Tarantino itu, walaupun ia sutradara terkenal, filmnya tidak pernah jadi juara Oscar di kategori Best Picture. Salah satu alasan kenapa Tarantino, sutradara film yang gemar meluberkan banyak darah itu tak kunjung mendapat Oscar untuk kategori film terbaik, ya karena beliau tidak belajar dan tidak pernah menonton film berestetika adiluhung “Pengkhianatan G30S/PKI”. Ya pantas saja, orang filmnya Tarantino itu cuma film berdarah-darah tak masuk akal, dipenuhi sumpah serapah, tak bermoral, dan tak berestetika. Tentu berbeda dengan Penumpasan Pengkhianatan PKI yang adiluhung dan menjunjung tinggi moral bangsanya.
Lihat saja adegan di Reservoir Dogs saat Mr. Blond menari-nari saat memotong telinga si polisi malang. Itu sudah basi. Jauh hari sebelum Reservoir Dogs muncul, film penumpasan pengkhianatan PKI sudah melakukannya. Tentu dengan tarian yang lebih estetik dari perempuan-perempuan gerwani. Lha memangnya Mr. Blond, tariannya cuma sekedar goyang seadanya begitu?
Film-filmnya Tarantino juga nggak heroik, berbedalah dengan Penumpasan Pengkhianatan G30S/PKI. Lihat saja kalau ada pahlawan, pasti pahlawannya mati seperti dr. Kings Schultz di Django, atau pahlawannya mesti dari kriminal seperti Mr. White di Reservoir Dogs, Beatrix Kiddo di Kill Bill, Vincent Vega dan Jules Winnfield di Pulp Fiction.
Lha, film-filmnya Tarantino itu berharap kita simpati sama kriminal, jelas beda dong dengan Pengkhianatan G30S/PKI. Masa iya kita mau simpati ke PKI? Yha pantas saja film-filmnya Tarantino ndak pernah dapet Oscar jadi Best Picture. Cih…
Tarantino pun bukan orang jujur, ia gemar memutar balikkan fakta. Masa iya, di Inglorious Basterds, Hitler mati waktu nonton film propagandanya sendiri di gedung bioskop? Padahal Hitler mati di bunker bawah tanah bersama kekasihnya. Itu kan namanya pemutar balikan sejarah yang tidak benar dan tidak berfaedah. Saya jadi curiga, jika Tarantino memutar balikkan sejarah hanya agar filmnya laku dan bombastis, televisi-televisi berebut hak tayangnya, yang akhirnya banyak duit masuk ke rekening bank-nya. Hmm…
Milenial dan generasi Z juga tidak pantas menonton filmnya Tarantino. Lihatlah Mr. Blond lagi yang agak psikopat itu. Sehabis Mr. Blond memotong telinga si polisi malang, Mr. Blond tertawa, memainkan telinga itu, lalu menari-nari. Kan yang seperti itu tidak etis dan tidak berfaedah bagi generasi Milenial dan generasi Z yang masih polos. Lihat juga di Django, kelompok berpakaian mirip Klu Klux Klan berusaha mempersekusi Django dan dr. King Schultz, dua orang melawan 100 orang. Kan mempersekusi seperti begitu itu pekerjaannya pengecut. Untungnya sih Klu Klux Klan KW itu mati. Masa iya generasi Milenial dan generasi Z Indonesia mau diberikan tontonan seperti itu? Lha ya masih mending 1000 kali Milenial dan Generasi Z kita menonton Penumpasan Pengkhianatan G30S/PKI, tidak memutar balikkan sejarah, tidak pengecut, dan berfaedah untuk ujian sejarah di sekolah.
Tarantino pun sekedar sutradara cemen ecek-ecek. Efek filmnya, Pulp Fiction, cuma mengubah lanskap perfilman Amerika saja. Seandainya saja Tarantino membuat 100 kali film yang kualitasnya mirip dengan Pulp Fiction, tetap saja masyarakat amerika tidak akan bersimpati pada mafia karena ya filmnya Tarantino itu komedi murahan, aneh, dan ecek-ecek.
Membandingkan filmnya Tarantino dengan film berestetika adiluhung Pengkhianatan G30S/PKI sebenarnya bukan perbandingan yang adil. Jelas saja, sekali lagi, karena Tarantino itu ecek-ecek. Filmnya tidak akan ditonton orang setiap tahun dan ditayangkan di sekolah-sekolah. Tentu beda kelas dengan film adiluhung Pengkhianatan G30S/PKI, film yang sudah mengubah banyak pikiran orang-orang Indonesia menjadi lebih baik dan lebih bermoral.
Maka, Tarantino, belajarlah dari film Pengkhianatan G30S/PKI. Atau kalau kamu tidak mau, lebih baik kamu pensiun saja jadi sutradara film gore ecek-ecek.
More from Tontonan
Sinopsis Sokola Rimba
Sinopsis Sokola Rimba Film "Sokola Rimba" merupakan adaptasi dari kisah nyata seorang wanita bernama Butet Manurung yang didedikasikan untuk memberikan pendidikan …
Orient Express: Dari Novel hingga Layar Lebar
Orient Express: Dari Novel hingga Layar Lebar Orient Express adalah nama yang memicu imajinasi, menggambarkan kemewahan, misteri, dan perjalanan epik melintasi …
The Commuter: Plot Twist dan Endingnya
The Commuter: Plot Twist dan Endingnya "The Commuter," dibintangi oleh Liam Neeson, membawa penonton dalam perjalanan menegangkan penuh kejutan. Michael MacCauley, …