Bicara soal Coldplay, ada satu fenomena yang terus berulang dalam dunia musik: band yang pernah berjaya, dengan segala nuansa unik dan orisinalitasnya, lalu kemudian terperosok dalam lubang hitam kebanalan dan ketidakbermaknaan. Sayangnya, inilah yang terjadi pada Coldplay dengan album ketujuh mereka, ‘A Head Full of Dreams’.
Ceritanya dimulai manis. Chris Martin dan kawan-kawan ini dulu dikenal sebagai inovator dalam dunia musik, menciptakan suara yang melankolis dan lirik yang mendalam yang membuat kita berpikir, merasa, dan terkadang menangis. Dengan hits seperti “Yellow” dan “Clocks”, mereka mampu meraih hati jutaan pendengar di seluruh dunia.
BACA JUGA: 10 Band Rock Alternatif Barat Paling Ikonis Era 2000an
Namun, bagaimana bisa band yang menghasilkan ‘Parachutes’ dan ‘A Rush of Blood to the Head’, dua album yang luar biasa, merilis ‘A Head Full of Dreams’, sebuah album yang terasa seperti suatu kegagalan total? Mengapa band ini memilih untuk membuang segala nuansa dan keunikan suara mereka demi merangkul suara pop yang generik dan tidak bernyawa? Mungkin inilah yang membuat banyak pendengar merasa kecewa dan tidak puas. Maka dari itu, mari kita ulas lebih jauh kenapa ‘A Head Full of Dreams’ ini bisa menjadi begitu buruk.
Melompat dari Puncak ke Jurang Pop yang Tidak Bernyawa
Coldplay, sekali berada di puncak gunung musik alternatif dengan hits seperti “Yellow”, “Clocks”, dan “The Scientist”, tampaknya telah jatuh ke dalam jurang pop generik dan tidak bernyawa dengan ‘A Head Full of Dreams’. Jika kamu merasa album sebelumnya ‘Ghost Stories’ terasa membosankan dan tanpa inspirasi, bersiaplah, karena ‘A Head Full of Dreams’ mungkin saja membawa kamu ke tingkat kebosanan yang baru tak terperi.
Menghilangnya Magis Coldplay
Pada awalnya, Coldplay dikenal karena keterampilan mereka dalam menciptakan lagu-lagu dengan lirik yang dalam dan melodi yang penuh perasaan. Namun, di ‘A Head Full of Dreams’, mereka tampaknya telah membuang semua itu demi nada-nada yang mudah dicerna dan lirik-lirik klise yang tidak berarti. Di mana letak magis dari “Fix You” atau keintiman “Viva La Vida”? Yang ada hanyalah deretan lagu pop yang monoton, tidak mengesankan, banal, dan norak.
Kolaborasi yang Mengecewakan
Seolah-olah Coldplay tidak cukup menyiksa kita dengan lagu-lagu pop mereka yang datar, mereka juga memutuskan untuk mengundang Beyoncé dan Tove Lo untuk berkolaborasi dalam album ini. Tetapi, alih-alih meningkatkan kualitas album, kolaborasi ini malah menambah daftar kekecewaan. Mendengar Beyoncé di “Hymn for the Weekend” terasa seperti pemborosan bakat – suaranya yang biasanya kuat dan penuh ekspresi, di sini hanya menjadi latar belakang untuk vokal Chris Martin yang lemah.
Penutup yang Membuat Kita Merindukan Masa Lalu
Album ini ditutup dengan “Up&Up”, lagu yang mencoba menggabungkan elemen-elemen dari semua lagu sebelumnya dalam satu lagu besar yang seharusnya penuh harapan. Sayangnya, lagu ini hanya membuat kita merindukan masa lalu Coldplay, saat mereka masih bisa membuat kita terpukau dengan musik mereka.
Secara keseluruhan, ‘A Head Full of Dreams’ adalah sebuah kekecewaan besar. Album ini jauh dari apa yang kita harapkan dari Coldplay, dan bahkan lebih jauh dari apa yang kita tahu mereka mampu lakukan. Jadi, jika kamu mencari album Coldplay untuk mendengarkan, mungkin lebih baik kamu melewatkan ‘A Head Full of Dreams’ dan kembali mendengarkan ‘Parachutes’ atau ‘A Rush of Blood to the Head’. Setidaknya, di sana kamu akan menemukan Coldplay yang kita kenal dan cintai, bukan bayangan mereka yang mencoba bermain-main dengan pop membosankan.