Mengalami Depresi, Pergi ke Psikolog Memang Saya Gila?
Kematian adalah hal yang pasti akan dialami oleh setiap manusia. Berbagai sebab dari kematian ada yang terlihat dan ada yang tersirat, namun sayangnya setiap dari kita tidak akan pernah tahu di mana dan kapan kita akan menerima tanda-tanda mengarahkan pada kematian tersebut. Faktor utama yang dapat mengarahkan setiap individu pada kematian terbagi menjadi dua. Pertama, kondisi kesehatan fisik. Berdasarkan faktor utama kondisi kesehatan fisik tentu memiliki peranan yang besar. Kedua, situasi psikis semisal diabaikan dan tidak mendapatkan penanganan ketika menurunnya kondisi kesehatan psikologis saat-saat tertentu, maka boleh jadi menjadi pemicu utama timbulnya kematian secara mendadak tanpa adanya penurunan kesehatan fisik atau sakit tertentu yang akrab kita kenal belakangan ini dengan cara membunuh dirinya sendiri untuk menjemput maut.
Tentu masih akrab di telinga dan ingatan kita mengenai beragam pemberitaan kematian dengan bunuh diri yang dilakukan bahkan memilih cara untuk terealisasikannya kematian yang diinginkan seperti yang terjadi menjelang akhir tahun 2018 ini di mana rentetan kasus bunuh diri menambah daftar panjang yang tak kenal usia dan teritori. Remaja berusia 19 tahun mencoba mengakhiri hidup dengan membakar dirinya sendiri, pemuda Tangsel bunuh diri dengan loncat dari lantai 15 apartemennya, ada juga mahasiswa yang tewas di kampus akibat lompat dari ketinggian 22 meter, pernah juga ditemukan pemuda berusia 24 tahun tewas gantung diri di kosan temannya dan pada Desember 2018 ini seorang pemuda di Palang Karaya yang gagal menikah akhirnya nekad mengakhiri hidup dengan minum racun ikan.
Berita-berita tersebut memang terekspos media, namun terbayangkah berapa banyak kejadian lain yang tidak mengudara. Alhasil memilih untuk menyembunyikan peristiwa memilukan dan menutup kematian yang “memalukan” itu dengan semacam “keikhlasan” pun tak terhindarkan.
Lantas, pernahkah terbesit dalam pikiran apa sebab kematian yang direncanakan sendiri tanpa mau mengikuti rencana takdir Tuhan? Stres berat, perasaan tertekan atau yang sering dikenal dengan sebutan depresi merupakan pemicu terealisasikannya cara-cara kematian yang diinginkan diri sendiri yang juga oleh diri sendiri.
Kapankah seseorang sebetulnya membutuhkan pendampingan kala mengalami depresi, tertekan yang memiliki harapan hidup surut, memiliki pikiran bahwa dunia fana ini tak lagi cocok dengannya, dan seakan langit hanya memiliki satu warna: gelap nan pekat. Menurut psikolog Titi Sahidah Fitriana, pertanyaan tersebut sama halnya dengan kapan kondisi seseorang membutuhkan dokter. Kebanyakan orang pergi ke dokter bila cara-cara untuk kembali pulih yang biasa dilakukan tidak lagi berhasil, demikian juga dengan pergi ke psikolog, ujar Titi via percakapan di WhatsApp.
Seseorang perlu pergi ke psikolog apabila cara-cara copying yang biasa dilakukan dalam hidup untuk menyelesaikan masalah, tidak lagi efektif; konflik yang terus menerus terjadi, masalah sehari-hari yang sulit diatasi sendiri. Meskipun demikian ada yang perlu diketahui publik bahwa disiplin ilmu psikologi itu juga terbagi-bagi, tak jauh berbeda dengan dokter. Ada dokter bedah syaraf, ada dokter gigi, ada dokter umum. Sedangkan untuk psikologi, ada psikolog pendidikan yang biasanya mengurusi hal-hal yang beririsan dengan pendidikan seperti sekolah, pengarahan minat dan bakat, karir, dsb. Mereka juga bisa jadi rujukan dalam pembuatan kurikulum pendidikan yang ramah anak. Ada juga psikolog industri dan organisasi, merekalah yang mengelola SDM di sebuah organisasi bisnis. Kemudian, ada juga psikolog klinis. Nah, yang ini lebih menangani wilayah individu, mulai dari permasalahan sehari-hari seperti rumah tangga, kesulitan berkomunikasi hingga ranah abnormalitas seperti kepribadian ganda, skizophrenia, dsb. Jadi, depresi adalah hanya salah satu kondisi dari sekian banyak kondisi yang membutuhkan bantuan seorang psikolog.
Patrick Corrigan, seorang profesor psikologi yang mengajar di Illinois Institute of Technology mengatakan stigma terhadap penderita gangguan psikologis semakin hari semakin memburuk. Mengingat kembali bahwa penderita gangguan depresi memiliki beberapa gejala utama yakni merasa diri terisolasi dan tidak nyaman bila bertemu dengan orang lain, maka hal tersebut membuat orang dengan gangguan psikologis semakin merasa kesepian, terisolasi, sehingga ada kecenderungan kesulitan untuk mendapatkan penanganan yang tepat.
Sebagian dari penderita gangguan depresi bahkan menginternalisasi pesan dan membentuk citra diri negatif sehingga mereka merasa tidak layak untuk hidup dan memilih untuk melukai diri sendiri dan memilih untuk bunuh diri. Terdengar seperti lagu Stan yang popular di awal 2000-an yang mengisahkan kegilaan seorang penggemar kepada idolanya.
Tingkat stres kehidupan kota dan desa tentulah berbeda. Untuk mereka yang tinggal di kota besar seperti Jakarta dan Bandung, keberadaan psikolog cukup mudah ditemukan. Biasanya setiap Rumah Sakit memiliki psikolog yang dapat ditemui dengan perjanjian. Banyak juga psikolog yang praktik secara mandiri. Beberapa universitas yang memiliki prodi psikologi juga biasanya memiliki layanan konsultasi psikologi. Kondisi ini berbeda dengan desa atau setidaknya di kota-kota kecil. Masih minim sekali keberadaan para psikolog ini.
Saat ini memang masih banyak orang yang tak berani mengunjungi psikolog lantaran tersiar stigma tak enak didengar bahwa jika pergi ke psikolog artinya orang itu “gila” dan stigma negatif lainnya, hal tersebut memang membikin orang-orang yang membutuhkan penanganan merasa malu dan tidak seterbuka saat pergi ke dokter untuk berobat saat sakit. Padahal baik ke dokter atau psikolog tidak ada bedanya. Jadi untuk menghapus stigma buruk tersebut mari kita memulainya dengan beranggapan bahwa pergi ke psikolog itu sama dengan pergi ke dokter. Sama-sama berobat.
You might also like
More from Cerapan
Silent Treatment dalam Pertemanan: Saat Diam Menjadi Senjata
Silent Treatment dalam Pertemanan Dalam pertemanan, komunikasi adalah kunci utama untuk menjaga hubungan tetap sehat dan harmonis. Namun, apa jadinya jika …
Time Management Matrix: Strategi Efektif Mengelola Waktu dan Prioritas
Time Management Matrix: Strategi Efektif Mengelola Waktu dan Prioritas Dalam kehidupan yang semakin sibuk, kemampuan untuk mengelola waktu dengan baik menjadi …
Kebutuhan Tidak Penting tapi Mendesak
Kebutuhan Tidak Penting tapi Mendesak Dalam kehidupan modern yang serba cepat dan dinamis, sering kali kita dihadapkan pada berbagai macam kebutuhan. …