Kampung yang Ditertawakan Takdir
Sejak pandemi meluluhlantakkan aktivitas penghuni bumi, pertengahan 2020, saya berpindah ke sebuah desa pesisir utara Subang, Jawa Barat. Sebuah kawasan yang bisa dibilang kaya akan lahan pertanian juga perikanan, sepanjang mata memandang tak sulit bagi kita menemukan sawah, pohon kersen, suara jangkrik, sesekali ular. Di sejumlah gang kampung ini aroma pupuk kandang mengendap di udara dan menusuk hidung. Awalnya, saya kira ini akan menjadi tempat yang tenang, tempat bagi hidup yang sederhana. Di desa, jauh dari hiruk-pikuk metropolitan, kemacetan Uluwatu, atau lalu lalang motor yang dikendarai bule-bule tak tahu diri di Jimbaran. Tapi saya salah.
Besar.
Ini bukan tempat yang tertinggal karena tak terjangkau. Ini adalah tempat yang menolak dijangkau. Ia bukan korban keterbatasan, tapi pelaku dari pembatasan itu sendiri. Di sini, ketertinggalan bukan sesuatu yang menyakitkan, melainkan jadi zona nyaman yang tak ingin diganggu. Setiap upaya untuk masuk, untuk mengajak bergerak, akan dianggap sebagai ancaman, bukan harapan.
Ini adalah bentuk terburuk dari ketidaksetaraan: bukan soal akses yang tak tersedia, melainkan soal pilihan sadar untuk menutup pintu terhadap dunia luar. Sebuah kampung yang merasa setara dengan dunia modern hanya karena punya sinyal 4G/5G dan bisa membuka TikTok, padahal secara esensi, cara berpikir, cara hidup, cara bermimpi, mereka memilih tetap di tempat.
Kampung ini tak hanya miskin secara materi. Ia miskin secara makna. Tidak ada gagasan besar, tidak ada dorongan untuk memahami hidup di luar kebutuhan harian. Ketimpangan di sini bukan lahir dari geografi, tapi dari cara berpikir yang sistematis dibiarkan layu. Ia tidak dilawan, tidak ditangisi, tidak pula disesali.
Ketimpangan ini bukan diciptakan, melainkan dipelihara. Dengan obrolan kosong, dengan candaan yang menertawakan kemajuan, dengan budaya yang menyamarkan penyerahan diri sebagai bentuk keikhlasan. Dan yang paling menyedihkan: ia dinikmati. Dengan sepenuh hati. Dengan senyum yang tak tahu malu.
Ilustrasi Spa Plus-Plus
Babak Satu: Doa dari Spa Plus-Plus
Saya pernah mendengar seorang ibu muda satu dengan lainnya, berkata lantang, bahwa penghasilannya dari spa bisa memberangkatkan orang tuanya ke Tanah Suci. Ia tak menunduk malu. Ia berdiri bangga. Seolah kerja lembur di tempat remang-remang itu dibersihkan oleh deretan doa yang dilantunkan di Masjidil Haram.
Saya kira dulu manusia hanya melakukan pembenaran atas dosa ketika terdesak. Ternyata tidak. Di sini, dosa justru dikemas sebagai prestasi. Seakan-akan penghasilan yang lahir dari tubuh yang dijual bisa dibersihkan hanya dengan kain ihram dan air zam-zam. Ini bukan sekadar kontradiksi. Ini perayaan atas disonansi moral.
Yang membuat saya terdiam bukan hanya tindakannya, tapi cara mereka menyebut nama Tuhan sambil tetap memelihara sistem yang menjerumuskan. Seolah Tuhan hanya hadir di bagian hasil, bukan dalam proses. Seolah sakralitas bisa dibeli tunai, dengan tarif malam dan tips tambahan.
Saya tidak sedang berdiri di atas mimbar penghakiman. Saya pun manusia. Saya tidak suci. Tapi saya merasa terganggu ketika kebusukan dijadikan parfum kolektif, dan siapa pun yang menutup hidung akan dianggap angkuh. Saya hanya merasa perlu berkata jujur: bahwa spiritualitas yang digunakan sebagai pelindung dosa bukanlah iman, tapi mekanisme bertahan dalam lingkungan yang menolak jujur pada diri sendiri.
Kalau semua hal bisa dibenarkan asal hasilnya terlihat baik, maka tak ada lagi yang perlu dipertanyakan. Dan mungkin itu tujuan akhirnya: menciptakan masyarakat yang tidak perlu berpikir, hanya cukup merasa benar.
Ilustrasi UKM
Babak Dua: Pasar yang Menjiplak Diri Sendiri
Jarak 100 meter. Lima warung kelontong. Tiga tukang nasi uduk. Dua gerobak es teh poci. Semua menjual hal yang sama, dengan rasa yang nyaris serupa.
Saya menghitung dari ujung jalan satu ke ujung lainnya. Tak satupun dari mereka yang bertahan lebih dari tiga bulan, 6 bulan sudah bagus, dan sudah bisa diprediksi, akan selalu ada pengganti. Selalu ada yang percaya: ini jalan rezeki. Padahal, ini jalan ke jurang.
Di kampung ini, ekonomi bukan soal kalkulasi. Ia soal harapan tanpa pijakan. Imitasi tanpa evaluasi. Mereka bukan wirausahawan. Mereka pelari estafet kegagalan.
Fenomena ini sebetulnya sudah lama dibahas dalam studi ekonomi mikro: ketika pasar tidak diatur oleh permintaan dan penawaran yang rasional, maka yang terjadi adalah market saturation, kondisi di mana jumlah pelaku usaha jauh melebihi kapasitas daya beli pasar.
Namun di desa ini, tidak ada konsep itu. Tidak ada riset. Tidak ada perhitungan modal, margin, break-even point. Hanya ada satu logika: “Dia bisa, gue juga pasti bisa.” Lalu semua berlomba membuka usaha yang sama, di tempat yang sama, untuk pelanggan yang sama, yang dari dulu itu-itu saja.
Ini bukan UKM. Ini bukan kewirausahaan. Ini adalah simulasi ekonomi tanpa arah, semacam ritual massal pencatatan kerugian yang dibungkus kata sabar dan yakin. Tidak ada diferensiasi produk, tidak ada inovasi layanan, bahkan tidak ada pencatatan keuangan. Usaha dijalankan seperti menaruh peruntungan di mesin slot, tanpa mekanisme kontrol.
Maka jangan heran jika usaha demi usaha rontok satu per satu, tapi selalu ada yang menggantikannya. Seperti zombie ekonomi yang tak bisa mati karena tidak pernah hidup dengan benar.
Ilustrasi resah karena smart phone
Babak Tiga: Gadget Pintar, Pikiran Mandek
Mereka punya Android. Kuota tiap bulan. Tapi hanya dipakai untuk menonton prank, konten horor, konten TikTok tak mutu, dan sinetron ghaib. Tidak ada literasi. Tidak ada refleksi. Tidak ada perlawanan terhadap arus bodoh yang mengalir deras.
Ironisnya, perangkat yang mestinya membuka dunia malah jadi alat yang menyempitkan pandangan. Bukan karena teknologinya kurang canggih, tapi karena penggunanya tidak pernah diajarkan untuk penasaran. Tidak ada sense of exploration. Tidak ada dorongan untuk bertanya, “Apa lagi yang bisa gue pelajari dari sini?”
Digitalisasi tanpa literasi hanya melahirkan ilusi kemajuan. Mereka bukan tidak punya akses. Mereka hanya tidak tahu harus mengakses apa. Dan karena itu, mereka memilih arus konten yang paling mudah dicerna, meski tidak memberi apa-apa selain tawa palsu dan ketakutan murahan.
Desa ini dekat dari ibu kota, tapi jauh dari akal sehat. Ini bukan keterbatasan fasilitas, ini keterbatasan kemauan. Keterbatasan rasa ingin tahu.
Dan saya, yang mencoba berpikir, jadi seperti jamur akal sehat yang tumbuh di sela-sela tembok lembab.
Ilustrasi sekolah roboh
Babak Empat: Sekolah Tak Dianggap, Cerdas Tak Diinginkan
Di desa ini anak-anak cerdas tumbuh dalam diam. Mereka bukan tidak ada. Mereka hanya tidak diberi alasan untuk percaya diri. Tidak diberi peta, apalagi kompas. Dan kalau pun mereka tumbuh tinggi, mereka akan ditebas duluan, oleh lingkungan yang takut melihat ada yang melampaui.
Mari kupas perlahan, dari pengamatan saya, sekurangnya ada empat wajah dari kebungkaman ini:
- Akses yang Ada Tapi Tidak Bernyawa
Sekolah memang ada. Tapi jangan bayangkan ruang kelas yang menginspirasi. Bayangkan papan tulis kusam, guru yang frustrasi, dan kurikulum yang tidak tahu arah. Ini bukan soal fasilitas semata. Ini soal suasana belajar yang hampa. Tak ada tantangan, tak ada pertanyaan, tak ada keberanian untuk berpikir. Yang ada hanya absen, LKS, dan jam pulang.
- Logika Ekonomi Dangkal yang Menggulung Asa
Di kampung ini, pendidikan tidak dianggap sebagai investasi. Ia hanya pengisi waktu sebelum anak bisa bantu sawah, jaga warung, memberi makan ikan di empang, atau disuruh angkut beras ke pasar. Semakin cepat bisa menghasilkan uang, semakin “hebat.” Mahasiswa rantau dianggap mimpi kosong. Sementara anak SMP yang bawa hasil panen pulang tiap sore dianggap pahlawan. Kebodohan tidak pernah dirayakan secara eksplisit. Tapi di sini, ia diberi ruang paling besar.
- Minimnya Imajinasi Hidup Alternatif
Di desa ini, tidak ada orang yang pernah bilang: “Kamu bisa kuliah di luar negeri.”
Tidak ada yang bilang: “Kamu bisa jadi penulis, perekaya perangkat lunak, ilmuwan, desainer game, atau pengusaha teknologi. “Yang ada hanya: “Jangan neko-neko.” Maka jangan salahkan kalau tawaran belajar Bahasa Inggris gratis pun ditolak. Mereka bukan malas. Mereka hanya tidak melihat untuk apa semua itu. Karena tidak ada satu pun contoh bahwa itu bisa berhasil.
- Tekanan Sosial untuk Tetap Biasa-Biasa Saja
Ini yang paling mematikan. Bukan sistem. Bukan negara. Tapi tetangga. Komunitas. Lingkungan.
Di sini, anak yang tekun belajar akan dituding sok pintar. Anak yang mau beda akan disindir. Anak yang bertanya terlalu banyak akan dipatahkan. Yang bertahan bukan yang cerdas, tapi yang bisa menyesuaikan diri. Dan dari situ, muncullah budaya baru: cerdas itu bahaya.
Maka jangan heran kalau desa ini seperti mati suri. Bukan karena miskin, tapi karena takut hidup.
Dan anak-anak yang punya potensi? Mereka pelan-pelan belajar satu hal: bahwa untuk selamat di sini, diam lebih aman daripada berpikir, atau lebih baik pergi dari sini.
Titik.
Ilustrasi negara
Babak Lima: Negara yang Tak Pernah Singgah
Mereka datang tiap lima tahun. Berpakaian rapi, berpeci, bawa jargon dan janji, seolah peduli. Padahal yang mereka bawa cuma proposal pembodohan berjilid-jilid. Mereka datang bukan untuk membangun, tapi untuk menghitung. Suara. Potensi komando. Potensi cuan.
Di desa ini, politik berarti nasi kotak. Satu piring nasi, satu lembar suara. Demi itu, mereka memobilisasi ormas-ormas oportunis, tukang teriak imoralis dengan dada membusung langit, yang hidup dari anggaran musiman dan keributan pesanan. Mereka pasang baliho besar, tapi tak satu pun yang peduli bahwa atap sekolah sudah bocor sejak tahun lalu. Jalanan rusak bertahun-tahun tak diperbaiki. Tapi ketika pemilu datang, dicat putih pakai kapur, buat ilusi perbaikan. Inilah wajah negara yang datang tanpa tanggung jawab.
Negara yang mengunjungi rakyatnya seperti pelacur, sekali bayar, lalu pergi.
Negara yang lebih peduli pada validasi angka daripada nasib anak-anaknya sendiri.
“Kalau orang miskin butuh negara, negara butuh apa dari orang miskin?”
Jawabannya sederhana: butuh suara. Lalu ditinggal.
Desa seperti ini tidak pernah punya tempat dalam narasi pembangunan. Tidak punya daya tekan. Tidak punya kamera. Maka mudah diabaikan. Sunyi. Lugu. Dan karena itu, sangat bisa dieksploitasi.
Lebih menyedihkan lagi, negara tidak hadir bukan karena tidak mampu hadir, tapi karena tahu: tidak akan dituntut hadir. Dan karena itulah, ia membiarkan desa ini diam-diam membusuk. Pelan. Teratur. Tanpa protes.
Saya pernah datang ke sebuah kampung yang bersebelahan dengan kampung di mana saya tinggal, masih satu desa. Ia terletak di ujung sawah yang seolah tak terdata. Tak lebih dari 30 sampai 50 kepala keluarga. Saya ke sana karena undangan hajatan sunat. Perjalanannya? Seperti kembali ke Indonesia tahun 80-an, tapi versi rusak total.
Jalanan ke sana sudah hancur dari dulu. Kata warga, tidak berubah sejak era Orde Baru. Tidak ada aspal. Tidak ada drainase. Tidak ada tanda-tanda pernah diperhatikan. Hanya tanah, batu, dan genangan air yang berlumut.
Saya bahkan sempat bertanya dalam hati, apakah tempat ini legal untuk dihuni manusia? Atau memang sengaja dibuang sejauh ini agar tidak jadi beban APBD?
Yang lebih buruk bukan hanya infrastruktur. Tapi sanitasi. Sepanjang gang menuju rumah warga, saya mencium bau busuk: tahi bebek, entog, ayam, dan hewan ternak lainnya yang dilepas bebas dan dibiarkan buang kotoran tepat di depan rumah. Tidak ada selokan. Tidak ada sistem limbah. Tidak ada rasa malu.
Ini bukan sekadar kemiskinan. Ini krisis kemanusiaan dalam senyap.
Apakah desa tidak tahu? Apakah penyuluh kesehatan tidak pernah mampir? Kalau mereka tidak tahu, berarti mereka tidak bekerja. Tapi kalau mereka tahu, dan tetap membiarkan warga hidup dalam kebusukan seperti ini, itu sakit jiwa.
Warga kampung tersebut tetap ikut memilih saat pemilu. Mereka dihitung. Tapi setelah itu? Dibiarkan hidup di ujung sawah, jauh dari air bersih dan pendidikan dasar.
Dan dari sanalah, kita belajar satu hal menyakitkan: Negara bisa hadir di TPS, tapi tak pernah singgah di hati warganya.
Epilog: Menulis dari Dalam Luka
Saya bukan penyelamat apalagi pahlawan. Saya hanya lelaki biasa yang tersesat di sebuah desa yang nyaman dalam kekeliruannya.
Saya menulis ini bukan untuk menggurui. Tapi untuk mencatat. Untuk meninggalkan jejak bahwa pernah ada satu orang yang melihat, yang berpikir, yang menolak tunduk.
Jika suatu hari desa ini benar-benar hancur dari dalam, jangan bilang tak ada yang memperingatkan. Jangan bilang tak ada yang bersuara.
Saya, dari pinggir sawah yang menguning, empang yang berisik ikan-ikan kecil berenang. sudah menuliskannya.
You might also like
More from Cerapan
Silent Treatment dalam Pertemanan: Saat Diam Menjadi Senjata
Silent Treatment dalam Pertemanan Dalam pertemanan, komunikasi adalah kunci utama untuk menjaga hubungan tetap sehat dan harmonis. Namun, apa jadinya jika …
Time Management Matrix: Strategi Efektif Mengelola Waktu dan Prioritas
Time Management Matrix: Strategi Efektif Mengelola Waktu dan Prioritas Dalam kehidupan yang semakin sibuk, kemampuan untuk mengelola waktu dengan baik menjadi …
Kebutuhan Tidak Penting tapi Mendesak
Kebutuhan Tidak Penting tapi Mendesak Dalam kehidupan modern yang serba cepat dan dinamis, sering kali kita dihadapkan pada berbagai macam kebutuhan. …