Pertunjukan Maha Ajaib Konser Abadi Mono
Disclaimer: Tulisan ini pertama kali diunggah pada 10 April 2013 di blog saya yang lain, yang saya sudah lupa jika pernah ada, dan hari ini diingatkan Facebook bahwa saya pernah mengunggahnya di sana, agar tidak menjadi artefak yang sunyi juga agar saya ingat, ada baiknya saya unggah kembali di sini
Malam itu teater terbuka Dago Tea House (Bandung) diguyur hujan tak henti-hentinya. Padahal menurut perakiraan cuaca ini sudah memasuki April. Seharusnya hujan tak perlu bertandang lama-lama. Saya pun menyisipkan harapan naif dalam hati semoga satu bintang saja muncul di atas sana namun, langit nampakya tetap enggan membuka tirainya yang gelap. Hampir seharian kota yang dahulu indah itu ditumpahi air dari ketinggian langit.
BACA JUGA: Explosions In The Sky: Langit yang Meledak ke Dalam
Sejak sore saya sudah hadir di tempat itu, di mana sebuah pertunjukan seni adiluhung yang saya nantikan dari bulan-bulan lalu, kawan-kawan saya malah menantikannya menahun, akan segera digelar. Post-rock grup asal Jepang, Mono, akan bergegas mengguyur hujan malam ini. Cukup mengesalkan ketika jadwal dari yang disepakati sebelumnya diundur karena cuaca. Namun, tak apa karena saya tahu kelak semua itu akan terbayar lunas. Saya akan lekas mengerti bahwa Mono bakal membuat saya tak sadarkan diri –yang bila dalam istilah para junkie adalah stokun.
Kami hadir di tempat ini hanya dengan satu alasan: ekstase berjamaah lewat suguhan instrumentalis yang seringnya menciptakan keajaiban-keajaiban baru secara sengaja. Keajaiban yang disengaja itu dikemas dalam konsep mini konser yang outcome-nya amat tidak pantas bila cuma disebut mini. Membuat kepercayaan saya makin tebal bahwa musik adalah suatu perwujudan yang lebih tinggi dari filsafat, sebuah romantisme klasik.
BACA JUGA: Lagu Rock Barat 2000an yang Masih Enak Didengar
Bagi sebagian orang barangkali hujan malam itu adalah anugerah atau mungkin juga musibah, namun bagi saya hujan malam itu adalah momen yang bakal terwariskan, di mana saya seolah memungut serpihan kesunyian sejarah yang makin didalami terasa makin absurd lewat sajian instrumental Mono yang banyak dipengaruhi komposer macam Beethoven itu, namun dengan packaging musik yang dirasa mengoriental. Begitupun, setidaknya membuktikan satu hal bahwa bangsa asia bukanlah bangsa inferior, tak bermutu dalam segala-gala. Meski kembali diwakili oleh Jepang, membosankan memang. Kadang saya jadi bertanya-tanya inikah out-put dari konsep restorasi Meiji yang memberi kebebasan dan support untuk berkreasi pada muda-mudi Jepang? Yang mampu mencapai nilai-nilai artistik tak terkatakan seperti ini? Bisa iya, bisa juga tidak. Yang jelas hujan pun diperhebat oleh suhu yang makin dingin meruncing menusuk-nusuk.
***
Sebagian penonton mendapat jas hujan dan atau payung –saya menduga jika mereka mendapatkannya dari kawanannya yang EO, sedang saya tidak sama sekali meski sudah berupaya mencarinya. Saya cuma dibaluti jaket yang dapat dengan mudah ditembusi angin, hujan, dan dingin. Perlahan tapi pasti, air mengecupi pakaian yang saya kenakan, tak lama kemudian merembes ke sekujur badan. Dan itu membuat tubuh saya menggigil kedinginan. Seandainya dibalut jas hujan atau jaket paling tebal sekalipun, saya rasa itu tidak akan mengubah dingin bertukar hangat. Namun, semua itu bukan apa-apa dibanding dengan apa yang saya saksikan malam itu.
BACA JUGA: Semarak Akhir Pekan
Pertunjukan mega indah pun telah dimulai. Lagu pertama dibuka dengan Legend dari album yang dirilis september tahun lalu, For My Parents. Petikkan minimalis Hideki yang disusul long delay Takaa dalam polesan crescendos memancing teriakkan penonton. Sebuah komposisi khas yang seringnya mengaduk-aduk hati. Dari sini saya pun mulai diajak memasuki ruang transenden Takaakira Goto cs lewat instrumen-nya itu. Gerbang pun terbuka, seakan saya diajak mengikuti ritual penghormatan besar pada sosok yang menginspirasi hidup di tengah situasi yang serba pesimistis.
Efek long delay bernuansa orientalis yang amat khas itu entah kenapa sepertinya telah lama sekali akrab ditelinga, begitu emosianalnya, ia memantik alam bawah sadar menuju ruang yang di mana saya dapat menyaksikan orang-orang sebelum saya menceritakan cita-citanya yang sempat tercapai, tiba-tiba harus runtuh karena arogansi perang dunia. Pertemuan yang mengesankan sekaligus mengharukan pun terjadi pada saat lagu akan berakhir. Eksekusi Takaa berkerumun sound efek tipikal asianis itu terasa mencabik-cabik hati, dibarengi dentuman big tom-tom Takada yang terdengar megah. Dentuman itu seolah tombol raksasa yang mengubah saya menjadi seonggok debu yang pecah melayang ke segala arah bersama butiran hujan. Begitu indah. Membuncah ke berbagai penjuru angin, menuju waktu yang mengejutkan, yang tak satu setan pun tahu.
Pasca pertunjukan berakhir seorang kawan bahkan mengakui jika ia menangis karena lagu ini. Saya tidak tahu kenapa, iblis pun tidak. Apalagi kalian yang absurd identitas, cukuplah biar dia saja yang tahu, sepertinya itu memang baik baginya
Kemudian, disusul Nostalgia, masih dari For My Parents. Sejenak saya tertunduk berkaca pada masa yang telah terlewat. Rumah. Masa kecil. Masa penuh kebebasan. Imajinatif. Kejujuran. Harapan. Keinginan yang polos. Karang Taruna. Cita-cita yang bersih. Ajaran. Budaya. Patriarkis. Feodalis parasatisme. Nilai. Pendidikan. Norma. Agama. Kini, kemanakah mereka semua pergi? Perlukah semua itu? Lalu, sekarang kita mau jadi apa setelah ini? Pertanyaan-pertanyaan kuno yang cukup mengharu ungu. Lagu ini berakhir memukau dengan dentingan sunyi glockenspiel yang ternyata baru saya ketahui jika itu sejenis gamelan atau kulintang.
BACA JUGA: Lagu 80an Barat: Era Keemasan Musik Pop dan Rock
Hujan terus mengguyur konsisten, tak ada tanda-tanda akan berhenti. Warna lighting yang berubah-ubah sukses mendramatisir suasana. Suhu dingin mulai menggerayangi tulang sum-sum, namun, saya malah makin khusyuk menyaksikan mereka. Dan, denting piano lewat sentuhan lembut Tamaki Kunishi (satu-satunya personil wanita) –selain memainkan bass Tamaki juga memainkan keys, perlahan menggeregap telinga yang siap mengkonsumsi suara indah itu, dan agaknya gerbang sejarah lekas dibuka kembali. Sebuah repetisi indah dari Dream Odyysey, seperti mengeja kembali mimpi-mimpi ideal umat manusia pra-evolusi. Tuts piano di awal lagu menyeret saya pada sebuah romantisme kuno yang belum pernah saya sambangi sebelumnya. Dalam sekejap menukar realitas memuakkan dengan mimpi-mimpi baru yang memang tak pernah benar-benar baru, harapan-harapan baru yang tak pernah benar-benar baru. Atau barangkali memang sejarah dikabarkan dari perenungan panjang hasil dari tetesan keharuan, kekaguman, kemegahan, kesedihan, kegetiran yang hampir selalu berakhir pada lembaran pesimisme antik.
What’s really our dream anyway, Oddysey?
Di sela-sela break. Gemuruh suara penonton menggema di antara rincikkan hujan yang tak bosan-bosan membasahi kami. Namun, hal itu tidak akan membuat saya gagal untuk menikmati setiap keajaiban malam itu. Persetan dengan hujan, angin, dan dingin. Nampak, jari tangan Hideki bergerak pelan memetik deretan senar yang disusul Takaa pada part-part selanjutnya. Are You There? pun diperdengarkan, sebuah pertanyaan eksistensialis yang cukup serius. Salah satu lagu favorit saya dari album You Are There yang diproduksi 2005 lalu, perlahan petikkan minimalis itu merayap pada pikiran dan sanubari saya, slow motions space is exactly right here. Hampir sepanjang lagu seakan mewakili orang yang sedang dilanda patah hati bertalu-talu. Namun, diakhirnya seolah menegaskan dengan santai bahwa jika kamu cinta terhadap sesuatu berbuatlah sesuatu untuk apa yang kamu cintai.
Are you there? Here I’am….. O my red butterfly.
Suhu dingin makin beringas. Hujan terus berjatuhan, saya makin tak peduli dengan situasi. Saya tak tahu lagi setlist mereka, pikiran saya mulai menguap ke angkasa raya yang gelap. Yang jelas semua lagu mereka telah saya akrabi. Dari situ saya mulai bermanunggal dengan noise Hideki, dengan dentuman set drum Takada, dibawanya saya ke tengah samudera maha luas tak bertepi, menyusul long delay dan aksi teatrikal individual Takaa yang ternyata meruntuhkan penjara dalam tubuh saya.
Debaman bass Tamaki Kunishi membikin tubuh saya berantakkan, berhamburan di setiap trotoar jalanan. Tubuh saya berubah menjadi kenangan setiap pojokkan warung-warung kopi. Di sawah. Hutan. Sekolah. Kebun pohon-pohon karet. Dari Ciremai sampai Kilimanjaro. Sabang hingga Madagaskar. Saya merasa menyerah dihadapan semesta keindahan ini, dihadapan butiran hujan pun saya hanyalah anak-anak atom yang tak berdaya. Sepertinya ini mimpi.
Ah, tapi bukan, saya masih dapat melihat jelas pasangan suami istri yang masih muda membawa payung dengan membawa anak yang agak mengganggu pandangan saya ke depan stage. Namun, akhirnya mereka mengerti dengan segera mereka menundukkan payung yang mengganggu pemandangan itu. Saya mulai mencoba melihat ke sekeliling, dan saya yakin mereka sama seperti saya, tidak sadarkan diri. Mabuk isotonik musik bernama Mono.
Long noise Hideki dan Taka mulai terdengar lagi beriringan dengan tuts Tamaki Hunishi. Saya melihat Takada sedang merunduk lunglai di atas kursi yang merebah di antara tam-tam dan tom-tom. Karena dia tahu betapa disayangkannya lagu yang begitu menakjubkan ini bila tak diresapi sepenuh hati. Saya pun mengikutinya, saya merunduk memejam mata. Diiringi air yang berjatuhan di atas kepala, betapa indahnya lagu ini. Noise yang dihasilkan kedua gitaris mumpuni itu lagi-lagi membawa saya pada ketidaktahuan objektif.
Suara keyboards yang memanjang seperti sebuah perjalanan kosmik di mana yang ada hanyalah mercusuar keindahan dan kemegahan belaka, senaif apapun dunia ini. Di pertengahan lagu sampai akhir Takada mulai bangkit dari runduknya. Karena pada part ini drum harus dimainkan. Inilah lagu yang sungguh membuat saya tak sadarkan diri, komposisi yang maha indah bukan kepalang. Saya tidak tahu apa mungkin di surga sana komposisi seperti ini akan dimainkan? Cahaya dari setiap sudut nampak berdatangan menyalami saya dengan elegan. Saya membolak-balikan kepala dan tubuh saya ke dalam cahaya-cahaya itu ke kanan dan ke kiri. Hanya terdapat cahaya di mana-mana menyembul dari kejauhan yang entah. Meski cahaya ini adalah cahaya perpisahan.
The great Everlasting Light song. Dan cahaya perpisahan ini pun menandakan bahwa pertunjukan akan segera berakhir.
Sebagaimana yang dinyatakan Takaakira Goto sang lead guitar bahwa, “Music is communicating the incommunicable; that means a term like post-rock doesn’t mean much to us, as the music needs to transcend genre to be meaningful.” Yea. We felt it. Meaningful. Terima kasih Mono atas pertunjukan hebatnya.