Tit…….. Tit…….. Tit………
Mataku masih mengatup, rapat ia tertutup, hanya sayup suara mesin entah apa kudengar berdegup.
Tit…….. Tit…….. Tit………
Konstan ia berdetak terstruktur, teratur seperti papan catur, seperti metronom bertempo sangat rendah memastikan Op. 18 Adagio Sostenuto dari Sergei Rachmaninof mengalun tepat pada birama setiap denting pianonya.
Perlahan namun pasti, bias cahaya bergerombol memaksa masuk, saling berebut tempat pada pupil dan iris mataku. Aduh! Kepalaku menjadi sakit sekali, cahaya yang memaksa masuk ini kelewat bengal, mereka sudah seperti gerombolan supporter dungu yang memaksa masuk stadion walau tak punya tiket pertandingan.
“Pur, Gopur kau bangun pur, suster, Gopur bangun sus!”
Mataku masih memicing, lantang betul suara seseorang di hadapanku ini berdesing, bising seperti senapan angin.
Lamat-lamat aku melihat seseorang di depanku, kepalanya dua, tubuhnya satu, ahhhh, sepertinya kornea dan retina mataku belum seiya-sekata mengirimkan informasi tentang apa yang dilihatnya ke otakku.
Lirih namun pasti, sesosok makhluk berkepala dua di hadapanku mewujud menjadi satu kesatuan utuh, seperti pemabuk yang mulai siuman lepas menenggak berbotol-botol bir malam tadi, aku mulai menerka-nerka, kenapa aku ada di sini, dimana aku sekarang, siapa ini, siapa itu, dan banyak gumpalan-gumpalan pertanyaan lain yang entah harus aku hantamkan kepada siapa.
Seorang wanita paruh baya berseragam putih polos dengan strip biru di sekitar kerahnya datang mendekat dengan sebuah tensimeter, menggulung dan mengikat erat tangan sebelah kananku, lalu memompa perlahan sebuah balon karet kecil di pangkal selang tensimeternya.
“tekanan darahnya 90/60, rendah tapi mulai membaik, sebentar lagi dokternya datang, mas tunggu sebentar,” ia berbicara dengan laki-laki di sebelahku lalu melepas ikatan yang membebat lengan kananku, merapikan kembali tensi meter miliknya. Tak lama, kembali datang wanita paruh baya lain, kacamatanya dibingkai hitam, bajunya hijau dibalut jas berwarna putih, khas dokter-dokter di seluruh dunia. Butang dadaku dibuka satu persatu, kedua pangkal stetoskop ditancapkan pada kedua telinganya, membran stetoskop menggerayangi dadaku, dingin menusuk rusuk.
“tensinya berapa, Sus?”
“90/60, Dok,” jawab si suster sembari memeluk erat papan jalan miliknya, mungkin ada informasi kode nuklir Rusia tercatat di situ, jadi dia takut ada yang ingin merampasnya dan memicu perang dunia ketiga.
Aku masih belum bisa bergerak, tubuhku lesu, layu seperti putri malu. Tangan dokter itu kini membelalakkan mataku, lagi sebelah menyorotnya dengan senter pena miliknya. Dia intip, seperti mencari anak curut di balik meja, lalu dengan intuisinya dia langsung mengatakan kepada seorang laki-laki yang sedari tadi ada di sebelahku, bahwa aku mulai membaik, cihh, dia pikir dia siapa? Seenak udelnya menjatuhkan vonis angkuhnya kepadaku.
Dia siapa? Lohhh, laki-laki itu juga siapa, Astaga! Kenapa aku bisa ada di sini?
*****
Tiga minggu berlalu setelah aku diizinkan pulang dari rumah sakit, memboyong serta dakwaan bahwa aku mengalami Retrograde Amnesia, yaitu ketidakmampuan untuk mengingat kejadian masa lalu. Dokter mengatakan bahwa semua memori empat tahun ke belakang kemungkinan hilang, namun ingatan lainnya tetap ada. Jadi bisa dikatakan aku seperti masuk ke dalam kapsul mesin waktu dan keluar setelah empat tahun berikutnya.
Dullah, katanya adalah sahabat yang aku kenal karib, ia yang kerap menggantikan ibuku untuk menemani selama aku koma di rumah sakit, ia juga yang mendapati aku tersadar setelah dua minggu lamanya tertidur seperti beton. Sayangnya, Dullah baru kukenal tiga tahun belakangan, jadi semua memoriku tentangnya pun turut terhapus.
Aku bekerja di sebuah hotel bintang lima di Jakarta, dan seingatku, sudah dua tahun aku bekerja sebagai Operator Telepon, yang bertugas menerima serta menyambungkan semua telepon yang masuk maupun keluar. Rupanya stok informasi yang kumiliki tidak sama dengan kenyataan, hotel tempat aku bekerja mengatakan bahwa aku sudah enam tahun bekerja di hotel ini dan aku mendapat promosi dua tahun lalu sebagai Petugas Penerima Tamu.
Sebetulnya aku tidak percaya, mengingat posisi penerima tamu adalah posisi yang paling aku hindari, berbicara dengan tembok jauh lebih menyenangkan ketimbang harus bertatap muka secara langsung dengan orang-orang degil dan jelangak di depan situ. Adalah Ibu Nazma, seorang dara blasteran Pakistan – Tanah Abang yang sudah tidak muda lagi inilah yang menjelaskan bahwa tiga tahun lalu ada pengunduran diri massal, dan aku dipaksa belajar menjadi penerima tamu dan dua tahun lalu aku sahih menjadi seorang penerima tamu.
Ibu Nazma adalah rekan kerja yang sangat aku percaya, karena sejak kali pertama aku masuk kerja, dialah yang banyak mengajariku, terlebih usianya yang sudah empat puluhan membuat relasi kami serasa ibu dan anak, beruntung ingatan tentangnya tidak ikut terhapus. Aku sempat bertanya terkait hubunganku dengan Dullah, apa benar kami sedemikan akrab?
“Pur, kalian berdua itu sudah seperti buah pelir, kemana-mana selalu berdua, bahkan banyak yang mencurigai kalian adalah pasangan homoseks,” jawab Bu Nazma dengan wajah menyeringai.
“Tapi aku tidak Gay kan, Bu?” aku menukas jawaban Bu Nazma yang hanya dijawab gelak olehnya.
Atas kebijakan pihak manajemen, aku diizinkan untuk kembali bekerja sebagai Telepon Operator namun mesti juga belajar sebagai penerima tamu selama tiga bulan ke depan, agar nantinya aku kembali bisa bekerja sebagai Penerima Tamu.
******
Waktu telah menunjukkan pukul empat lebih sedikit, menandakan jam kerja aku dan Bu Nazma telah terlampau satu jam, Bu Nazma mengajakku pulang, kami berganti tugas dengan kawan yang bertugas petang hingga malam.
“Pur, kau baik-baik saja? kau bisa pulang sendiri?, atau mau aku pesankan ojek online?” Dullah menyapaku yang hendak pulang bersama Bu Nazma. Dullah bekerja sore hari ini, ia bekerja sebagai penerima tamu, sama denganku sebetulnya, namun kini aku kembali bekerja sebagai Telepon Operator, sesuai ingatan terakhirku.
“Ojek Online?” aku mengernyitkan kening kebingungan dengan yang dimaksudkan Dullah dengan Ojek Online.
“Astaga Gopur, kau ini dirawat di rumah sakit atau di dalam gua milik Plato sihh sebetulnya!”
Dullah akhirnya menjelaskan bahwa tiga tahun belakangan masyarakat kita sedang demam transportasi daring, bahkan katanya aku punya aplikasi tersebut dalam gawaiku, karena aku kerap membeli martabak untuk kawan-kawan lewat aplikasi tersebut jika mendapat uang tips dari tamu. Kini hidup menjadi lebih mudah, kemana saja tinggal tekan, beli apa saja, kirim apa saja semua tersedia dalam piranti ringkih yang sering kita akrabi dengan istilah smartphone, dunia serasa ada dalam gengaman, Dullah menjelaskan seperti tukang obat, berlebih.
Ya Tuhan, aku benar-benar seperti Robinson Crusoe yang baru kembali ke peradaban manusia, asing betul rasanya.
“Aku naik busway dulu saja Dul, terima kasih.”
Hujan rintik bergemericik menyambut langkah pertamaku meninggalkan hotel tempat aku mengais rezeki. Beruntung, persis di sebelah gedung hotel adalah pusat perbelanjaan yang cukup besar di Jakarta, dan lantai bawah gedung pusat perbelanjaan itu memiliki lorong yang merupakan jalan pintas menuju tempat pemberhentian Transjakarta terdekat, meski masih berjarak tiga puluh tombak dari pintu keluar lorong, setidaknya lebih baik ketimbang mesti berjalan memutar yang tiga kali lebih jauh dari jalan lorong Mall.
Aku pikir ada baiknya juga jika aku berjalan-jalan dulu di dalam Mall, sembari menunggu hujan reda.
Ahhh! Sial betul, gerimisnya cukup lebat rupanya, jarak yang hanya sepelemparan batu tetap membuat jaket dan rambutku agak basah. Aku kepakkan jaket dan rambutku setibanya di pintu masuk gedung perbelanjaan, persis seperti anak anjing yang habis tercebur empang.
“Tissue?”
Seorang wanita dengan rambut sebahu datang menyorongkan tisu miliknya.
“Kepala dan rambutmu basah, setidaknya bersihkan air hujan dari kepalamu itu.”
Sebentar aku terpegun, lalu aku mengambil sehelai tisu miliknya lalu mengucapkan terima kasih. Dahi kuseka ketika ia melangkah pergi. Sebongkah pertanyaan mengiringi langkahnya memasuki area dalam pusat perbelanjaan tersebut, siapa gerangan dirinya?
Aku memasuki lorong, berjalan menuju eskalator, bermaksud menuju lantai atas, tempat pusat perbelanjaan berada, mungkin aku akan mencari beberapa buku untuk bekal perjalanan di “busway” nanti. Sepanjang lorong rupanya dipenuhi gerai-gerai makanan serta minuman, mereka semua rapi berderet, seperti tanaman rambat mereka merembet, berteriak bising memanggil pembeli seperti terompet.
Langkahku terhenti tak jauh dari tangga berjalan, karena persis di bawahnya aku melihat perempuan yang tadi memberikanku tisu tengah duduk sembari membaca sebuah buku tipis, menanti pembeli dari balik gerai Teh Thailand miliknya.
Bisnis Teh Thailand ini sepertinya tengah menanjak, aku juga melihat gerai serupa di Rumah Sakit tempo hari, dekat rumahku pun ada satu, hanya berbeda nama saja, “Cum-Cum” “Duk-Duk” “Mug-Mug” dan yang satu ini bernama “Bum-Bum” dengan aksara Thailand yang tak aku pahami juga gambar gajah menghiasi gerainya yang dicat hitam.
“Apa Santiago sudah mendapatkan ikannya?” aku mendekati perempuan yang sedang membaca buku Ernest Hemmingway, The Old Man and The Sea tersebut.
“Belum, mungkin esok ia akan mendapatkannya”
“Kalau begitu, boleh kau buatkan ini untukku?” jemariku menunjuk satu menu pilihan yang bertuliskan Best Seller.
Ia mengambil sehelai daun bambu yang sudah menguning sebagai penanda buku miliknya, lalu dengan cekatan dia menyiapkan pesananku, bongkahan es batu yang sudah halus dicerai-berai, krimer kental manis dan tentu saja teh dari ketel khusus. Di depan gerainya hanya ada tiga kursi berjejer. Aku duduk di kursi paling kanan agar bisa melihat prosesnya.
“Terima kasih tisunya,” aku coba mencairkan suasana yang sebeku es di mesin pendingin itu.
“Cuma tisu, bukan soal besar,” jawabannya lebih dingin dari salju, lebih beku dari batu.
Pesananku rampung diramu, segelas teh racikannya disodorkan ke arahku, dan dia kembali melanjutkan petualang si tua Santiago mencari ikan, dan aku, sendirian menyesap segelas es Teh Thailand bersama hujan yang kian lebat di hadapan seorang perempuan yang benar-benar abai dengan kehadiranku. Dingin, lebih dingin dari salju Kilimanjaro.
“Enak gak tehnya?” dia kembali menutup bukunya, memperbaiki posisi cermin matanya yang mulai merosot dan melontarkan pertanyaan hangat kepadaku. Rupanya dia tidak sedingin yang kupikir, dia cukup ringan lidah sepertinya.
“Sepertinya ini akan menjadi salah satu teh terbaik yang pernah aku rasakan.”
“Romlah, aku Romlah,” sembari menyorongkan tubuhnya agar bisa menyodorkan tangannya kepadaku ia menyebutkan namanya. Tentu saja, adalah sebuah dosa yang teramat besar jika sodoran tangannya tak kusambut sesegera mungkin. “Gopur, panggil saja aku Gopur,” kami beruluk salam, lalu ia mencantumkan rambut sisi telinganya ke belakang telinga, khas perempuan di manapun yang tengah menarik perhatian laki-laki.
“Kau akan sampai pukul berapa di sini, Rom?”
“Lima belas menit lagi aku akan tutup.”
“Oyah, jadi berapa semua?”
“Tidak perlu, ini hari pertama aku buka, jadi aku berikan gratis untukmu”. sudahlah cantik, murah hati pula dia.
“Ayolah, setelah tisu, takkan lah kau berikan minuman ini dengan Cuma-Cuma”
“Betul, hari ini kami memang sedang promosi pembukaan hari pertama,” Romlah masih menolak dibayar untuk minuman yang aku minum.
“Baiklah, bagaimana jika dengan segelas kopi? Toh hujan juga masih belum reda,” aku menawarkan Romlah untuk singgah dan meminum kopi sembari menunggu hujan reda.
“Dengan sepotong kue boleh?” ia tersenyum, membuat waktu terasa berhenti untuk beberapa lama.
Cakrawala habis menelan sang surya, bias jingga, juga rona pelangi sehabis hujan turut dilahap serta. Kini gelap meraja di angkasa, bising klakson mobil menguar di setiap persimpangan, juga motor-motor yang naik trotoar berebut tempat di bahu jalan, dengan para pejalan kaki yang terlempar hampir-hampir masuk comberan.
Hujan mulai reda, kopi kami pun kandas tak bersisa, ditenggak bersama cerita-cerita yang kami bagi berdua, hingga nomor telepon yang kami tukar di penghujung anjangsana.
******
Tiga bulan terlangkah, pun demikian perkenalan aku dengan Romlah, hingga posisiku kini sebagai penerima tamu yang telah absah, juga luka kecelakaan dan amnesia yang sudah tak lagi jadi masalah.
Kami bersepakat untuk melanjutkan tradisi minum kopi sepulang kerja, terlebih jika ada hujan yang belum reda, maka secangkir kopi dan semangkuk cerita adalah formula terbaik untuk menghabiskan sepotong senja.
Bulan Oktober masih separuh lagi, dan hari ini kami berdua sudah saling mengikat janji, bahwa mesti ada secangkir kopi, karena Oscar Wilde merayakan hari jadi. Romlah sangat menyukai puisi-puisi dari Oscar Wilde, bahkan sekali waktu di sela sesapan cangkir kopi dia pernah berwasiat, “jika suatu saat aku mati, bacakan The Ballad of Reading Gaol di atas makamku, Pur”.
Langkah membawaku menuju kedai Teh Thailand, tempat Romlah selalu berada. Sebuah buku Oscar Wilde, The Picture of Dorian Gray terbungkus rapi dan tersimpan aman di dalam tasku. Aku tahu Romlah hanya membaca puisi-puisi dari Wilde dan belum pernah membaca Novelnya, itu kenapa aku akan menghadiahkan Romlah buku ini.
Riang betul hati ini, rasanya aku bisa mendengar lantunan Empat Musim dari Antonio Vivaldi mengiringi setiap langkahku menuju perjumpaan dengan Romlah, perjumpaan yang sesungguhnya sudah berulang kali aku lakukan namun keriangan ini tak sekutil pun berkurang kadarnya.
Dari kejauhan aku perhatikan lamat-lamat tempat biasa Romlah berada, namun aku tak melihatnya, malah kulihat seorang pria yang kulihat bersemayam di tempat Romlah. Langkah kupercepat agar bisa segera memungkasi segala rasa penasaran yang teronggok dalam kepala.
“Romlahnya ada mas?” sebuah pertanyaan aku timpukkan ke arah pria yang berani-beraninya menduduki kediaman Romlah.
“Romlah? Saya sendiri mas, tidak ada yang bernama Romlah” cihh…!!! Laki-laki ini membual, sudah jelas aku bertemu hampir setiap hari dengan Romlah di tempat ini.
“Tidak mungkin mas, saya hampir setiap hari bertemu Romlah di sini, sejak tempat ini buka tiga bulan lalu.”
“Pertama, gerai ini sudah satu tahun ada di sini, kedua, saya menjaga tempat ini sejak empat bulan lalu, dan anda tidak pernah singgah sekalipun,” laki-laki ini sepertinya mulai kesal, pun demikian denganku.
Aku putuskan untuk meninggalkan tempat tersebut dan menelpon Romlah, ponsel aku ambil dan kucari nomor Romlah untuk kemudian aku telpon. Daftar kontak aku gulir mencari nama Romlah, tapi sial, kenapa tidak ada, aku gulir lagi sekali, dan aku perhatikan dengan seksama, tapi tetap tidak ada, kontak dengan awalan “R” hanya ada tiga, Rengga, Roni dan Raup, tidak ada Romlah. Aku coba buka pesan singkat, karena aku ingat betul, hampir setiap malam Romlah dan aku bertukar pesan lewat ponsel kami masing-masing, lagi-lagi tidak ada, hanya ada pesan dari operator dan tagihan kartu kredit. Mungkin ada di daftar panggilan, namun tidak juga aku temukan. Lalu di mana Romlah?
******
Malam ini aku tak bisa tidur, mataku lamur, mulutku mendengkur, tepekur seperti burung tekukur. Aku hanya masih belum mengerti, ke mana Romlah pergi, seperti hilang ditelan bumi, atau ia terbang seperti kolibri.
Pagi ini aku berangkat dengan kekurangan hasrat, bekerjapun rasanya tak bersemangat, beberapa kesalahan pun aku buat, karena kabar dari Romlah yang hingga kini belum juga aku dapat.
Waktu berlalu sedemikian lekas, meski masih banyak tumpukan tugas tapi jam kerja telah pungkas. Aku pulang, dengan langkah yang mengambang, berpikir ke mana Romlah menghilang. Aku berjalan lewat tempat biasanya, berhenti sejenak di depan pintu pusat perbelanjaan, berharap ada perempuan datang memberikan tisunya, tapi tidak ada. Memasuki lorong yang hari-hari aku lalui, langkahku kian lesu, memecah kerumunan orang-orang yang menunduk tunduk pada gawai dungu, ingin rasanya bergegas melewati tempat di mana Romlah biasa menunggu.
“Mas…. Mas….” Sayup kudengar suara seseorang berteriak memanggil, semua orang menengok ke arahnya, karena ia tak menyebutkan nama, lamat-lamat aku lihat, suara itu datang dari arah gerai Teh Thailand tempat Romlah biasa bekerja, dan ia memanggil aku.
“Iya mas, sini sebentar” ternyata betul ia memanggilku.
“Tadi pagi, pemilik tempat ini datang untuk mengaudit barang, dan saya bercerita soal kemarin kepadanya. Katanya, empat bulan lalu sebelum saya bekerja di sini, pegawai di tempat ini namanya Romlah, coba datang ke sini, mungkin Romlah yang mas maksud ada di situ,” ia menyodorkan secarik kertas kepadaku berisi alamat, yang mungkin itu adalah alamat Romlah.
******
Pagi terlalu dini, bau kencing bercampur oli dan bensin tumpah melebur jadi satu, mencipta sebuah aroma paling biadab yang hanya bisa kau hirup di terminal bus antar kota antar provinsi.
Bus melaju perlahan, meninggalkan terminal busuk dan Ibukota beserta hiruk pikuknya, menuju Swiss Van Java, Garut, kota yang konon pernah disambangi Ratu Wilhemina. Romlah tinggal di pinggang gunung Papandayan menurut sobekan kertas yang aku pegang, dan aku berharap izin cuti tiga hari dari pekerjaan bisa membuahi perjumpaanku kembali dengan Romlah. Semoga!
Jalanan cukup lengang, waktu tempuh pun nisbi singkat, hanya enam jam, lebih cepat satu jam dari jadwal. Beruntung aku membawa kumpulan puisi Oscar Wilde di dalam tas, perjalanan semakin tidak terasa. Ketibaanku langsung disambut kerumunan tukang ojek yang seketika mengerubung ketika kondektur membuka pintu, bak paparazi mereka membredel aku dengan pertanyaan serupa “Ke mana a?”
Satu orang kurenggut, lalu kusodorkan secarik kertas alamat Romlah, ia mengangguk. Tali gas ditarik cepat, motor melesat secepat kilat, menggerayangi kaki hingga pinggang gunung Papandayan, dan akhirnya tiba di rumah yang kutuju. Rumah Romlah.
Terik mengantup tengkuk, ketika di depan pintu rumah aku mengetuk, dari dalam seseorang datang menyambut, mengajak aku masuk lalu mempersilakan aku duduk.
“Cari siapa yah, Mas?” dengan logat sunda yang sangat kental, wanita yang aku taksir berusia empat puluhan melemparkan pertanyaan kepadaku.
“Romlah, Bu, katanya ini rumahnya Romlah.”
“O, Romlah, adek temennya Romlah yah, dia masih di ladang sebentar bibi panggil yah.”
Ia pergi meninggalku sendiri, setelah menyuguhkanku beberapa potong ubi dan secangkir kopi. Pandangan aku edarkan ke seluruh penjuru ruangan, beberapa pajangan serta foto-foto keluarga aku dapati menghiasi dinding yang catnya sudah mulai berjerebu. Satu di antaranya aku lihat foto Romlah dengan seorang wanita berparas lebih muda darinya yang aku terka adalah adiknya.
Perempuan tadi datang bersama wanita yang berfoto bersama Romlah, yang barusan aku terka adalah adiknya. Aku mencari-cari Romlah di belakangnya, tapi tidak ada.
“AA cari saya? Ada apa yah?” ia menyapaku dengan ramah.
“O, maaf, bukan saya cari Romlah teteh” jawabku dengan logat sunda yang jauh dari kata akas.
“Ya iyah A, saya Romlah, AA cari siapa sebetulnya,” kepalaku agak sakit, tidak mengerti apa yang terjadi.
Lalu aku menunjuk foto yang barusan aku lihat, aku mencari Romlah yang ini, yang ada di foto ini. Mereka berdua melihat foto yang aku maksud. Mereka berdua saling pandang, terlihat bingung termenung, satu di antaranya terlihat menelan ludah, mereka seperti tercekat, lidahnya sepertinya kelu, tak tahu apa yang mesti diucap.
“Hayuk A, ikut bibi” aku mengekor di belakang mereka berdua. Aku diajak ke ladang di belakang rumahnya. Tomat, wortel dan bayam subur tumbuh di halaman belakang rumahnya. Dan langkah mereka berhenti di depan sebuah pusara.
“Namanya Rosmah, kakak dari Romlah, dia pamit ke Jakarta setahun yang lalu, ingin sekolah lagi katanya. Empat bulan lalu ia pulang, rapi terbungkus kafan, kecelakaan bersama kekasihnya kata polisi yang mengantar.”
Dadaku sesak, seperti ada yang ingin keluar mendesak, menyedak hendak meledak. Jantungku cepat berdegup, seperti suara kuda gila berlarian bergedebag-gedebuk. Kepalaku mau pecah, ada sesuatu yang ingin keluar membuncah.
Aku bingung apa yang sebenarnya berlaku, aku jatuh terduduk lesu, pada kedua lutut aku bertumpu. Air mataku tak lagi bisa kucegah, deras ia tumpah, lebat ia menitih ke atas tanah. Aku tak tahu apa yang sebenarnya terjadi, wanita yang selalu aku jumpai selama ini, ternyata dia sudah mati sejak empat bulan lalu.
Aku mengambil buku kumpulan puisi Oscar Wilde yang aku bawa dari Jakarta. Membolak-balik halaman, mencari The Ballad of Reading Gaol. Aku tak tahu lagi apa yang harus aku lakukan selain menjalankan wasiatnya. Membacakan puisi di atas makamnya.
Senja yang mendung menjadi pertanda bacaan puisiku telah rampung, rintik hujan pun perlahan turun berkerubung, langit pun sepertinya tahu perasaanku yang tengah berkabung. Hujan tak kunjung reda, gelap pun mulai meraja di angkasa, persis seperti kali pertama aku dengan Romlah berjumpa.
Hanya kini, aku tak tahu lagi kepada siapa kopi dan cerita harus kubagi.
More from Fiksi
Surat untuk Mantan
Lara, Ini mungkin adalah surat yang kesekian kali kutulis, tapi kali ini rasanya berbeda. Seperti ikan besar yang terjerat di jaring …
5 Cerpen Cinta yang Akan Bikin Kamu Terbawa Perasaan
5 Cerpen Cinta yang Akan Bikin Kamu Terbawa Perasaan Hey Sobat Semay, siap untuk terbawa oleh ombak perasaan yang mendalam? Ini …
Leave A Reply
[…] utama The Queen’s Gambit, saya juga ingin sedikit mengisahkan persinggungan masa kecil saya dan papan catur sebagai permulaan tulisan ini. Meskipun beda […]