Karena cinta dapat tumbuh dari perasaan bersalah. Dosa akan membuatmu mengerti bagaimana rasanya cinta.
Aku mungkin tidak pandai berbohong. Atau mungkin juga tidak pandai bercinta. Atau mungkin, ini adalah sebuah pertanda untuk berhenti sebentar dan mengoreksi apa yang ada. Mungkin juga, ini hanyalah rasa bosan yang semu. Sulit dideteksi akarnya. Ada hasrat di dalam diriku yang sejak kemarin belum dapat aku ejawantahkan. Benar-benar mengganggu hari dan kestabilan mood-ku.
Sejak kemarin aku tidak suka berpikir, isi otakku hanya imajinasi-imajinasi tak tentu. Bahkan, ciuman Randy yang biasanya mampu menghilangkan semua gundah gulana, kini terasa tidak berarti apa-apa. Sesi-sesi bercinta, terasa hanya hal biasa meskipun banyak aksi. Semua datar saja. Randy tidak lagi mengisi ilusi-ilusi kenikmatan bercintaku.
Aku mulai membuat cerita-cerita seksual yang lebih sensual dengan laki-laki lain. Aku termenung, duduk, serta memikirkan bagaimana rasanya kalau berciuman dengan Aksa sahabatku di dalam taxi yang membawa kami berjalan dari Senayan City hingga Utan Kayu, dan ditonton sopir dari cermin. Atau bagaimana kalau berciuman dengan Rangga, kepala divisi kantorku di atas meja kantor dan dinikmati satpam penjaga CCTV. Hal itu tentunya akan memacu adrenalin lebih cepat. Tidak seperti sekarang ini, Randy tidur karena kelelahan selesai ejakulasi. Aku masih duduk di bangku dengan mata terbuka menatap Randy, namun pikiranku tidak terfokus dengannya.
Aku sepertinya perlu rasakan merindui Randy. Hampir duabelas jam dalam satu hari kami bersama. Meski dipotong waktu tidur selama enam jam. Kalau ada hari libur, kami akan menghabiskan waktu berdua lebih lama dari itu. Aku mungkin benar-benar butuh jarak, agar dapat bergerak. Aku mungkin butuh berbagi napas di ruangan lain, bersama dengan orang yang lain. Aku butuh tertawa bersama teman-temanku tanpa diikuti Randy. Aku butuh pulang ke beranda ibu, pergi dari hangatnya ranjang kamar Randy dan kembali pulang setelahnya. Bukankah kata para pujangga kata pulang itu selalu lebih indah daripada pergi. Tentunya, untuk pulang kamu harus pergi lebih dulu. Tidak memungkinkan pulang dalam waktu dekat ini. sebelum bercinta tadi, aku melihat Randy membeli banyak masker untuk menutupi hidung sampai mulut Randy. Meski begitu bibirku tetap merangsek masuk ke bibirnya. Randy flu. Sedang tidak enak badan. Pastinya dia akan meminta untukku tetap tinggal di rumah ini. Aku beranjak dari tempat dudukku untuk memakai pakaian dalam.
“Dar…” panggil Randy yang sepertinya menyadari gerakanku. Aku menoleh ke arahnya, “Kamu puas, gak?” Tanyanya.
“Iya dong. Selalu begitu dari dulu.” Jawabku sembari melempar senyum puas sepuas mungkin, “Ran, aku sepertinya butuh pulang ke rumah ibu.”
“Silakan. Sudah sebulan ya tidak ke sana.”
“Begitu sepertinya. Boleh?”
“Silakan. Aku antar, ya?”
“Sampai stasiun kan seperti biasa?”
Kereta ini akan membawaku menuju kota lain. Kota di mana ada rumah ibuku dan rumah hatiku: tubuh ibuku. Perjalanan ini terasa begitu dramatis. Tidak biasanya Randy melepasku pergi memasuki stasiun sampai punggungku benar-benar hilang. Tapi, tidak juga ada kalimat bahwa dia sudah mulai merindukanku saat mengecup keningku, hanya ada hati-hati saja. Ya, ini hanyalah sebuah pulang yang biasa, yang tidak terlalu spesial. Mungkin perasaan ini hanya karena ia sedang tidak enak badan. Kereta ini sesak. Kereta antar kota ini memang selalu sesak pada saat jam-jam sibuk. Aku dapat berdiri di dalamnya, tanpa harus berpegangan. Badanku akan bergerak mengikuti jalannya kereta. Bukan hanya kepadatan ini yang menyesakkan, tapi juga bau badan dari badan-badan yang banyak ini. Selain sibuk berusaha menyentuh-nyentuh layar ponselku, aku juga mengerlingkan pandangan. Berusaha mencari sumber bau badan yang paling bau, namun tetap sulit terdeteksi.
“Dara?” Seseorang di sebelahku menyebut namaku. Ia menggunakan masker penutup hidung. Sepertinya dia sudah terbiasa di dalam perjubelan kereta ini, sehingga dia sudah well-prepared untuk mengantisipasi bau yang sering ditemui. Aku memerhatikannya. Begitu tertarik dengan masker itu. Bukan dengan siapa di balik masker itu, “Ini Daniel, Dar.” Ucapnya lagi. Tangannya berusaha meraih untuk membuka maskernya agar aku segera mengetahui siapa gerangan di balik masker itu. Aku hanya membalasnya dengan senyum yang terlambat. Aku kembali lagi memerhatikan maskernya, ah sial harusnya tadi aku meminta salah satu masker Randy. Kemudian aku memerhatikan mata seorang yang bernama Daniel ini. Aku masih tidak dapat menebak dia Daniel yang mana? Announcer kereta memberitahukan pemberhentian berikutnya adalah stasiun tempatku harus turun. Tidak lama kemudian kereta berhenti. Aku menganggukkan kepala kepada Daniel untuk memberi tanda bahwa aku akan turun lebih dulu. Tidak membalasnya Daniel malah mengikutiku dari belakang untuk turun. Aku tertarik untuk menunggunya di depan pintu. Dia kemudian membuka masker yang menutupi sebagian wajahnya. Kini aku baru benar-benar mengenali dia Daniel yang mana? Aku mengajaknya berjabat tangan, kemudian duduk di bangku panjang yang tersedia pada peron bersebelahan dengannya.
“How’s life, Dan?”
“I’m great. Kamu gimana, Dar?”
“Me too.” Jawabku sambil tersenyum.
“Buru-buru, gak? Makan dulu, yuk. Di dekat stasiun ini ada restoran yang masakannya enak.”
“Boleh.” Setelah memberikan jawaban. Aku membuka ponselku kemudian mengirim pesan ke kontak Randy. Memberikan kabar bahwa aku makan malam bersama teman kampusku yang tidak sengaja bertemu di dalam gerbong kereta. Memberitahukan bahwa namanya Daniel, dia seorang laki-laki. Mengirimkan pesan untuk pergi bersama orang lain selain Randy memang harus sedetail ini. Agar tidak ada pertanyaan lagi darinya. Kalau bisa diberikan tambahan, bahwa aku tidak akan genit kepada laki-laki ini. Sebab tingkat insecure Randy sangat tinggi. Setelah pesan itu terkirim dan dibaca olehnya, balasannya hanya: ok.
Sebenarnya aku tidak begitu ingat dengan Daniel. Aku hanya ingat, pernah mengikuti mata kuliah yang sama. Lebih dari itu, aku benar-benar tidak memiliki satu hal yang berkesan untuk mengingatkan aku akan dia. Aku berjalan beriringan di sebelahnya. Daniel mengomentari bagaimana layanan kereta. Bagaimana keseruannya setiap hari untuk berjibaku dengan pengguna kereta lain, hingga kami tiba di hadapan sebuah restoran yang Daniel maksud. Aku memasukinya. Nuansanya memang aku sukai, banyak lampu-lampu yang temaram. Membuat suasana untuk mengobrol lebih baik. Tidak berisik, menyenangkan. Mungkin orang-orang dalam restoran ini hanya akan terkekeh kecil. Kemudian kembali mengobrol dengan suara pelan dan menatap mata teman bicaranya dalam-dalam. Daniel dan aku duduk dekat jendela, berhadapan.
“Dar… kamu makin cantik lho.” Daniel mengatakannya sambil menatap mataku dalam. Aku tersenyum. Mungkin ini terlalu berlebihan, tapi sesungguhnya hatiku berdesir-desir saat Daniel mengatakan bahwa aku semakin cantik.
“Kerja di mana, Dan?” Tanyaku menghiraukan komplimen yang Daniel berikan.
“Aku video editor buat TV, Dar. Kamu di mana?”
“Aku Content Editor di Media online.”
Makanan yang kami pesan tidak lama datang setelah pertanyaan-pertanyan pengantar. Aku mengamati Daniel memakan. Aku selalu tertarik akan hal itu. Menurut pandanganku, rapih dan bersih atau tidaknya seseorang dapat dilihat dari caranya makan. Aku memerhatikan deretan gigi bersihnya Daniel. Aku juga memerhatikan bibirnya sejak ia membuka maskernya. Tidak ada kumis juga jenggot. Bersih. Aku bahkan bisa membayangkan bagaimana serunya jika dapat mencium dan memagut bibirnya itu. Tidak lama kemudian, Daniel menguap tanpa disengaja akupun ikut. Kemudian kami tertawa bersama.
“Kenapa kamu hanya lihat aku makan saja bukannya mulai makan?”
“Bagaimana kamu tahu?”
“Karena barusan kamu ikut menguap saat aku pura-pura menguap.”
“Oh, ya?” Aku mulai mengangkat sendok dan garpuku karena salah tingkah. Tidak begitu mengerti perasaan apa yang aku rasakan saat ini. Bagaimana rasanya jatuh cinta sudah lupa juga. Sudah sangat lama tidak merasakan lagi. Tidak merasakan hatiku terasa berdebar lebih cepat dan membuatku ingin tersenyum geli sesekali. Jatuh cinta dengan Randy, pernah dahulu. Itu sudah lama sekali. Awal-awal masa pendekatan lima tahun lalu. Saat berciuman saja menjadi petualangan yang sangat menyenangkan. Saat menggenggam tangan saja menjadi suatu yang asing, menyenangkan, dan seperti candu. Saat ditatap dalam seperti yang Daniel lakukan saat ini hingga membuat aku tersadar dari segala lamunan. Saat benar-benar tersadar, aku balas menatap matanya Daniel. Kemudian tersenyum setelahnya, dan kembali melihat makananku, menyuapkannya ke mulutku. Aku juga masih merasakan hangatnya diamati setiap gerakanku oleh Daniel saat ini.
“Ada apa, Dar?” Tanyanya, membuat aku mengangkat wajahku. Tangan Daniel mengambil tissue kemudian mengelap ujung bibirku yang mungkin sedikit berantakan. Aku merasakan, ada kupu-kupu yang menari di perutku. Sungguh frase itu, jika diartikan ke dalam bahasa Indonesia sangatlah aneh. Tapi, perasaanku lebih aneh saat Daniel tersenyum sangat manis kupandang dari mata seusai ia melipat tangannya, “Hei Dar… Ada apa?” Daniel menyadarkan aku sambil menyentuh tanganku. Napasku tercekat. Aku menelan ludahku. Beruntungnya, bulu kudukku tidak menjadi lurus. Aku menggelengkan kepala dan mengeluarkan tanganku dari tangan Daniel yang tertelengkup kemudian kembali mengangkat garpu serta sendokku. Aku berusaha makan sebaik mungkin.
Daniel parkir mobilnya di stasiun tempat kami turun tadi. Kami berjalan menuju mobil, ia akan mengantarku pulang ke rumah ibu. Rupanya dia mengetahui rumah ibuku. Menurut keterangannya, sewaktu kuliah ia sempat menaruh hati kepadaku tapi aku tidak pernah tahu. Di dalam perjalanan itupun, akhirnya aku mengetahui bahwa Daniel baru saja menikah dua tahun lalu. Belum dikaruniai anak sampai hari ini, sedang menanti-nanti katanya. Mendengarnya, aku biasa saja.
“Esok pulang bareng lagi yuk, Dar.”
“Boleh.”
“Kabari ya. Nomornya yang tadi aku berikan.”
Aku melambaikan tangan saat kaca mobil Daniel benar-benar tertutup.
Di dalam kamarku. Aku tidak bisa tidur. Aku memikirkan Daniel. Aku memikirkan sentuhan tangannya yang terasa lain. Pastinya lain. Berbeda. Tidak seperti tangan Randy yang sudah biasa menggenggam. Bagaimana bibir Daniel?
Aku sudah bisa menduga ini semua. Bahkan dalam alam bawah sadarku sudah merencanakan hal ini. Merencanakan hari ini. Hari di mana aku kencan dengan laki-laki yang sudah beristri. Begitu sampai mobil tadi, Daniel masih mengenakan maskernya. Aku membukanya, langsung mencium bibirnya. Sampai dia benar-benar larut dalam ciumanku. Aku ingin dia dapat juga mendengar degup jantungku yang ritmenya semakin cepat. Agar Daniel mampu merasakan tubuhku yang bergetar, aku memeluknya hangat. Jika bercinta dengan Daniel malam ini adalah obat dari semua rasa penat akan hubunganku dengan Randy, aku benar-benar sudah siap. Di sini saja. Di dalam mobil, biar ada sensasi lain. Tidak hanya sensasi bercinta dengan suami orang. Juga suasana bercinta yang menakjubkan dan menyenangkan di dalam mobil. Ini bukan hal yang pernah dilakukan juga selama lima tahun bersama dengan Randy. Hal ini benar-benar memacu adrenalinku, menderaskan endorphin. Meski banyak keterbatasan untuk melakukan percintaan gelap ini, aku semakin tertantang dan direspons baik oleh Daniel. Semua terjadi penuh kenikmatan dan benar-benar menyenangkan. Aku merasakan seperti kembali lagi ke waktu-waktu belia. Setelah semuanya selesai. Daniel kembali duduk di belakang kemudi. Aku di sebelahnya, menatapnya dalam. Aku menggenggam tangan Daniel. Merasakan hangat tubuhnya. Ada rasa hangat lain dari biasa aku dapatkan dari Randy. Bukan hanya makananya yang rapih dan bersih, begitu juga urusan bercinta. Aku tidak peduli dengan siapakah istri Daniel. Aku hanya ingin membangkitkan gairah bercintaku yang sudah lama tak aku rasakan dengan Randy. Setelah ini aku akan pulang.
Aku dalam perjalanan pulang dari kantor. Seperti biasa menggunakan jasa taxi online menuju rumah Randy yang sudah hampir seminggu aku tinggalkan. Aku akan kembali kepada kekasihku. Aku mulai merindukannya. Aku duduk di sebelah supir taxi online yang mengenakan masker. Belum lama saat aku duduk di sebelahnya dia mohon izin untuk mengenakan masker karena ia sedang flu. Aku ingat Daniel juga menggunakan Masker yang sama waktu aku membuka maskernya kemudian mencium bibir Daniel. Aku tersenyum. Mungkin cinta terkadang butuh berbuat dosa dengan berkhianat agar kembali lagi menemukan suatu rasa yang baru. Aku tidak sabar untuk segera bertemu dengan Randy. Sebuah pesan masuk ke ponselku. Aku pikir Randy, ternyata Daniel. Ia mengatakan bahwa ia merindukan sentuhanku, dan meminta untuk bertemu kembali. Aku tidak menjawabnya. Aku tidak berniat untuk membalas. Semua sudah cukup. Sesuai dengan keinginanku di awal. Daniel sudah cukup menjadi pelepas penat.
“Ran…” Aku membuka pintu rumah dan mendapati Randy sedang menonton televisi masih menggunakan Masker, “Kenapa pakai masker?” Tanyaku.
“Aku flu, Dar.” Jawabnya. Setelah berhasil membuka sepatu. Aku berlari menghampiri Randy yang sudah membuka tangannya lebar untuk membawaku masuk ke dalam pelukannya. Sesampai dalam pelukannya. Aku membuka Maskernya, mencium bibirnya, memagut, lidahku mencari miliknya. Jari jemariku membuka kemeja kerja Randy hingga beltnya. Aku melucuti pakaiannya satu per satu hingga ia benar-benar telanjang. Meski, berkali dia berusaha menolak dengan alasan flu, aku tetap tak terelakkan. Serangan demi serangan aku tetap arahkan kepadanya. Hingga ia benar-benar diam dan menerima pasrah.
“Ahhh…gila.”
“Kenapa?”
“Kamu rindu berat ya. Sampai begini. Aku seperti merasakan ada yang lain?”
“Oh ya? Kamu gak suka?”
“Suka sekali!”
Aku tersenyum seraya menatap Randy. Karena cinta dapat tumbuh dari perasaan bersalah. Dosa akan membuatmu mengerti bagaimana rasanya cinta. Aku tersenyum menatap Randy. Memikirkan, apa yang dia sukai sekali? Bercinta kali ini? Atau tipuan kali ini?
You might also like
More from Fiksi
Surat untuk Mantan
Lara, Ini mungkin adalah surat yang kesekian kali kutulis, tapi kali ini rasanya berbeda. Seperti ikan besar yang terjerat di jaring …
5 Cerpen Cinta yang Akan Bikin Kamu Terbawa Perasaan
5 Cerpen Cinta yang Akan Bikin Kamu Terbawa Perasaan Hey Sobat Semay, siap untuk terbawa oleh ombak perasaan yang mendalam? Ini …
Lamunan Empok Hayat
Lamunan Empok Hayat Dalam Sekian Babak Bunyi berita tentang cuaca ekstrem dan curah hujan tinggi tertangkap telinga Empok Hayat. Kalau saja …
2 Comments
Cerita yang sangat menarik.
Hi… Terima kasih banyak