Alih-alih air hujan, langit menumpahkan cerita-cerita ke kota itu dalam jumlah yang tak mungkin dihitung. Tak ada yang tak terheran-heran, termasuk kau. Bagaimanakah rasanya kehujanan cerita-cerita? pikirmu penasaran, tapi tak berani keluar dari rumah buat membiarkan diri kehujanan cerita-cerita, sebagaimana orang-orang lain yang juga penasaran, karena sama sekali tak mengetahui dampaknya.
Kala mendarat, sebagian besar dari cerita-cerita itu terpecah lalu lenyap, sedangkan sisanya terpental. Taklah masalah seandainya cerita-cerita tersebut hanya terpental ke langit, bukan ke arah-arah tak terduga seperti yang tersaji dalam kenyataan.
Sebuah cerita terpental ke rumahmu, tepatnya ke arah ibumu yang sedang memandang ke luar melalui jendela yang terbuka. Begitu mengenai ibumu, cerita itu langsung meresap ke dalam tubuhnya. Tiba-tiba, ibumu terjatuh ke lantai, menangis, dan memekik, “Di mana anakku?!”
Kau dan adik perempuanmu segera mendekati ibumu dan serempak berkata, “Kami di sini, Bu. Kami di sini.”
“Kalian bukan anakku!” balas ibumu sesenggukan.
“Hei! Kenapa kau ini?” ucap ayahmu setelah mendekat pula. “Jelas-jelas mereka adalah anakmu!”
“Bukan! Anakku masih bayi dan hanya satu!”
Kemudian kau tersadar bahwa wanita itu, untuk sementara, bukanlah ibumu lagi, melainkan tokoh seorang-ibu-yang-kehilangan-bayinya dalam cerita yang barusan meresap ke tubuhnya.
Kau lantas menatap ke luar melalui jendela yang terbuka itu. Dan, kau mendapati bukan ibumu seorang yang bernasib demikian; tetangga-tetanggamu yang kemasukan cerita pun sontak berubah kelakuannya: ada yang menjadi pemalu dan yang tak tahu malu; ada yang menjadi terlampau baik dan yang terlampau jahat; ada yang suka memakan manusia lain sesekali dan yang suka memakan manusia lain berkali-kali; dan lainnya.
Yang paling menarik perhatianmu adalah Tuan Fargo; pria itu berlari keluar dari rumahnya—cerita-cerita yang mengenai dirinya terpental ke berbagai arah, kalau tak terpecah lalu lenyap, karena ia sudah dimasuki oleh sebuah cerita yang terpental memasuki rumahnya melalui pintu yang terbuka—seraya berteriak, “Aku adalah Tuhan!” berkali-kali. Kau ingat betul tokoh apa yang sedang bersemayam di dalam Tuan Fargo; tokoh itu adalah tokoh utama dalam cerpen yang dimuat di sebuah koran nasional kemarin. Di akhir cerita, tokoh itu mengambil kesimpulan bahwa semua manusia di dunia ini, kecuali dirinya, adalah Tuhan. Karena kesimpulan itu, sang tokoh pun berhenti meneriak-neriakkan kalimat, “Aku adalah Tuhan!” kemudian kembali ke rumahnya, dan tidur dengan tenang. Kau mengasumsikan akhir dari cerita itu tak lama lagi akan ditemui oleh Tuan Fargo sebab yang meresap ke tubuhnya adalah cerpen. Lalu kau berpikir, Seberapa panjangkah cerita yang meresap ke ibuku? Bagaimana kalau cerita yang meresap ke ibuku adalah cerita yang sangat panjang, semisal novel?
Salah satu cerita yang jatuh ke tubuh Tuan Fargo terpental ke arahmu. Kau reflek menunduk. Dan, cerita itu mengenai ayahmu yang berada tak jauh di belakangmu, setelah melewati jendela yang terbuka. Begitu cerita tersebut meresap ke dalam tubuh ayahmu, ayahmu langsung tertawa terbahak-bahak. “Pemerintah sungguh lucu! Tapi orang-orang yang diperintah jauh lebih lucu!”, serunya, di sela-sela tawanya.
Ah! Kau mengenal kalimat itu! Itu adalah kalimat tokoh utama dalam cerpen karya salah seorang temanmu di Komunitas Penulis! Beberapa hari yang lalu, temanmu itu mengirim cerpen tersebut kepadamu via surel, memintamu untuk membacanya dan memberikan tanggapan. Kemarin, kau baru saja selesai membaca cerpen itu dan memberikan tanggapanmu—Bagus sekali! Aku suka cerpenmu!—melalui surel, kemudian ia membalas, Terima kasih banyak, Kawan! Kalau begitu, aku akan mengirimnya ke redaksi koran nasional hari ini. Tentu saja hari ini cerpen karya temanmu itu belum dimuat. Tapi, rupanya cerita(-cerita) yang belum dipublikasi pun turut bertumpahan dari langit.
Tiba-tiba kau teringat akan cerpen-cerpenmu yang belum dipublikasi, yang nasib tokoh utamanya begitu buruk. Bagaimana kalau cerpen-cerpen itu meresap ke tubuh orang lain? (Syukurnya, cerpen yang meresap ke tubuh ayahmu akan berakhir bahagia. Entah bagaimana dengan cerita yang meresap ke tubuh ibumu.)
“Yona, tolong jaga Ayah dan Ibu!” ucapmu pada adik perempuanmu sembari menutup jendela. “Aku harus melakukan sesuatu yang penting di kamarku!”
Yona mengangguk.
Kau pun cepat-cepat masuk ke kamarmu yang terletak di lantai dua, lantas menyalakan laptop. Kau hendak mengubah cerpen-cerpenmu—yang belum dipublikasi—yang suram itu menjadi cerah, sekalipun mesti membuatnya jadi jelek, agar siapa pun yang kemasukan cerpen-cerpen tersebut tidak menderita.
***
Dorrr!!!
Kau kaget. Kau lalu buru-buru keluar dari kamar—padahal baru satu cerpenmu yang berhasil kau cerah-kan—dan turun ke lantai satu. Di sana, kau terkejut sebab melihat ayahmu tergeletak di lantai, berlumuran darah, dan dahinya berlubang. Tak jauh dari jasad ayahmu, terduduk ibumu yang masih menangis; bukan menangisi ayahmu, melainkan menangisi bayinya yang hilang. Tak jauh dari ibumu, adik perempuanmu berdiri dengan sepucuk revolver—satu dari sekian banyak yang ayahmu koleksi—di tangan kanannya. Asap tipis masih mengepul dari moncong revolver itu.
“Yona! Kenapa kau membunuh Ayah?!” teriakmu, marah. Kurang dari sedetik setelah melontarkan pertanyaan itu, kau langsung yakin bahwa Yona sedang kemasukan cerita—entah bagaimana bisa itu cerita terpental-memasuki tubuhnya, padahal rumahmu, kau yakin, sudah tertutup-aman.
“Aku benci siapa pun yang tertawa!” balas Yona, sama marahnya denganmu. “Semua orang yang tertawa harus mati!”
Kau tercenung. Kau pun mengingat-ingat sesuatu tentang dua kalimat yang Yona ucapkan itu. Sementara kau mengingat-ingat sesuatu tersebut, Yona berlari ke luar karena didengarnya ada yang tertawa di luar sana, dan kau gagal mencegahnya karena Yona serta-merta menodongkan revolver di tangannya ke arahmu begitu kau hendak mencegahnya keluar.
***
Langit akhirnya berhenti menumpahkan cerita-cerita. Cerita yang meresap ke tubuh ibumu kebetulan telah berakhir; diakhiri dengan ikhlasnya sang tokoh dalam menerima kematian bayinya, sehingga ia dapat berhenti menangis. Tapi ibumu segera menangis lagi begitu mendapati suaminya telah mati.
“Dahinya berlubang! Ia pasti dibunuh!” ucap ibumu, sesenggukan. “Siapa yang telah membunuhnya?!”
Kau sengaja tak menjawab pertanyaannya karena takut perasaan ibumu semakin terpukul.
“Di mana Yona?” ucap ibumu lagi.
Dan kau lagi-lagi tak menjawab pertanyaannya ….
***
Kau pun menyusuri jalanan dengan sepucuk revolver tersembunyi di balik jaket setelah mengunci-meninggalkan ibumu di rumah bersama mayat suaminya dan tanda tanya yang terus bermunculan.
Di sepanjang perjalanan, matamu bergerak-gerak terus, mencari-cari adikmu sekaligus mengawasi setiap orang yang masih berada di bawah pengaruh cerita—barangkali ada di antara mereka yang menjadi berbahaya.
***
Kau tak menemukan adikmu di jalanan. Jadi, kau memutuskan untuk langsung menuju rumah kontrakan Vlosbon, salah seorang kawanmu di Komunitas Penulis. Kau tahu bahwa Vlosbon-lah yang menulis (manuskrip) novel tentang seorang tokoh yang berambisi untuk membunuh siapa pun yang tertawa—sebab dirinya sendiri tak bisa tertawa. Vlosbon sempat memintamu membaca manuskrip itu sebelum karya tersebut memasuki “masa revisi yang kelima” yang masih berlangsung sampai detik ini.
“Jadi, adik perempuanmu sedang memerankan tokoh utama dalam ceritaku itu?” Vlosbon bertanya, memastikan apa yang dirinya dengar darimu tidaklah salah.
“Ya! Bahkan ia telah membunuh ayahku yang tadi tertawa!”
“Padahal, tokoh utama dalam ceritaku itu, kan, laki-laki ….”
“Barangkali, dalam beberapa cerita, perbedaan jenis kelamin tokoh utama dengan pemerannya taklah berpengaruh.”
Di luar, cerita-cerita kembali bertumpahan dari langit. Vlosbon cepat-cepat menutup jendela, lalu berkata, “Lantas, apa yang kauharap aku lakukan untuk menolongmu?”
“Kumohon, ubahlah ambisi tokoh utama dalam ceritamu itu.”
Vlosbon terbelalak. “Kau gila?! Justru ambisi si Tokoh Utama yang ganjil itu adalah daya tarik utama dalam ceritaku!”
“Tapi si Tokoh Utama sungguh berbahaya di dunia nyata! Dan, kisahnya panjang! Berakhir buruk pula!”
“Pokoknya aku tidak akan mengubahnya!”
“Kumohon, Vlosbon.”
“Tidak!”
“Kumohon ….”
“Tidak! Tidak! Dan tidak!”
“Vlosbon ….” Tiba-tiba kau mengeluarkan revolvermu dari balik jaket dan menodongkannya ke Vlosbon. “Ubahlah ambisi tokoh utama dalam ceritamu itu, atau cerita tersebut akan tetap manuskrip untuk selamanya.”
Vlosbon jadi gentar. Sayang, keputusannya belum goyah. Demi membuatnya semakin gentar, otomatis jadi goyah, kau pun menembak langit-langit.
“Astaga! Apa-apaan kau ini, heh?!” Dari getaran suaranya, jelas Vlosbon bertambah gentar.
Kau tak sadar bahwa peluru dari revolvermu itu bukan hanya melubangi langit-langit rumah kontrakan Vlosbon, melainkan sampai melubangi atapnya. Sebuah cerita lantas jatuh tepat ke bagian atap yang berlubang itu dan menjumpai ubun-ubunmu. Tapi, kau merasa baik-baik saja setelah cerita itu meresap ke tubuhmu. Ya, baik-baik saja … sebab kau tak mempunyai cukup waktu untuk menyadari bahwa cerita yang meresap ke dalam tubuhmu itu adalah salah satu cerpen karyamu yang belum dipublikasi, yang belum sempat kauhilangkan kesuramannya sebab tadi kau terburu-buru keluar dari kamar karena mendengar suara tembakan—dan mendapati ayahmu telah tewas di tangan Yona. Cerpen itu mengisahkan tentang seorang lelaki, yang biasa-biasa saja, yang di akhir nanti dibunuh oleh adik perempuannya sendiri dengan sepucuk revolver.
Tiba-tiba Vlosbon cegukan. Dan, cegukannya yang begitu unik itu selalu mampu memancing tawa hampir setiap orang yang mendengarnya, termasuk kau ….
You might also like
More from Fiksi
Surat untuk Mantan
Lara, Ini mungkin adalah surat yang kesekian kali kutulis, tapi kali ini rasanya berbeda. Seperti ikan besar yang terjerat di jaring …
5 Cerpen Cinta yang Akan Bikin Kamu Terbawa Perasaan
5 Cerpen Cinta yang Akan Bikin Kamu Terbawa Perasaan Hey Sobat Semay, siap untuk terbawa oleh ombak perasaan yang mendalam? Ini …