah bening. Kupunguti sekantong kosong dengan setengah tanganku. Benda ini yang Ibu harap bisa membunuhku. Putih memburai ke langit yang melangut, tetapi ketika kupanggil tak ada yang menyahut. Merah luruh dalam anak sungai, mengering tanpa ia mau.
Ibu boleh membenciku, tetapi aku tetap mencintai Ibu.
Di suatu malam ungu, susah payah aku keluar dari tubuh Ibu. Aku, yang kini berukuran sekepal tangan, memanjat dagu Ibu, hanya untuk mendapati wajahnya yang kerontang, dan embus udara yang tinggal satu-satu. Beruntung. Mata Ibu membuka, tepat ketika aku duduk menjulurkan paha-paha buntungku ke depan. Rautnya berlutut, tanda mengalah. Akhirnya kehadiranku, nyawa yang seharusnya tumbuh dalam rahimnya tetapi malah tumbuh dalam payudara kirinya dan telanjur menyebarkan segelku di sekujur tubuhnya, tak lagi ia abaikan. Akhirnya, kami saling kenal, saling sayang, saling rindu.
Ia tersenyum sambil membisikkan namaku yang abadi.
Kanker.
Aku beringsut turun ke pangkuan Ibu. Di sana ada lampin hangat dan nyaman, kontras dengan dingin kisut kulitnya. Bergelung di atasnya, aku mencoba lelap.
Aku sudah nyaris tertidur ketika dadanya berhenti naik turun. Selamanya.
Terakhir kali ini, giliranku yang berteriak.
You might also like
More from Fiksi
Surat untuk Mantan
Lara, Ini mungkin adalah surat yang kesekian kali kutulis, tapi kali ini rasanya berbeda. Seperti ikan besar yang terjerat di jaring …
5 Cerpen Cinta yang Akan Bikin Kamu Terbawa Perasaan
5 Cerpen Cinta yang Akan Bikin Kamu Terbawa Perasaan Hey Sobat Semay, siap untuk terbawa oleh ombak perasaan yang mendalam? Ini …