Anda mungkin tahu, bagaimana kehidupan dapat berubah dalam hitungan menit saja. Dan begitulah memang yang terjadi, dan ini tentu saja perihal nasib. Kadang kita sendiri pun tak sadar akan nasib baik yang hadir kepada kita dan dibarengi dengan nasib buruk yang menimpa orang lain.
Sebelumya saya ingin bercerita tentang kehidupan saya beberapa waktu yang lalu. Ya, ini terjadi jauh sebelum saya menjadi idola se-Britania Raya, bahkan dunia. Tentu saja menjadi terkenal itu bukanlah cita-cita ataupun impian, namun saya biarkan dunia bekerja semaunya. Sebelumnya, saya hanya seorang pesepak bola yang lulus dari akademi pada tahun 1992 dan dipromosikan ke tim junior, lalu naik tingkat lagi ke tim senior.
Pada saat itu jangankan berpikir untuk dikenal, untuk bermain sebagai pengganti saja sudah bukan main senangnya, apalagi dipromosikan ke tim senior. Oh iya, saya pun sempat dipinjamkan ke klub divisi tiga meskipun saya akhirnya kembali ke sini, klub tempat saya berasal: Serikat Manchester.
Awalnya pelatih dikritik karena kehadiran saya di tim senior, saya masih terlalu muda menurut para fans dan pengamat untuk bermain di klub, sebesar ini. Dan tentu saja itu turut mempengaruhi saya. Dan benar saja, di musim pertama, saya hanya bermain 10 pertandingan saja, itupun sebagian besar sebagai pengganti.
Namun dua tahun berselang, nasib berkata lain kepada saya. Itu terjadi pada bulan Agustus saat tim kami berhapadan dengan Wimbeldon, dan yang menjadi spektakuler malam itu ialah ketika saya mencetak gol ke gawang Neil Sullivan dari tengah lapangan. Seluruh penonton bergemuruh, saya ingat, saya hanya mengangkat kedua tangan saya yang disusul oleh pelukan dari rekan-rekan se-tim. Oh iya, hal lain yang saya ingat adalah ketika saya masuk ruang ganti, rekan-rekan lain memberitahu saya ungkapan-ungkapan fantastis dari para penonton, “Bagaimana seorang berusia 21 tahun dapat melakukan hal itu?” atau “Bisakah Maradona melakukan hal itu?” dan tentu saja media pun tak luput dan turut memeriahkan hal tersebut. Barangkali gila betul media itu, belum apa-apa saya sudah disandingkan dengan legenda sepak bola macam Maradona.
Dunia bekerja, nasib berputar. Barangkali itu yang saya rasakan saat itu. Oh iya, berkat tendangan itu, selain bisa bermain reguler saya pun mendapatkan bonus yang luar biasa, yakni dipanggil oleh tim Nasional, sebagai pesepakbola hal ini sungguh menjadi hal yang begitu luarbiasa, dan melakukan debut pertama berseragam tim Nasional adalah hal yang selalu dicita-citakan oleh setiap pesepak bola.
Pada tahun 1998, gelaran piala dunia akan diselenggarakan, saat itu Perancis ditunjuk sebagai tuan rumah, ini tentu saja menjadi piala dunia pertama untuk saya. Bagaimanapun cita-cita terbesar seorang pesepak bola menurut saya adalah memenangkan piala dunia bersama negaranya. Selain gelar-gelar domestik maupun kejuaran eropa bersama klub, dan kesempatan itu sangat terbuka lebar untuk saya kali ini.
Tentu saja, menjadi yang termuda dalam sebuah tim itu terasa amat menyebalkan, hal itu pula yang menyebabkan saya absen dalam dua laga awal pada babak penyisihan grup. Nyatanya, setiap pelatih tentu tidak ingin berjudi dengan mengeluarkan pemain muda atau debutan dan tentu lebih memilih pemain yang lebih senior, kaya akan pengalaman dan jam terbang. Namun, pada pertandingan terakhir dalam penyisihan grup saya akhirnya dimainkan oleh pelatih, tim meraih hasil yang positif dan saya turut serta menyumbangakan satu gol untuk tim. Malam itu menjadi malam yang luar biasa untuk saya.
Barangkali nasib tidaklah selalu berkata baik, sedang dunia sudah tentu harus tetap berjalan. Dan itulah yang terjadi, selang beberapa hari kemudian. Di babak gugur, kami dipertemukan oleh Argentina. Tentu saja lawan kami itu termasuk salah satu negara yang difavoritkan juara dalam gelaran turnamen kali ini, selain tim tuan rumah tentunya.
Malam itu pelatih memainkan saya sejak menit awal, saya senang mendengarnya, namun di sisi lain saya juga menjadi sedikit gugup, saya seolah merasakan tekanan yang berat saat itu, barangkali kebanyakan orang dan bahkan pelatih sendiri sudah terlalu tinggi menaruh ekspektasi kepada saya.
Dan benar saja, saya tidak sadar ketika kaki yang saya ayunkan saat terjatuh ternyata mengenai pemain lawan dan membuat pemain lawan tampak kesakitan hingga membuat ia terjatuh juga. Wasit menganggap hal itu disengaja dan langsung menghadiahi saya dengan kartu kuning kedua yang otomatis berbuah kartu merah. Malam itu, pertandingan berakhir cepat untuk saya. Sial.
Saya berpikir, malam itu betapa bodohnya saya, mengapa saya melakukan itu, dan mengapa pula langsung diberikan kartu kuning kedua, ah, bukankah itu sebuah ketidaksengajaan. Saya meracau saat perjalanan keluar lapangan menuju ruang ganti. Saya juga tidak ingat bagaimana fans meneriaki saya dengan kalimat-kalimat cacian di tengah perjalanan. Hasilnya negara kami kalah dalam drama adu penalti. Dan kami harus ikut angkat koper lebih dulu dari Perancis bersama negara-negara lain yang tumbang di fase gugur.
Sama seperti nasib baik yang saya terima sebelumnya: yang datang beruntun. Nasib buruk pun bertingkah demikian. Beberapa fans fanatik mulai menumpahkan kekesalannya kepada saya di perjalanan pulang menuju rumah. Tidak hanya di jalan, beberapa fans pun turut datang ke rumah saya sebagai tamu tak diundang dengan melempari rumah saya dengan surat kaleng maupun batu. Sampai saya harus beberapa kali mendatangkan petugas keamanan untuk berjaga.
Tidak sampai di situ, masih ada lagi bagian yang terparah, mungkin ini menjadi bagian terburuk yang pernah saya alami dalam hidup. Waktu itu, ada beberapa fans membawa bedil dan menembakannya ke arah rumah saya secara serampangan pada tengah malam. Tak ada yang bisa saya lakukan ketika itu, tiarap adalah satu-satunya hal yang saya lakukan dan berusaha melindungi diri saya dari timah panas yang secara bertubi-tubi datang. Anda tahu, saat itu saya merasakan bagaimana ketakutan begitu dekat, bukan main luar biasanya. Saya dibuat getir. Saya dibuat tak ingin keluar rumah, barangkali saya pun tak berani untuk sekedar memunculkan wajah.
Saya diteror dari berbagai arah, dari yang paling subtil, hingga yang paling mematikan. Saya berpikir dunia berhenti saat itu. Saat di mana saya dan ketakutan begitu dekat. Ya, dunia barangkali berhenti, tapi bukankah dunia tahu saya adalah idola se-Britania Raya. Gila! Saya tidak percaya saya melewati hari yang begitu naas.
Anda tahu, bagaimana pikiran itu bekerja ditengah ketakutan, atau barangkali kematian. Ya, kerjanya hanya mengingat-ingat, mengulang-ulang apa yang terjadi sebelumnya, dan apa yang seharusnya tidak terjadi sebelumnya. Juga tak sedikit ia memberi angan-angan, dan berbagai perandaian-perandaian. Dan saat pikiran itu kembali semula, anda akan sadar, bahwa tidak ada yang bisa dilakukan, tidak akan ada yang bisa diperbuat selain menjadi fatalis. Menjadi seorang yang menyerah saja terhadap takdir.
Anda tentu tahu, menjadi orang yang amat terkenal bukan serta-merta aman dan terhindar dari nasib buruk, bahkan jika anda bertemu dengan hal buruk, itu akan lebih buruk lagi daripada nasib buruk itu sendiri. Dan saat itu pula anda akan mencoba bernegosiasi dengan takdir, agar anda dikembalikan dan hanya terlahir sebagai orang yang biasa-biasa saja. Namun di sisi lain anda pun sadar, bahwa itu adalah hal yang paling sia-sia.
Barangkali begitulah dunia bekerja, status sosial memang tak menjamin segalanya. Bangsawan barangkali pernah juga merasakan tidur dengan hewan pengerat, dan seorang gelandangan bukan tidak mungkin memiliki keturunan yang kelak akan memimpin sebuah negara. Sampai di sini anda sudah tahu siapa yang hendak bermain? Ya namanya adalah: nasib. Banyak orang yang bertaruh dengan nasib, namun nasib tetaplah nasib, ia bebas memilih orang-orang pilihannya sendiri.
Dan begitulah dunia. Anda tentu tahu, setahun berselang saya memenangkan tiga piala sekaligus bersama klub, terlebih gelar prestisius antar klub Eropa yang kami menangkan terjadi di kandang tim lawan.
Pada akhirnya, kita sama-sama tahu, ketika tahun demi tahun berselang, ketika musim demi musim berganti. Ada satu hal yang tak dapat sama sekali dipastikan: nasib. Dan anda tahu, di akhir karir saya sebagai pesepakbola, saya belum sampai pada cita-cita terbesar yang saya miliki itu.
Oh iya, mungkin anda pernah mendengar seorang pesepak bola berkata begini, “Saya tidak pernah bermimpi untuk memenangkan trofi (piala dunia) ini.” Saya harap itu hanya bualan belaka, alangkah naifnya orang itu. Karena, menurut saya, tidak akan ada seorang yang mampu menggapai cita-citanya tanpa sebuah mimpi.
You might also like
More from Fiksi
Surat untuk Mantan
Lara, Ini mungkin adalah surat yang kesekian kali kutulis, tapi kali ini rasanya berbeda. Seperti ikan besar yang terjerat di jaring …
5 Cerpen Cinta yang Akan Bikin Kamu Terbawa Perasaan
5 Cerpen Cinta yang Akan Bikin Kamu Terbawa Perasaan Hey Sobat Semay, siap untuk terbawa oleh ombak perasaan yang mendalam? Ini …