Ini bukan kisah dari selatan namun…
Terik sinar mentari sudah pulang ke rumahnya, beberapa mengatakan tenggelam ke dalam lautan, sebagian bilang karena bumi berputar maka matahari bersinar di tempat lain, di belahan bumi lain. Bumi berotasi. Namun, rotasi bumi tak berlaku bagi mereka yang menganut flat earth.
Aku pernah tinggal di sebuah kampung di mana tak terhitung jumlah fatalistik yang menghiasi akses-akses publik di dalamnya. Aku tidak mengambil pemahaman sebuah teritori disebut kampung jika bla, bla, dan bla dari versi manapun. Aku hanya mengambil dari apa yang aku dan yang lainnya pahami tentang kampung (desa).
Sebagai contoh sikap-sikap barbarian yang masih dominan ataupun keringnya apa yang kerap kali disebut peradaban manusia yang luhur yang mana ditandai dengan karya-karya yang juga luhung dengan tradisi apresiasi di dalamnya. Sedangkan di kampung kecil itu tak ada apresiasi terhadap seni dan kebudayaan, sepanjang pengamatanku tentu saja. Kampung itu sebetulnya dekat dengan ibu kota negara ataupun ibu kota Jawa Barat. Diapit oleh kedua kota besar. Herannya, kedua kota besar itu tak terlalu berpengaruh secara signifikan. Baik secara pendidikan maupun kultur di dalamnya, kecuali gaya hidup.
Menurutku, kemanusiaan ditandai dengan hadirnya apresiasi terhadap kesenian dan kebudayaan. Meski memang ada bentuk kesenian namun aku rasa praktik-praktiknya nihil penghargaan. Perawatan, misalnya. Dengan demikian kemalasan untuk mengetahui dan menggali pengetahuanpun mandek, untuk tidak mengatakan meninggal.
Apakah warga di sana tidak terdidik secara formal? Sepengetahuanku, iya. Bahkan, sebagian besar dari mereka tak percaya terhadap institusi pendidikan. Dalam pandangan mereka sekolah itu tidaklah penting. Pendidikan semacam itu hanyalah ajang buang-buang waktu dan, inilah yang terpenting dari yang penting-penting; uang. Karenanya, banyak yang hanya tamatan SD namun menjadi bos-bos besar -untuk ukuran kampung tersebut. Pendidikan yang baik dan berkualitas tak punya tempat di kampung itu. Hanya uanglah yang punya tempat terhormat di sana. Mengelola kolam ikan pun praktis menjadi pilihan primer. Entah sebagai pemilik ataupun buruhnya.
Kampung itu seperti alam liar, dan asik dengan hal-hal yang tak beraturan. Aku sebetulnya tidak terlalu mempermasalahkan ketidakberaturan. Hanya saja ketika kekacauan berpotensi menimbulkan kerugian dan dibiarkan begitu saja tak ada usaha untuk memerbaikinya, itu sangatlah menyebalkan. Idiom jika rusak maka perbaiki tak berlaku di sana, yang ada adalah jika rusak biarkan saja sampai hancur. Lebih parahnya lagi bila sudah hancur pun tetap dibiarkan, seolah dunia baik-baik saja. Pemikiran tersebut juga berlaku bagi elit-elit politiknya.
Oke, mungkin penilaianku salah karena aku tak hidup sejak kecil di kota kecil yang terdapat kampung kecil itu. Aku hanya pernah singgah dan hidup sekian tahun kala kuremaja di sana tapi susah rasanya untuk tak mengatakan jika tempat itu miskin manusia-manusia unggul yang berhasrat memerbaiki keadaan, entah lewat seni maupun kebudayaan, apalagi pendidikan, tak ada kehendak untuk berbuat sesuatu seperti memerbaiki akses publik.
Jalan rusak diperbaiki misalnya, atau bisa jadi karena memang tiadanya perlawanan untuk mengadakan perbaikan. Lemahnya kesadaran. Jauh di dalam lubuk hasrat mereka tak lebih dari sekumpulan individualis tulen. Atau jangan-jangan di kampung yang berada di kota lainpun sama saja.
Pernah aku bertanya pada kawan-kawanku yang memang warga lokal tulen mengapa tempat itu menjadi sangat brutal dalam artian banyak akses publik yang tak terurus, bertindak korup tak merasa malu lagi, orang tua tega “menjual” anak-anaknya atas nama pernikahan dan sejenisnya. Ya, itu memang terjadi. Cerita kampung tersebut tak jauh berbeda dengan novel Ronggeng Dukuh Paruk besutan Ahmad Tohari.
Seperti tak tersentuh narasi kebudayaan besar, atau paling tidak bagaimana seharusnya etika diberlakukan atau mungkin saja begitulah nilai dan norma yang mereka anut. Aku saja yang tak tahu apa-apa selama ini. Hanya melihat yang ingin dilihat sedangkan dunia tak selalu sejalan dengan keinginan.
Meski demikian bagaimana tidak di era pesta penghisapan dan penghancuran peradaban manusia berbasis teknologi super canggih seperti hari ini masih saja terdapat keributan hanya karena saling tatap-tatapan di sebuah pesta musik yang diadakan warga. Betapa konyolnya hal tersebut masih ada di era Neural Network dan machine learning. Baiklah, sekali lagi mungkin lemahnya kesadaran di mana insting alamiah lebih dominan ketimbang akal yang sehat berwawasan.
Aku pun jadi bertanya-tanya. Apakah pengaruh suasana panas menjadi salah satu faktor keributan mengingat secara geografis kampung itu berdekatan dengan laut walau tak terlalu dekat seperti Kulon Progo atau Indramayu.
Kawanku menggeleng kepala pertanda bahwa ia tidak tahu atau mungkin ia tak punya peduli dengan soalan struktural sebuah tempat. Bagaimana sebuah desa seharusnya menjadi sebuah desa. Meski kondisi desa pada hari ini umumnya sudah seramai perkotaan dengan gaya hidup yang sama. Hubungan sesama manusianya juga kurasai tak terjalin hangat, cara berpikir mayoritas orang di desa itu kini hanya berdasar dan bersandar pada kepentingan ekonomi yang kurang ajar.
Ini sedang dan akan terus terjadi ke depannya sampai datanglah sebuah hari di mana tiba-tiba mata pencaharian mereka harus terkomputasi dan mereka tak mengerti dengan semua itu. Anggaran untuk pendidikan telah dicoret sejak dalam pikiran.
You might also like
More from Ruang Raung
Dari CEO Restock ID Kita Belajar
Dari CEO Restock ID Kita Belajar.... Rombongan motor dan mobil berkonvoi berkeliling kota. Mengibarkan bendera kebanggaan sebagai ciri identitas organisasi yang …
Pak Jokowi, Jadi Gini
Usia kemerdekaan Indonesia "Pak Jokowi, Kapan ya Kita Merdeka dari Ambisi?" Usia kemerdekaan Indonesia kini sudah menyentuh 75 tahun. Ya, 75 tahun …
Antara Kedai Kopi dan Dilema Pejalan Kaki
Kedai Kopi dan Dilema Pejalan Kaki Selepas kelas malam, sepulang dari kampus, sekitar jam 7 malam, saya berjalan kembali ke kos. …