Nonton film adalah salah satu kesempatan untuk mencuri kebahagiaan kecil di tengah rutinitas harian. Kesempatan untuk mengunjungi tempat-tempat baru, dunia baru, baik yang nyata maupun yang khayali; bertemu dengan orang-orang baru, berempati dengan perjuangan dan pergumulan mereka; atau bertualang seru edan-edanan memicu adrenalin. Sesudahnya, mudah-mudahan bukan sekadar terhibur dan rileks, tapi punya perspektif baru untuk memandang hidup ini.
Tahun 2017 pengalaman menonton saya lumayan mengasyikkan. Cukup banyak kesempatan nonton di bioskop. Ya, bagaimanapun bioskop adalah tempat ideal untuk menonton film. Ini pilihan pertama untuk film yang, setelah membaca berita atau ulasannya, membuat saya menggebu pengin menontonnya. Kualitas gambar, tata suara, dan suasana nonton bareng dengan penonton lain memberi nilai tambah nonton di bioskop.
Nah, berikut ini peringkat kepuasan saya atas film-film bioskop yang saya tonton sepanjang 2017.
Mengesankan: Makin ke atas makin bernas
1. BLADE RUNNER 2049
A beautiful, meditative sci-fi film. Riveting!
Dunia futuristik yang dibentangkan secara detail dan memukau, dalam ritme cerita yang tidak buru-buru, memberi kita ruang leluasa untuk turut memasukinya secara reflektif. Mesti ditonton di layar lebar untuk bisa berendam dalam keelokannya.
Kisahnya tentang replikan yang tidak memiliki ingatan, hanya dipinjami. Namun, meskipun hanya pinjaman, betapa kuat dampak ingatan itu. Sekalipun sempat terjadi blackout yang menghapuskan semua data digital, nyatanya ada serpih-serpih ingatan yang sintas, menyeruak, menjulur, membangun jembatan antara masa lalu dan masa depan.
Dan, ada sebuah keajaiban. Keajaiban yang membangkitkan pengharapan untuk bertahan hidup. Juga, memperkuat renungan menarik tentang perbedaan antara dibuat dan dilahirkan.
Gosling tampil mantap. Bisa dimaklumi jika ada yang menyandingkan film ini dengan Lars and the Real Girl. Bikin senyum terkulum.
Misteri anak dan orangtuanya, yang menjadi misi utama si pemburu replikan, bergerak dalam dinamika adegan ikonik di Empire Strikes Back dan penyingkapan yang menyayat rasa di Top of the Lake, tetapi dengan twist yang menghangatkan hati. Seperti optimisme dalam Children of Men.
2. Turah
3. Coco
4. Star Wars: The Last Jedi
5. Ziarah
6. Baby Driver
7. Get Out
8. Logan
9. It
10. Pengabdi Setan
Mengecewakan: Makin ke bawah makin parah
1. Marlina Si Pembunuh dalam Empat Babak
2. Murder on the Orient Express
3. Dunkirk
4. War for the Planet of the Apes
5. Beauty and the Beast
6. Nyai Ahmad Dahlan
Selain film baru, tahun ini sempat nonton pemutaran khusus film Ghibli, My Neighbour Totoro dan Ponyo. Pengin tahun depan bisa mengakses lebih banyak film non-Hollywood di bioskop.
Di Luar Bioskop
Banyak film bagus yang tayang di bioskop, tetapi, karena berbagai alasan, terlewatkan. Ada pula yang memang tidak tayang di bioskop sini. Dulu, pilihannya ya menyewa di rental VCD/DVD terdekat. Beruntung, di Yogya banyak rental yang progresif: selain film-film baru, mereka juga menyediakan film-film festival (begitu istilahnya) dan film-film klasik.
Kini, berkat perkembangan dan kecanggihan teknologi transfer file melalui internet, perburuan film beralih ke warnet terdekat. Lagi-lagi, warnet di Yogya sangat bisa diandalkan dalam hal ini. Selain film dari berbagai penjuru dunia, tersedia pula film seri teve.
Nah, berikut ini film favorit yang sebagian besar hasil perburuan di warnet, terbagi dalam tiga kelompok: film televisi, film baru (1-3 tahun terakhir), dan film lawas.
Film Televisi
Saya memilih serial yang setiap episodenya selesai (antologi), seperti Black Mirror. Atau, paling jauh, setiap musim rampung, berganti cerita, walaupun tentu saja masih berkaitan, seperti Stranger Things. Sebaliknya, kalau ceritanya sambung-menyambung tak kunjung rampung musim demi musim, saya cenderung menghindarinya. Itulah sebabnya saya termasuk 1% penduduk dunia yang belum nonton Game of Thrones.
Adapun film televisi favorit saya tahun ini tak lain tak bukan:
1. TWIN PEAKS: THE RETURN
“Twin Peaks” 25 tahun yang lalu dibuka dengan satu kasus (kematian Laura Palmer) dan kita diajak menelisik kisah yang berkelindan ruwet dengan banyak tokoh dan subplot, berujung pada klimaks yang bikin nelangsa dan pelintiran plot yang menggemaskan.
“Twin Peaks” musim ini dibuka dengan paling tidak enam jalur kisah (dua di antaranya berupa kematian misterius dan adikodrati), yang bakal dieksplorasi keterkaitannya sepanjang 18 episode. Menggemaskan betul menunggu perkembangan kisahnya dari minggu ke minggu.
Bertaburan adegan unik dan keren. Salah satunya seorang pria mengecat ulang lima sekop warna hitam sehingga berubah jadi warna emas. Atau, adegan Cooper di mercusuar yang dibesut dalam gaya film hitam-putih jadul. Ada episode yang lucu (04), yang ajaib (08), banyak yang misterius, juga kisah cinta segitiga yang berakhir dengan manis, dan akhirnya: episode pamungkas yang membikin kita menjerit bersama Laura.
Kyle MacLachlan memerankan tiga versi Dale Cooper secara mantap. Geregetan saat wajah-wajah lama bermunculan satu per satu (Lucy! Hawk! Mrs Log! James!)–nostalgia campur aduk dengan ketegangan menanti perkembangan kisah.
Dan, musik tema garapan Angelo Badalamenti tetap saja ngelangut mencekam. Wingit.
Salah satu kutipan favorit: “Before you were Denise, when you were Dennis and I was your boss, when I had you working undercover at the DEA, you were a confused and wild thing sometimes. I had enough dirt on you to fill the Grand Canyon, and I never used a spoonful because you were and are a great agent. And when you became Denise, I told all of your colleagues, those clown comics, to fix their hearts or die.”
2. Fargo Season 3
3. Top of the Lake: China Girl
4. Tunnel
5. Black Mirror Season 1-3
6. Stranger Things 2
7. Sherlock Season 4
8. Kesempurnaan Cinta
9. Cinta dan Rahasia
Film Baru
1. PATERSON (Jim Jarmusch, 2016)
Cukup sering saya bertanya-tanya: Apa jadinya film yang menampilkan orang-orang biasa, dengan kejadian yang biasa-biasa pula? Film ini jawaban atas rasa penasaranku. Berkisah tentang Paterson (Adam Driver), seorang sopir bus kota dan sekaligus penyair, melewatkan rutinitas hariannya yang begitu dan begitu lagi (mengingatkan pada Groundhog Day) di Paterson, New Jersey, AS. Nyaris tidak ada rentetan sebab-akibat yang terjalin jadi sebuah kisah; yang ada hanya rangkaian peristiwa keseharian, yang ganjilnya justru menyergap dan memikat perhatian begitu cepat.
Yang istimewa, Paterson tidak memperlakukan kehidupan yang rutin itu sebagai sesuatu yang biasa-biasa saja, melainkankan menyimaknya dengan penuh perhatian, mendengarkan, memperhatikan, dan menorehkan baris-baris puisi. Ia memiliki istri, Laura (Golshifteh Farahani, artis Iran yang juga tampil dalam About Elly), dengan hasrat jiwa yang berbeda, tetapi mereka berdua saling menghargai keunggulan masing-masing (ah, mereka bisa jadi pasangan paling hangat yang pernah kusaksikan di film). Ada kotak korek api yang menjadi puisi; ada Marvin, anjing mereka yang menggemaskan; dan ada pula kotak surat yang selalu meleng setiap kali Paterson pulang. Beberapa perjumpaan digarisbawahi: percakapan dengan penyair cilik yang antusias, pertemuan dengan kawan-kawan di bar, dan, tentu saja, momen “Aha!” tak terduga yang menutup film ini.
Film ini menegaskan kredo “insignificant is beautiful.” Di balik hal-hal yang tampak biasa-biasa saja, kita bakal menemukan keajaiban, asalkan kita mau memasang mata dan telinga, dan membuka hati. Seperti dikatakan Kate DiCamillo: “Setiap kali Anda melihat dunia dan orang-orang di dalamnya secara cermat, hal itu mengubah Anda. Setiap kali Anda berusaha untuk mendengarkan, untuk mengagumi, untuk bertanya-tanya, dunia menanggapi, membuka dan memberi dirinya kembali kepada Anda menurut cara-cara yang tidak pernah Anda bayangkan. Cerita apakah yang tersembunyi di balik wajah orang-orang yang Anda lewati? Pengharapan apakah? Keputusasaan apakah? Cinta apakah?”
2. I, Daniel Blake (Ken Loach, 2016)
Film yang memualkan. Bukan kualitas artistiknya, tentu saja (film ini menyabet Palem Emas di Festival Cannes), melainkan isu yang dipaparkannya. Jika Anda pernah berhadapan dengan birokrasi yang berbelit-belit, tontonlah film ini. Mungkin beban Anda akan terasa lebih ringan. Mungkin pula Anda malah akan semakin frustasi.
Daniel Blake, tukang kayu berumur 59 tahun di Newcastle, Inggris, baru saja terkena serangan jantung. Kondisinya belum pulih benar sehingga dokter menyarankannya untuk tidak bekerja. Ia pun mengajukan permohonan tunjangan sosial. Berdasarkan pemeriksaan petugas pemerintah, kondisinya dinyatakan baik-baik saja sehingga permohonannya ditolak. Daniel mencoba memperjuangkan haknya, tetapi justru terseret ke dalam labirin sistem dan birokrasi yang menjengkelkan, dirinya diperlakukan seakan seorang pesakitan. Salah satu syarat yang membikinnya pening: formulir permohonan harus diajukan secara online, sedangkan ia hanya akrab dengan pensil. Beberapa petugas terlihat berniat menunjukkan simpati, tapi akhirnya terbentur dan terkekang oleh peraturan yang kaku. Ketika Daniel berusaha mengisi formulir secara online, dan gagal, dan gagal lagi, perut ini rasanya ikut mulas.
Kekacauan sistem ini dipertajam melalui kehadiran Katie, ibu tunggal dengan dua anak, yang baru saja meninggalkan rumah penampungan bagi tunawisma di London. Katie kehilangan tunjangannya akibat terlambat melapor di kantor setempat gara-gara tersesat karena belum akrab dengan lalu lintas di kota baru itu. Akibatnya, ia tidak bisa menyediakan makanan dan penghangat ruangan bagi anak-anaknya.
Daniel dan Katie anak-beranak saling menopang, berusaha untuk tetap tegar. Nyatanya, keadaan terus menggerus mereka. Saking laparnya, Katie menenggak makanan kaleng di bank makanan. Lalu, ia mengutil di toko. Lalu, putrinya bercerita bahwa sepatunya somplak dan jadi bahan ejekan teman-teman sekolah. Lalu, Katie menerima tawaran bantuan yang nyatanya merupakan buah simalakama. Daniel sendiri akhirnya tak tahan menanggung frustasi dan menyemprotkan grafiti protes di dinding kantor pemerintah. Rangkaian peristiwa itu digambarkan tanpa banyak riasan, tidak berlarat-larat, tetapi betapa menyayat hati.
Film dibuka dengan suara dialog Daniel dan petugas tunjangan sosial. Ia diminta menjawab serangkaian pertanyaan tentang kondisi kesehatannya secara umum, dan hanya bisa menjawab ya atau tidak, dan pertanyaan-pertanyaan itu justru tidak ada satu pun yang menyinggung soal kondisi jantungnya. Dialog ini menyetel suasana film secara keseluruhan. Nada suara si petugas begitu menjengkelkan–kalau saya ada di depannya, barangkali akan saya remas mulutnya itu. Dialog ini menggambarkan betapa kakunya sebuah sistem, mengidentifikasi manusia hanya secara hitam-putih, ya atau tidak, dan malah gagal menanggapi jantung persoalan. Sistem yang dirancang untuk melayani kebutuhan manusia, berbalik mencekik dan menyedot daya hidupnya.
3. The Salesman (Asghar Farhadi, 2016)
4. A Ghost Story (David Lowery, 2017)
5. Aligarh (Hansal Mehta, 2015)
6. What We Do In the Shadows (Jemaine Clement/Taika Waititi, 2014)
7. Train to Busan (Yen Sang-Ho, 2016)
8. The Red Turtle (Michael Dudok de Wit, 2016)
9. The Mermaid (Stephen Chow, 2016)
10. The Fits (Anna Rose Holmer, 2015)
Film Lawas
1. Wings of Desire (1987)
2. Vera Drake (2004)
3. The Red Balloon (1956)
4. King Kong (1933)
5. Barton Fink (1991)
6. Mad Max: Beyond the Thunderdome (1985)
7. Joyeux Noёl (2005)
8. Mr. Smith Goes to Washington (1939)
You might also like
More from Tontonan
Sinopsis Sokola Rimba
Sinopsis Sokola Rimba Film "Sokola Rimba" merupakan adaptasi dari kisah nyata seorang wanita bernama Butet Manurung yang didedikasikan untuk memberikan pendidikan …
The Commuter: Plot Twist dan Endingnya
The Commuter: Plot Twist dan Endingnya "The Commuter," dibintangi oleh Liam Neeson, membawa penonton dalam perjalanan menegangkan penuh kejutan. Michael MacCauley, …
Analisis Ending Film The Commuter
Analisis Ending Film The Commuter "The Commuter," sebuah film thriller yang dibintangi oleh Liam Neeson, membawa penonton dalam perjalanan yang penuh …