Semusim baru berlalu…
Kala itu hujan turun membasahi remah resah jiwa yang gelisah. Sepasang sepatu dengan semangat melangkah.
Ia berjalan menyusuri hujan demi sebuah ruang perubahan. Harapan tak muluk, ia hanya menyekat hati untuk menjadi pribadi yang lebih baik, bertemu dengan orang – orang baik dengan semangat yang sejalan.
Ia turun dari kuda besinya, tak lupa membuka mantel hujan dan sebagian tubuhnya tampak basah. Ia berjalan menuju kursi di depan ruang, bersalam sapa dengan seorang lelaki berkacamata, berwajah culun tapi menyebalkan.
Ya, ia rasa lelaki itu adalah si admin menyebalkan. Menulis namanya dengan nama yang salah di grup WA. Tapi sudahlah, tekadnya tak perlu surut oleh lelaki yang ia juga tak kenal siapa dia.
Pintu ruang di buka perlahan. Ruang itu tampak asing, ia tak kenal seorang pun disana. Duduk diam mendengarkan sambil menatap bingung apa yang harus ia lakukan. Duduk di depannya seorang lelaki paruh baya, sedang berbicara.
Di sebelah kanan dengan pembatas tampak para bidadari surga duduk rapi dengan hijab panjangnya. Mereka tampak saling bercengkrama sedangkan ia hanya tertunduk bingung.
Detik berlalu, hujan masih saja mengguyur tanah di luar sana. Ruang itu kini mulai bersuara, satu per satu untuk memperkenalkan diri. Tak luput ia juga memperkenalkan diri dengan hati yang masih bertanya – tanya ruang apa ini sebenarnya?
Hari itu ia bertemu orang – orang baru, hangat namun masih kaku. Ia membiarkan hari itu berlalu begitu saja.
Ia cukup acuh untuk tidak berlama – lama berpanjang cerita. Ia pulang dengan tidak membawa apa – apa, cukup sebuah perkenalan yang mungkin akan berlanjut di hari lusa.
*****
Masih di satu musim,
Hari berlalu, namun hujan terus menyapu kering jalan yang semu. Tak ada satu rintik pun yang membiarkan pepohonan kering untuk kehausan. Ia menyapu dahaga tetumbuhan dan memberinya kehidupan.
Dedaunan tak ia biarkan rontok dan berjatuhan. Ia menyemai hijau alam meski si resah terus mencari arah.
Lusa menjelang, langkah itu masih berharap agar ia bertemu tangan yang merangkul, kaki yang sejalan, dan bahu yang meringankan beban.
Ruang itu kembali diisi jiwa – jiwa yang penuh asa, mata menatap, bibir kelu bercerita.
Perjalanan tak usai, ruang itu semakin hari semakin penuh cerita. Hujan tak pernah menjadi halang rintang untuk pertemuan berikutnya.
Mereka mulai menebar senyum, tak jarang mengingatkan dalam kebaikan. Salam sapa tak hanya pada pertemuan, kini berlanjut pada telepon genggam.
Tak jarang sepertiga malam telepon genggam berbunyi dan keluar sebuah suara “Mas, salat tahajud”. Atau hanya sebatas pesan singkat “Mas, antum besok puasa sunah?”.
Pelan-pelan, lebih terasa dekat, “Mas, besok ikut ada kajian di Bekasi. Kuys kita jalan!”. Semakin dekat dan semakin rasa itu mendekat, “Sudah Adzan, ke masjid, Gaes!” Tak ada genggaman yang lebih hangat sebelumnya dari sebuah persahabatan yang mendekatkan diri ke illahi.
Mereka adalah genggaman itu, rasanya tak mungkin lepas karena mereka ia kuat.
*****
Masih di musim itu,
Hujan berkali – kali bercengkrama mengguyur semangat yang tak pernah ada habisnya. Malam dilalui sampai larut dalam gelap dan pekat. Semua dilalui demi sebuah persiapan perjalanan.
Bungkusan makanan, buku, pulpen dan lainnya menjadi sebuah kenang yang tak mungkin bisa hilang.
Kedekatan itu semakin hangat meski hujan tak kunjung reda. Satu dan lainnya mulai mengenal dan tawa kini tak bisa dibendung.
Tidak sedetik pun terpatri rasa menyebalkan, yang ada adalah waktu yang tenang dan lebih terasa semua alam mendekatkan diri kepada-Nya.
Perjalanan dimulai, itu kali pertama mereka berpergian ke tempat sejauh itu. Melewati kemacetan namun tak gusar karena dilalui dengan cerita dan canda tawa.
Perjalanan itu tampak indah setelah melewati gegunungan hijau dan lembah. Semua tampak siap untuk melewati waktu bersama.
Dan tibalah mereka di sebuah puncak bukit yang menawan. Pinus melambaikan daunnya menyambut ceria, tak ketinggalan domba – domba di kandang menyapa.
Bunga – bunga juga tampak tersenyum ria, mereka semua seolah memberi salam sembari berzikir. Indah, tak bisa dilukiskan betapa langit juga ikut membiru.
Sore itu, keceriaan dimulai dengan turun ke sebuah kolam yang teramat gelap oleh lumpur. Kotor? Tak ada rasa takut dan gusar. Kaki kaki itu dengan mantap turun dan malangkah ke dalam kolam berlumpur.
Hitungan dimulai, dan dimulai pulalah para tubuh – tubuh itu menangkap ikan dengan sigap. Berlari ke sana kemari merebut ikan dengan sekuat tenaga, agar semua tahu bahwa pemenangnya adalah dari kelompoknya.
Permainan ini ia rasa tak perlu siapa yang hebat menangkap, tapi siapa yang bisa membuat rekannya jatuh dalam kubangan itu jauh lebih seru. Semua tawa pecah, tak perlu jadi pemenang yang penting bisa bersama berkotor ria dikubangan lumpur.
Tak pandang lawan maupun kawan, semua didorong agar terjatuh. Hanya tampak raut Bahagia, tak ada sedikitpun bergestur wajah duka.
Perlahan rintik hujan jatuh dari langit, kotoran di baju mulai luntur. Mereka berhambur lari menuju kamar mandi dan bersiap menuju masjid.
Di masjid anak – anak sudah duduk rapi, mereka tampak damai. Mereka biasa dengan tenangnnya alam, sejuknya hujan, dan tentramnya gunung bersama pepohonan rindang.
Malam berlalu hangat, di bawah tenda dan rumah pohon mereka tertidur pulas. Keesokan harinya tak lupa tubuh – tubuh itu dikenalkan dengan kuda dan cara memanah.
Sungguh kedamaian dari sebuah persahabatan ada di sana, dan mungkin akan sukar ditemui ditempat yang berbeda. Pagi yang sejuk, siang yang hangat dan malam yang damai dengan nyanyian hutan yang begitu memukau.
Berlalu, terus berlalu. Sahabat itu tak sekadar bersuka cita namun juga saling mengingatkan. Setiap ada waktu kosong mereka habiskan untuk NGOPI (Ngobrol Perkara Iman), atau sambil memburu buku dan melahapnya sampai habis dengan berbagai diskusi.
Dari sanalah ia mengerti, waktu begitu lalai jika harus dihabiskan hanya untuk duniawi. Dan terlalu fana jika dihabiskan oleh sahabat yang tak pernah mengantarkan kita untuk mengingat pada-Nya.
Semua menjadi berarti, yang rapuh kini tegar kembali. Seperti hujan, ia membasahi pohon untuk menumbuhkan tunas baru dan bersemi.
Satu musim berlalu. . . .
Ketika panas terik hadir, kering menyongsong bumi. Hujan tak lagi turun, perlahan pohon – pohon mengering, rumput mati dan tanah tak lagi menemukan zat pelapas dahaganya.
Semua seolah mengikuti alam, hilang perlahan bersama debu jalanan. Kembali sepi, kembali sunyi. Diam ia menyendiri, kosong dalam ruang hampa.
Bagai mimpi hujan di malam hari. Hanya meninggalkan basah pada bunga, ia dibiarkan mekar namun ia tak diberi waktu untuk tetap menikmati hujan.
Cukup tegar ranting yang tak patah, tak hilang arah namun terus berharap.
Burung – burung kembali terbang, namun ia tidak pada kelompoknya. Semua menyendiri mengejar matahari dan bertanya mengapa panas yang tak kunjung reda.
Di mana teman – temannya? Apakah berlindung dari panas? Atau lari berdoa menunggu hujan? Ia berdiri seorang diri, meski kuat namun perlahan kembali rapuh.
“Teman, aku tak kuat sendiri. Aku ingin hujan kembali”
Sepucuk surat ia tuliskan untuk mereka yang terus menjauh.
Ah, ini baru satu musim berlalu.
Rasa kita sudah terpecah
Hujan mempertemukan kita
Dan kemarau mengeringkan semua rasa
Masih ingat hujan tak menyurutkan semangat?
Masih ingat hujan tak membuat goyah?
Masih ingat hujan tetap membuat kita hangat?
Baru satu musim berlalu
Semua mengering meninggalkan kenang
Semua kembali sepi hilang dan lenyap
Masih ingat kita saling berpeluk hangat?
Sambil berbisik “inni uhibbuka fillah”
Aku meneteskan air mata
Aku merasa hari itu aku terlahir kembali
Lahir dari semangat saudara se-iman
Aku hadir dari kering fananya dunia
Namun pertemuan itu membuat aku percaya
Kehidupan terus berjalan
Dan aku berhak untuk menjadi lebih baik
Baru satu musim berlalu
Kita seolah tak pernah bertemu
Semangat itu hilang bagai debu
Baru satu musim berlalu
Mereka selalu mengingatkan ku
Mereka selalu menguatkan ku
Aku yang rapuh menjadi tegar
Namun, musim berlalu
Semua kembali semu
Panas dan mengering
You might also like
More from Fiksi
Surat untuk Mantan
Lara, Ini mungkin adalah surat yang kesekian kali kutulis, tapi kali ini rasanya berbeda. Seperti ikan besar yang terjerat di jaring …
5 Cerpen Cinta yang Akan Bikin Kamu Terbawa Perasaan
5 Cerpen Cinta yang Akan Bikin Kamu Terbawa Perasaan Hey Sobat Semay, siap untuk terbawa oleh ombak perasaan yang mendalam? Ini …