Sebelum membaca bagian ini klik bagian ini terlebih dahulu.
Perpindahan ke paket C bersama kawan-kawan dari kampungku membuatku bergaul dengan para orang tua. Namun begitu, semangat mereka untuk belajar tak memadamkan api untuk terus belajar. Setelah kujalani sekolah paket C akhirnya pada 2007 aku lulus juga. Setelah luluspun aku tak kemana-mana alias menganggur. Aku hanya mengisi kegiatanku dengan nongkrong bersama kawan-kawan di kampung. Kriminalitas kelas coro pun kami lakukan seperti biasa.
Jika minum-minum pun tak jarang aku dan kawan-kawanku ngutang sama penjual minuman. Maklum saja namanya juga pejabat alias pengangguran jawa barat. Lebih tepatnya kami malas saja mencari uang. Penjual minuman itu begitu baik budi, seolah mengerti dengan kondisi kami. Beliau bernama Mang Taswan yang sekarang sudah hijrah ke Arab Saudi jadi sopir sebuah perusahaan. Ya, mang lebih baik begitu daripada dihutangi terus.
Perkelahian-perkelahian kecil masih sering aku alami seperti ketika nonton dangdut. Ya, maklumlah sama-sama mabuk bawaan bocah-bocah kampung memang sering tak keruan. Hanya karena nonton pertandingan bola antar kampung pun kami kerap berkelahi, yang kata orang-orang kiri dilabeli fasis, chauvinis, rasis. Padahal kami hanya merasa bahwa masing-masing kampung kamilah yang paling baik, tapi itu hanya berlangsung di lapangan saja, semacam emosi tradisi belaka.
Sejak kawanku yang bernama Agunk Burdette sering berkunjung ke rumahku saat dia libur semester di salah satu kampus swasta Jakarta (jangan-jangan dia meliburkan diri saja sebetulnya) wawasanku mengenai musik pun mulai bertambah. Agunk Burdette mendoktrinku dengan musik-musik (yang menurutnya) cerdas dan berada dalam nomor favoritnya. Aku hanya mengamini saja apa yang dia busa-busakan. Karena sebelumnya juga aku memang sudah jatuh cinta dengan musik-musik keras yang berawal dari Metalica. Agunk Burdette secara langsung menambah referensiku dalam mendengarkan musik. Kenapa aku suka musik keras? Walaupun aku sendiri tidak mengerti lirik-liriknya. Sejujurnya, yang terlintas di pikiranku ketika mendengarkan musik-musik seperti itu adalah gagah, berani, liar dan tangguh. Hanya itu.
Lama-lama Agunk Burdette semakin menjadi dalam mendoktrinku dari cara style dia dan tentu saja pengetahuan musiknya yang semakin luas, menurutnya, “musik itu tergantung liriknya, kalau liriknya cerdas dan kritis wajib didengarkan dengan penuh semangat dan tanggung jawab.” Aku, seperti biasa, hanya mengamini apa yang dikatakannya. Sedikit demi sedikit aku jadi tahu seperti apa itu musik keras.
Agunk Burdette sendiri mempunyai band metal kacangan. Aku lupa namanya, personilnya terdiri dari kawan-kawanku sewaktu SMP dan SMA seperti Ryan Dabloe, Fajar Adamn, Dicki Mabok, Gilang Occe yang waktu dulu sempat jadi panglima gengster fasis dan berpindah haluan menjadi seorang yang kritis karena kegemarannya membaca, dan entah apalagi aktivitas dia sehingga dia menjadi seperti itu. Kadang aku pusing mendengarkannya ngebacot.
Satu tahun pun berlalu. Aku merantau ke Jakarta.
Satu bulan kulalui di kota Jakarta untuk mencari kerja namun belum juga membuahkan hasil. Lalu akupun pindah ke Karawang dan mendapatkan pekerjaan di salah satu pabrik, itu pun tak lama. Hanya tiga bulan saja. Aku memutuskan resign, lebih tepatnya orangtuaku menyuruhku resign dan menyarankanku untuk meneruskan sekolah. Aku pun menuruti keinginan orangtuaku padahal sejujurnya aku tidak mau. Tapi demi orangtua ya kulakukan saja.
Pada 2011 aku kuliah di Universitas Terbuka jurusan D2 Perpustakaan yang katanya program pemerintah punya. Konon, setelah lulus bisa langsung di tempatkan di sekolah yang ada di kota Kuningan. Nyatanya, tidak. Lulus normal harusnya memang 2 tahun tapi aku lulus 4 tahun udah kayak S1 saja. Dan herannya, aku nyaman saja dengan kemalasanku, padahal kuliah hanya seminggu sekali. Semasa ngampus pun aku masih minum-minum hingga mabuk dengan salah satu teman perempuan di kelasku. Dia baik sekali, dan sepertinya tahu aku orangnya susah. Haha! Kebaikannya pun mengantarkanku pada traktiran makan-makan, jajan cemilan, sampai beli rokok. Setelah ngobrol hangat dengannya kuketahui jika dia adalah adik kawanku sewaktu SMP dan SMA, ah kotaku memang kecil. Tak aneh jika bertemu dengan lingkaran itu-itu lagi.
Waktu kuliah aku suka sekali mengenakan kaus-kaus dari band metal, hardcore, punk hasil nitip sama Dicki Mabok, karena dia kuliah di Bandung, jadi jika pulang Dicky Maboklah yang membawakan pesananku yang selalu kutunggu-tunggu itu. Tak jarang akupun membeli dari Agunk Burdette karena memang dialah yang sering menawarkan kaus-kaus koleksinya yang lumayan banyak tersimpan di lemarinya. Dasar hipster semelekete! Agunk Burdette memang mengikuti perkembangan band-band metal, punk, hardcore tanah air ataupun luar tanah air. Walaupun tak pernah sekalipun aku nonton acara musik seperti itu dan yah, biar terlihat gaul saja di mata teman-teman.
Setelah penantian yang cukup lama akhirnya tahun 2014 aku lulus juga. Ya, walaupun aku tidak peduli dengan tetek bengek ijazah. Aku hanya peduli keinginan kedua orangtuaku.
Setelah lulus akupun kembali menganggur dalam artian kerja serabutan asal ada yang nyuruh apa atau apa selama aku mampu ya kukerjakan. Yang penting bisa beli rokok dan gak mau dicap malas oleh masyarakat padahal memang aku orangnya malas bekerja. Tapi lagi-lagi karena orangtuaku dan kebaikan mereka yang tulus menyayangiku, ya aku lakukan lah itu kerja serabutan. Selanjutnya, orangtuaku malah menyarankanku agar kuliah lagi di Universitas Kuningan untuk mengambil strata 1.
Lagi-lagi aku menuruti kemauan mereka dan menjalankannya dengan setengah hati.
Hasilnya? Ya, bisa ditebak. Tak lama, hanya setahun saja. Aku pun berhenti. Ya, kalau yang ini dikarenakan orangtuaku tak lagi punya biaya ditambah kelakuanku yang tak berubah, tetap nakal walaupun usia makin bertambah. Kenakalanku memang tak terbendung, tak terkontrol yang membuat keluargaku sebal bukan main kepadaku. Termasuk salah satu pamanku yang bekerja sebagai salah satu staff kampus, beliau begitu muak melihat kelakuanku. Aku sering bolos, dan sejujur-jujurnya aku tidak ada niat untuk kuliah lagi. Beruntung aku memiliki kawan seperti Gunk Burdette yang selalu ngasih support agar aku tetap semangat untuk meningkatkan hal-hal baik dari dalam diriku walaupun kenakalan tetap tak bisa kutinggalkan. Kawan-kawanku yang lain pun selalu menyemangatiku untuk terus belajar meskipun informal. Namun, aku tidak mendengarkan mereka. Istilahnya, masuk kuping kiri, keluar kuping kanan. Yang kupikirkan hanya sebatas main dan main.
Hal-hal mistis sebetulnya tak pernah aku tinggalkan meski obsesi menjadi orang sakti mandraguna sudah terkikis. Justru aku malah belajar lebih dalam lagi tentang tingkat energi alam dan fisik yang disebut cakra dan kundalini energi dalam tubuh yang luar biasa yang kinerjanya tanpa perantara apapun. Dari apa yang kuselami itu aku menemukan satu hal: hanya diri sendiri dan keyakinan pikiranlah yang mampu menguasainya, bukan pada jimat-jimat berbentuk fisik yang bisa mengendalikan emosiku.
Sekarang semua telah berubah, waktu makin melaju, jarum jam dinding tak pernah mundur, dan tuntutan hidup agar bertanggungjawab dan juga hutang yang mencekik leher yang tak mungkin lagi aku mintai tolong sama orangtuaku. Dan kini aku kembali lagi ke Jakarta. Menjadi perantau, menjadi pekerja. Tak lain hanya untuk memenuhi kebutuhan hidup walaupun harus pedih-peri karena gaji yang tak seberapa namun aku menikmatinya. Aku mulai menikmatinya.
You might also like
More from Rehat
Kelemahan Tali Pocong: Simpul yang Gampang Lolos?
Kelemahan Tali Pocong: Simpul yang Gampang Lolos? Tali pocong, sering kali dianggap sebagai senjata pamungkas yang bikin bulu kuduk merinding. Tapi …
Kelemahan Pocong: Menguak Sisi Lemah Si Pembalut Keliling
Kelemahan Pocong: Menguak Sisi Lemah Si Pembalut Keliling Pocong, sosok ikonik dalam mitologi horor Indonesia, kerap digambarkan sebagai makhluk yang melompat-lompat …