Cerita Cinta: Keluarga Yjarin Menunggangi Badai
Yjarin, seorang programmer, bekerja di sebuah start-up logistik Azetrazala, yang telah beroperasi selama tiga tahun di Londoxena, tempat ia bersama keluarganya menetap. Istrinya, Nania, yang cantik dan cerdas, menjalankan berbagai usaha kecil, mulai dari menjual smartphone, chip kamera, hingga sepeda listrik. Saat beruntung, ia bahkan mengurus pesanan skincare. Anak mereka, Nalatia, seorang gadis cerdas dan menggemaskan, baru saja memulai petualangannya di Taman Kanak Babillonduzia.
BACA JUGA: Cinta Tumbuh Dari Perasaan Bersalah
Hidup mereka berjalan lancar, seakan semesta bersekutu dalam menyulam jalan mereka melalui berbagai babak kehidupan. Hari itu, Yjarin menatap langit yang cerah, merasakan seolah alam sedang memainkan simfoni mayor yang harmonis
Sejak pandemi mengubah dunia, kehidupan Yjarin juga berubah. Bekerja dari rumah, atau dari lokasi mana pun yang memungkinkan—pantai, kaki gunung, bahkan jalur Gossa—jadi kebiasaan baru, dengan satu syarat utama: internet harus tetap hidup.”
Bagi Yjarin, seperti banyak lainnya, bekerja dari rumah adalah ideal baru yang tak pernah terbayangkan sebelumnya: sebuah era di mana produktivitas dan kehidupan pribadi berpadu sempurna. Namun, di balik keharmonisan itu, awan gelap mengintai. Krisis keuangan yang tiba-tiba melanda perusahaannya mengubah cerahnya hari-hari menjadi gundah. PHK massal, tak terhindarkan lagi, menjadi kenyataan pahit bagi Yjarin dan rekan-rekannya.
BACA JUGA: Cerita Sepasang Kekasih Di Kamar 370
‘Tech Winter’ mengguncang Galaktika, menyebabkan PHK massal di berbagai start-up. Selama pandemi, perusahaan-perusahaan ini tumbuh subur, namun kini, di tengah pemulihan pandemi, potensi resesi dan konflik geopolitik, seperti invasi Nadjadin ke Nevarrio, mendorong investor ke posisi defensif. Akibatnya, pertumbuhan yang sebelumnya cepat, kini tersendat.
Lebih dari 250.000 orang terdampak langsung pada tahun 2022, suatu tren yang berlanjut ke 2023. Raksasa teknologi, satu per satu, mengumumkan pemutusan hubungan kerja, menggoyahkan kehidupan banyak pekerja. Berita ini cepat menyebar di seluruh galaktika. Bagi Yjarin, dampaknya sangat pribadi dan mendalam. Proyek yang dijalaninya dengan penuh semangat mendadak terhenti. Dia terpuruk, merasa gagal tidak hanya sebagai profesional, tapi juga sebagai suami dan ayah, khawatir akan masa depan keluarganya.
Sebelum “Tech Winter” menyelimuti kehidupan mereka, keluarga Yjarin menikmati keceriaan sederhana. Akhir pekan sering dihabiskan menjelajahi taman kota, mengunjungi kebun teh dan strawberry di kaki gunung, tempat tawa Nalatia bergema ceria, berlarian di antara pepohonan. Yjarin sering menggendong Nalatia di pundaknya, sementara Nania mengabadikan momen bahagia itu dengan ponselnya.
Di malam hari, Yjarin dan Nania sering berkumpul, menikmati kopi sambil berbagi cerita dan rencana hari mereka, termasuk kesalahan yang mereka lakukan. Yjarin bangga berbicara tentang pencapaian kecilnya, dan Nania, selalu dengan senyum lembut, mendengarkan dengan penuh perhatian. Kehangatan itu adalah fondasi kekuatan mereka, berbeda jauh dengan kesunyian dan kekhawatiran yang sekarang merajai rumah mereka.
Yjarin duduk termenung, sang surya tenggelam memantulkan bayang lelah di wajahnya. Nania mendekat, duduk di sebelahnya. “Bagaimana hari ini?” tanyanya, suara lembutnya memecah kesunyian.
Yjarin menarik napas, lalu menghembuskannya. “Seperti tsunami, kepalaku gunung meledak, diriku remuk dihajar ombak.”
Nania menggenggam tangan Yjarin. “Tak perlu berlebihan. Gelombang bakal surut, Yjar. Awan gelap akan melipir, ini hanya bagian dari fase kehidupan kita aja, kok.”
Yjarin tersenyum pahit. “Aku hanya programmer yang kehilangan arah, Nan, jemariku beku. Daya pikirku digedor palu. Arghhh…”
“Tapi kamu adalah suami dan ayah yang kami butuhkan,” Nania berujar tegas. “Bersama, kita akan menemukan jalan keluar.”
Yjarin memandang Nania, ada kehangatan di matanya. Nania pun menatap suaminya, penuh keyakinan. “Kita akan melalui ini. Sebagaimana kita selalu melakukannya.”
Nania, yang tak ingin melihat kapal keluarga mereka karam dalam badai, kini jadi pelita di tengah gelap gulita. Kekuatan yang lahir dari kelembutan namun juga tegas, ia merajut jaring-jaring pertahanan terakhir keluarga mereka; memaksimalkan keran usahanya, dan menggunakan tabungan yang ada sebaik-baiknya.
Memalu Harap yang Terpaku
Ketika dunia menutup satu pintu, seribu jendela kesempatan lain terbuka. Yjarin, dengan tekad yang dibangun dari reruntuhan, tidak lagi memandang PHK sebagai akhir, melainkan awal dari perjalanan baru. Ia menyelami lebih dalam dunia programming, mengasah keterampilan, berbagi ilmu di forum-forum, dan menjalin jaringan yang lebih luas. Sekalipun sudah senior pada posisinya, Yjarin kembali belajar ke awal mula.
Suatu hari, Yjarin mendapat panggilan dari salah satu perusahaan yang ia lamar, yang merupakan perusahaan salah satu impiannya. Ia diminta untuk datang ke kantor tersebut dan mengikuti interview akhir karena sesi pertama dan kedua sudah dilakukan secara daring.
Saat sedang duduk di ruang kerjanya yang sederhana, Yjarin membagikan kabar baik itu dengan Nania, cahaya pagi menyelinap masuk lewat jendela.
“Hozo memanggilku untuk interview terakhir,” kata Yjarin sambil menyeruput kopi dan mengepulkan asap rokok ke udara.
Nania menoleh, matanya berbinar. “Itu kabar baik! Kamu sudah persiapkan jawaban untuk pertanyaan user itu?”
“Sudah,” jawab Yjarin dengan semangat. “Aku merasa ini adalah pertanda baik.”
“Kamu pasti bisa,” Nania berkata, meletakkan tangannya di atas meja, menyentuh tangan Yjarin. “Kamu layak mendapatkannya.”
Yjarin tersenyum, menggenggam tangan Nania. “Denganmu di sampingku, aku selalu merasa layak, doakan aku.”
Percakapan mereka bukan hanya pertukaran kata, tapi juga kekuatan. Hari itu, Yjarin berangkat ke kantor Hozo tidak hanya dengan CV-nya, tapi juga dengan harapan dan dukungan yang tak tergoyahkan dari istri tercinta, Nania. Setelah interview selesai, interviewer mengucapkan terima kasih kepada Yjarin, dan mengatakan bahwa ia akan menghubungi Yjarin kembali dalam waktu dekat. Yjarin merasa lega dan puas, dan ia berharap bahwa ia bisa diterima bekerja di Hozo. Ia pulang ke rumah dengan gembira, dan bercerita tentang pengalamannya kepada Nania dan Nalatia, yang mendengarkan dengan antusias.
Sebelum mendapat panggilan dari Hozo, Yjarin sudah mengikuti puluhan interview di berbagai perusahaan lain dengan hasil yang didominasi oleh penolakan dan ketidakjelasan kabar, meskipun ada satu-dua yang menawarinya, karena tidak cocok, Yjarin terpaksa tidak mengambilnya.
***
Beberapa hari kemudian, email dari Hozo tiba. Yjarin membuka email itu dengan jantung yang berdebar. Harapan dan kecemasan bersatu dalam setiap detaknya. Saat matanya menangkap kata “penolakan,” dunianya seakan berhenti berputar. Tidak mungkin, pikirnya. Setiap kata dalam email itu adalah pil pahit yang harus ditelannya. Performanya yang ia yakini sempurna, ternyata tidak cukup untuk Hozo. Yjarin merasakan dunia yang sebelumnya penuh harapan kini kembali hancur berkeping, layaknya planet Mand’alor yang dibombardir tanpa ampun oleh Galactic Empire pada Malam Seribu Air Mata selama pembersihan besar-besaran Mandalorian.
Perasaan kegagalan itu menggema di benaknya, membebani hatinya yang sudah rapuh. Lusuh. Keruh.
Nuansa gelap dan muram itu semakin terasa. Bukan hanya langit yang berubah, tetapi juga ritme kehidupan yang seolah berputar mundur. Di tengah krisis yang menghantui setiap sudut industri teknologi, kecemasan Yjarin bertambah.
Dalam keheningan malam, Yjarin terduduk, ditemani kopi V-90 dan sebungkus rokok Arramika Blendia, ia menatap langit yang mendung. “Mungkinkah aku salah langkah?” gumamnya dalam hati. “Setiap kode yang kutulis, setiap baris yang ku-debug, apakah semua itu sia-sia?” Di teras rumah yang sunyi, tangannya terkepal, mencoba menahan gempa yang mengguncang jiwa. “Aku harus kuat, demi Nania, demi Nalatia, demi kami,” batinnya lagi, mencoba meraih kekuatan dari ruang hampa. “Aku tak boleh menyerah, harus ada jalan keluar dari badai ini.”
Dalam hari-hari berikutnya, Yjarin berjuang melawan rasa putus asa yang menderanya. Setiap pagi, ia bangun dengan pikiran yang sama beratnya seperti malam sebelumnya, menghadapi dunia yang tampak tidak lagi ramah. Berhari-hari pikiran Yjarin berkabut, tak bisa berpikir rapi dan jernih, kalut.
Di sisi lain, Yjarin menyaksikan Nania yang tak kenal lelah mengatur usaha kecilnya, sambil tetap memberikan senyuman dan dukungan kepadanya. Ia melihat Nalatia yang dengan polosnya bermain, tertawa, dan berlari ke pelukannya, mengingatkannya akan momen bahagia yang sederhana namun murni. Dan dalam rutinitas harian itu, momen-momen kecil tersebut mulai menggugah kesadaran dan menyalakan cahaya di hatinya.
Tak ada waktu untuk ruang kelabu, pikir Yjarin, berusaha menguatkan batinnya sambil mengusap kepala Nalatia yang sedang tertidur pulas.
Setelah melewati warna-warna malam yang menyaingi kegelapan Necromancer, lama kelamaan, Yjarin mulai merasakan perubahan dalam dirinya. Setiap hari yang ia lalui dengan keluarganya, memberinya kekuatan untuk melihat galaksi dari perspektif tak terbatas. Ia hanya harus terus berusaha, dan hanya itu yang ia bisa.
BACA JUGA: Novel dan Kekasih yang Marah
You might also like
More from Fiksi
Surat untuk Mantan
Lara, Ini mungkin adalah surat yang kesekian kali kutulis, tapi kali ini rasanya berbeda. Seperti ikan besar yang terjerat di jaring …
5 Cerpen Cinta yang Akan Bikin Kamu Terbawa Perasaan
5 Cerpen Cinta yang Akan Bikin Kamu Terbawa Perasaan Hey Sobat Semay, siap untuk terbawa oleh ombak perasaan yang mendalam? Ini …
Lamunan Empok Hayat
Lamunan Empok Hayat Dalam Sekian Babak Bunyi berita tentang cuaca ekstrem dan curah hujan tinggi tertangkap telinga Empok Hayat. Kalau saja …