Tatkala Ayah bermimpi menjadi seorang astronaut yang sedang melayang di ruang angkasa—persis seperti apa yang diidam-idamkan dirinya semasa kecil dulu—yang ia lihat di sekelilingnya cuma bintang-bintang kecil di antara kegelapan; tak ada bulan, matahari, maupun planet. Tak ada pula pesawat ruang angkasa yang menjadi penambat bagi tubuhnya.
Mimpi itu muncul pada Senin pagi pukul setengah tujuh, saat Ibu sedang membikin sarapan di dapur, sedangkan Dody, sang anak yang sedang dalam masa libur-kenaikan-kelas—menuju kelas 2 SD—sibuk berlarian mengitari meja makan, dengan bus mainan di tangan kanannya yang terangkat tinggi, seakan ia sedang memainkan pesawat-pesawatan.
Ayah tak tahu apa yang mesti dilakukannya di ruang angkasa. Kemudian ia memutuskan untuk bergerak maju dengan gaya renang konvensional, karena gerakan itulah yang pertama terlintas di kepala, berhubung sensasi yang dirasakannya di ruang angkasa tak berbeda jauh dengan saat berada di permukaan kolam renang. Apakah yang Ayah tuju? Tentu tidak ada. Namun barangkali pergerakannya itu akan menarik perhatian penghuni ruang angkasa—yang sejauh ini belum ada dilihatnya—sehingga penghuni yang satu itu bakal datang menghampirinya, dan Ayah tak lagi kesepian.
Lelah berlari mengitari meja makan, Dody pun berbaring di lantai, tanpa melepaskan bus mainan itu dari tangannya, pula tanpa berhenti memainkannya; digerak-gerakkannya bus itu maju-mundur di lantai, lantas merayap ke anggota-anggota tubuhnya sendiri, hingga tiba di wajah dan berhenti. Pelan-pelan, Dody melepaskan pegangan pada bus mainan, dan membiarkan bus itu terparkir di wajahnya yang sebisa mungkin tidak digerakkannya—agar bus tersebut tidak sampai terjatuh dari sana. Tiba-tiba terdengar Ibu memanggil Dody dari dapur, meminta tolong pada bocah itu untuk membangunkan Ayah—agar tak sampai ketinggalan bus, agar tak sampai terlambat sampai di kantor.
Ayah mulai kebingungan—selain kesepian—di ruang angkasa. Setidaknya, ia membatin, di sini aku tak perlu berhadapan dengan urusan kantor lagi. Tak perlu pula berhadapan dengan si Bos yang terlampau banyak maunya. Ayah pun tetap berenang, berenang, dan berenang … tanpa tujuan. Tapi akhirnya ia merasa lelah dan memutuskan untuk diam di tempat, berusaha menikmati pemandangan di sekitarnya. Mendadak Ayah menyadari, sedari tadi tak ada satu bintang pun yang dilewatinya, seakan bintang-bintang itu terus menjaga jarak darinya.
Dody masuk ke kamar itu—dengan bus mainan di tangan—dan mendapati Ayah masih terlelap-telentang di tempat tidur. Ia naik ke tempat tidur, duduk di samping ayahnya, dan beberapa kali berkata, “Bangun, Ayah.” Namun Ayah tak juga bangun. Kemudian Dody memutuskan untuk mencoba membangunkan Ayah dengan cara yang berbeda: ia menempelkan bus mainannya ke kaki Ayah, lantas menjalankannya pelan-pelan ke arah perut. Dody berharap, pergesekan antara roda-roda bus mainan dengan kulit Ayah akan menimbulkan geli yang membangunkannya.
Di dalam mimpinya, entah kenapa, Ayah malah mendengar deru mesin bus yang selalu ditumpanginya saban berangkat ke kantor. Ayah reflek menebar pandangan ke sekeliling, tapi tak ada tampak bus satu pun—hanya bintang-bintang yang bersinar di antara kegelapan yang tertangkap oleh sepasang matanya. (Dan, Ayah tak merasakan geli yang ditimbulkan oleh pergesekan antara roda-roda bus mainan Dody dengan kulitnya.) Ayah pun menajamkan pendengaran, mencoba mencari arah asal bunyi itu … tapi yang didapatinya adalah bunyi tersebut berasal dari segala arah. Maka, Ayah lanjut bergerak ke salah satu arah yang dipilihnya secara acak, berharap semakin lama deru mesin bus itu bakal terdengar semakin dekat.
Bus mainan Dody telah sampai di perut Ayah. Lalu bus itu dijalankannya ke dada, kembali ke perut, ke dada lagi, dan ke perut lagi, begitu terus hingga entah berapa kali. Namun Ayah tak kunjung bangun. “Ayah, cepat bangun,” akhirnya Dody berkata lagi. “Ayah enggak takut ketinggalan bus? Ayah enggak takut terlambat sampai di kantor?”
Deru mesin bus itu tidak kunjung terdengar semakin dekat, tak pula semakin jauh, padahal Ayah sudah mencoba bergerak ke segala arah. Setidaknya, kemudian ia mendapati sesuatu selain bintang-bintang: kemeja, celana panjang, pantofel, dan dasi yang biasa ia kenakan saban bekerja di kantor tampak melayang-layang beberapa meter di hadapannya, muncul begitu saja. Disusul dengan laptopnya yang sekonyong-konyong melintas di depan wajahnya dengan cepat—seolah dilempar dengan sekuat tenaga—dan akhirnya lenyap entah di mana.
Dari dada, Dody menggerakkan bus mainannya ke paha Ayah. Dody lantas berkata, “Waktu itu, Ibu sempat marah-marah karena Ayah terlambat bangun pagi. Apa sekarang Ayah enggak takut kalau Ibu marah-marah lagi?”
Kemeja, celana panjang, pantofel, dan dasi itu menghilang begitu saja. Tiba-tiba, dari belakang Ayah, ada yang meminta-minta tolong dengan suara lemah. Ayah reflek berbalik dan mendapati selingkuhannya yang melayang dengan tubuh dipenuhi luka-luka dan perut yang besar, berisi janin berusia delapan bulan. “Kenapa kau mampir ke mimpiku?” Ayah bertanya, tapi selingkuhannya tak menjawab, entah karena malas menjawab atau sebab suara Ayah tak mampu menembus helm astronaut yang dikenakannya. Mendadak, tubuh sang selingkuhan pecah bagai gelembung, tak meninggalkan jejak apa pun di ruang angkasa yang dipenuhi deru mesin bus dari suatu jarak itu.
“Apa Ayah sudah bangun, Dody?” Ibu berkata lantang dari dapur.
Dody menyahut, “Belum, Bu! Ayah enggak bisa saya bangunkan!”
“Kalau begitu, kau sarapan saja dulu. Biar Ibu yang membangunkan Ayah.”
Dody pun menggerakkan bus mainannya dari paha ke wajah Ayah, sebagai usaha terakhirnya untuk membangunkan pria itu. Tapi karena Ayah tak juga bangun, Dody pun menyerah, turun dari tempat tidur, dan keluar dari kamar. Bus mainannya ia biarkan berada di wajah Ayah, sebagai pelampiasan kecil-kecilan atas kekesalannya terhadap kegagalan diri sendiri dalam membangunkan pria tersebut.
Langkah kaki Ibu lantas mulai terdengar, semakin lama semakin mendekati tubuh Ayah.
Akhirnya, deru mesin bus terdengar semakin dekat. Ayah lumayan kaget, sebab dirinya belum lagi bergerak ke mana pun setelah syok melihat selingkuhannya pecah bagai gelembung. Saat ia menoleh ke belakang, diketahuinyalah bahwa bus itu sudah bergerak mendekat … dengan cepat … hingga menabrak dirinya.
You might also like
More from Fiksi
Surat untuk Mantan
Lara, Ini mungkin adalah surat yang kesekian kali kutulis, tapi kali ini rasanya berbeda. Seperti ikan besar yang terjerat di jaring …
5 Cerpen Cinta yang Akan Bikin Kamu Terbawa Perasaan
5 Cerpen Cinta yang Akan Bikin Kamu Terbawa Perasaan Hey Sobat Semay, siap untuk terbawa oleh ombak perasaan yang mendalam? Ini …