Agropakus, kakakku yang kini berusia 21 tahun, memutuskan untuk meniru jalan yang ditempuh oleh Robin Hood: mencuri dari orang-orang kaya, dan membagikan barang-barang curiannya ke orang-orang miskin. Namun, lelaki itu taklah pandai memanah seperti Robin Hood. Setidaknya, ia jago mencuri.
Di kala senja mati dan sebagian besar penduduk kota telah terlelap, ia pun beraksi di balik topeng badutnya. Dimulai dari dalam rumahnya sendiri; apa saja yang ingin ia ambil, pasti diambilnya, termasuk barang-barangku yang dapat menunjukkan bahwa aku ini adalah seorang gadis dari keluarga bangsawan—kuizinkan ia, tiada lain sebab aku mendukung jalan Robin Hood yang diambilnya.
Kemudian Agropakus beraksi di rumah-rumah lain. Untuk mencapai rumah-rumah yang lain itu, ia melompat dari atap ke atap dan berjalan di kabel-kabel listrik yang terentang dari tiang satu ke tiang lainnya. Tentu itu berarti ia akan masuk ke rumah para “mangsa”-nya tidak melalui “pintu yang umum”.
Setelah barang-barang curian yang didapatnya dirasa cukup, ia pun bergegas menuju Tempat Sampah—sebutan kami, orang-orang kaya di kota yang bernama Saleagon ini, untuk pemukiman orang-orang miskin di sebelah selatan sana, di luar wilayah kota—melalui jalur-jalur tersembunyi, dan bakal balik ke rumah sebelum pukul empat pagi.
Begitu orang-orang pada terbangun, orang-orang kaya yang rumahnya dimasuki oleh kakakku semalam akan … begitulah. Maka, untuk melampiaskan amarah, mereka—termasuk kedua orangtuaku—bakal memarahi para penjaga rumah habis-habisan, dan para penjaga rumah bakal bersumpah bahwa tak ada seorang pun yang memasuki rumah semalam, karena rumah sudah dijaga depan-belakang-samping—namun mereka melupakan “atas”.
“Kalau tidak ada yang masuk ke rumah semalam, kenapa barang-barangku hilang?!” Demikianlah para majikan bakal membalas sumpah para penjaga rumah.
Aksi Robin Hood ini tidaklah setiap hari Agropakus lakukan; hanya kurang lebih dua minggu sekali, terkadang lebih. Itu karena sehabis Agropakus beraksi, pastilah para penjaga rumah akan menjadi lebih ketat dalam menjaga rumah majikan masing-masing. Barang dua minggu kemudian (biasanya), sebab tak kunjung kedatangan pencuri, para penjaga rumah akan mulai lengah; saat itulah ia kembali beraksi.
***
Tentulah yang paling dicurigai oleh orang-orang kaya Saleagon adalah orang-orang yang tinggal di Tempat Sampah. Maka, pada suatu pagi, berbondong-bondonglah para penjaga rumah, berbekalkan senjata-senjata mematikan, menuju Tempat Sampah. Dari puncak Bukit Gargan, aku dan Agropakus menyaksikan kekejian yang para penjaga rumah lakukan terhadap orang-orang miskin itu. Saking brutalnya, sampai-sampai aku menangis.
Tiba-tiba kakakku tertawa kecil. “Mereka tidak akan pernah menemukan barang-barang majikan mereka yang kucuri. Aku telah membuatkan tempat khusus bagi orang-orang miskin itu untuk menyembunyikan barang-barang curianku.”
“Di manakah tempat itu, Kakak?” tanyaku seraya menghapus air mata.
“Kau tidak perlu tahu.”
Dan memang pada akhirnya para penjaga rumah itu tak ada menemukan barang-barang majikan mereka sama sekali.
Di puncak Bukit Gargan pula, di pagi yang lain, aku dan Agropakus bercakap-cakap sembari asyik memandangi Tempat Sampah.
“Dua tahun sudah Kakak menempuh jalan Robin Hood,” kataku. “Kenapa tak ada perubahan apa pun yang terjadi di Tempat Sampah? Misalkan … lihatlah, rumah-rumah di sana tetap saja begitu, tanpa ada perubahan. Benarkah Kakak telah menyerahkan barang-barang hasil curian itu kepada mereka?”
Agropakus tersenyum miring. “Tentu sudah. Dan mereka memang tidak akan menggunakannya untuk membiayai renovasi rumah.”
“Lantas mereka menggunakannya untuk apa?”
“Kau tidak perlu tahu.”
Aku tahu aku tak perlu bertanya lebih pada Agropakus. Jikalau ia sudah berniat untuk merahasiakan sesuatu, rahasia tersebut pasti akan awet.
Yang terpikir olehku, tidaklah mungkin orang-orang miskin itu menjual barang-barang hasil curian Agropakus di Saleagon—Kau mengerti, kan, sebabnya? Orang-orang miskin itu bisa saja menjual barang-barang tersebut ke tempat-tempat lain.
***
Akhirnya, pada suatu malam, Agropakus terkelabui oleh sebuah perangkap yang dipasang di rumah seorang pria kaya yang biasa dipanggil Mona Luwir.
Malam itu pula, Mona Luwir menyeret Agropakus yang telah tak berdaya ke tengah sebuah lapangan olah raga—topeng badut yang dikenakannya ketika beraksi tak lagi menyembunyikan wajahnya. Hampir secepat angin badai kabar mengenai tertangkapnya Agropakus menyebar—disebarkan oleh beberapa orang penjaga rumah Mona Luwir—sehingga tak lama kemudian, ribuan orang telah mengelilingi Agropakus—yang tergeletak di tengah lapangan—dengan keterpanaan masing-masing. Mereka semua masih sulit percaya dengan apa yang mereka lihat.
Seorang gadis berusia 18 tahun dan kedua orangtuanya—yang juga orangtua Agropakus—yang semula tergabung dalam kerumunan itu segera saja berlari ke tengah lapangan, lantas berjongkok dan memeluk Agropakus sembari menangis tersedu-sedu.
“Para hadirin,” ucap Mona Luwir dengan lantang, “saya yakin bahwa orang yang saya tangkap ini adalah orang yang selama ini mencuri barang-barang kita! Dan, dia adalah salah seorang penduduk kota ini, bahkan berasal dari keluarga bangsawan!”
“Kembalikan barang-barang kami!”, teriak seseorang dari tengah kerumunan, dilanjutkan dengan teriakan-teriakan dari yang lainnya.
Di tengah kebisingan yang berasal dari ratusan pita suara itu, mendadak langit malam mengeluarkan suara yang lebih bising. Demi mendengar suara yang lebih bising itu, berhenti bersuaralah mereka, lalu memandang ke atas. Samar-samar sebab terlapisi selaput malam, terlihat sebuah benda lonjong yang semakin lama semakin besar sebab semakin dekat dengan tanah. Angin yang bergesekan hebat dengan benda lonjong itulah yang menimbulkan suara bising.
“Sekarang, pertanyaanmu yang waktu itu terjawab sudah, Dik,” kata Agropakus, lirih, kepada adiknya sembari menatap langit malam.
“Mereka membeli benda yang sedang meluncur kemari itu dengan barang-barang curian Kakak?” tanya sang adik.
“Ya.”
“Memangnya, benda apa itu?”
“Itu adalah …”
Agropakus tak sempat menuntaskan kalimatnya. Benda lonjong itu sudah terlebih dahulu menyentuh tanah dan meledak.
***
Semula, aku kesal betul karena Ayah membatalkan liburan keluarga kami ke Saleagon. Tapi, kini aku malah bersyukur betul karena liburan keluarga kami dibatalkan, sebab hari ini, di televisi, diberitakan bahwa sebuah bom nuklir menghancurkan sekujur Kota Saleagon tadi malam!
You might also like
More from Fiksi
Surat untuk Mantan
Lara, Ini mungkin adalah surat yang kesekian kali kutulis, tapi kali ini rasanya berbeda. Seperti ikan besar yang terjerat di jaring …
5 Cerpen Cinta yang Akan Bikin Kamu Terbawa Perasaan
5 Cerpen Cinta yang Akan Bikin Kamu Terbawa Perasaan Hey Sobat Semay, siap untuk terbawa oleh ombak perasaan yang mendalam? Ini …