Istilah cangkruk atau jagongan merupakan sebuah kata yang tak asing lagi di telinga masyarakat, khususnya masyarakat Pulau Jawa. Kegiatan cangkruk sudah lama membudaya dalam kehidupan masyarakat sejak dahulu kala. Budaya sendiri merupakan nilai-nilai yang ada pada masyarakat, ataupun kegiatan yang secara terus menerus dilakukan oleh banyak orang.
Budaya sendiri dapat bersifat abstrak. Salah satu budaya yang saat ini semakin mengakar dan menjalar adalah budaya cangkrukan. Penganut budaya cangkrukan tidak hanya dari kalangan dewasa, mereka yang masih bersatatus sebagai pelajar atau remaja sampai kakek – kakek turut melebur dalam budaya ini.
Masyarakat Indonesia khususnya Jawa Timur amat menyukai kebiasaan cangkruk atau jagongan. Ada banyak model cangkruk di kalangan masyarakat yang semakin dikemas secara modern. Kebiasaan cangkruk tersebut bisa dijumpai di warung-warung, resto, cafe, di tempat kerja di kala senggang, di rumah-rumah, di ruang makan, di ruang pertemuan, atau di mana saja sejauh orang-orang yang merasa saling cocok untuk mengobrol berada bersama-sama dalam waktu tertentu. Acara-acara diskusi di televisi seringkali juga dikemas dalam bentuk cangkrukan meskipun sedikit bersifat formal karena harus melayani jutaan pemirsa yang menontonnya.
Pada saat cangkruk, perbincangan bisa “bergerak” ke mana saja, dari satu topik pembicaraan ke topik pembicaraan lainnya, mulai dari berita-berita politik, bencana alam, sampai gosip tentang rekan kerja atau tentang kehidupan artis.
Mengapa orang begitu senang jagongan atau cangkruk? Kebanyakan orang merasakan bahwa itulah saat untuk saling bertukar pikiran, informasi, atau sekadar membunuh waktu senggang. Tetapi, pernahkah orang berpikir bahwa “budaya” cangkruk sebenarnya memiliki akarnya berabad-abad lamanya.
Para sofis dari masa berkembangnya filsafat etika di Yunani mengembangkan metode berfilsafat dari forum ke forum. Dan yang patut diketahui juga, forum pada masa itu berarti pasar, yaitu tempat di mana orang berkumpul untuk saling bertukar barang, jasa, atau sekadar saling bertemu dan cangkruk. Pertemuan-pertemuan informal yang kental dengan atmosfer persahabatan personal menjadi suasana yang khas dalam cangkruk. Cangkruk juga biasa dipakai sebagai metode belajar secara informal yang dikembangkan oleh banyak guru di hadapan audiensnya.
Cangkruk memiliki banyak arti di kalangan masyarakat, cangkruk sudah berurat dan mengakar menjadi bagian dari kebiasaan dan kultur masyarakat. Tetapi bagaimana kualitas pembicaraan kita selama cangkruk. Apakah cangkruk-cangkruk hanya sekadar untuk menghabiskan waktu? Apakah kita kecanduan cangkruk karena merasa keasyikan saat mendengar gosip-gosip tentang kolega dan rekan kerja kita? Atau malah kita turut menjadi aktor yang berperan dalam menebar gosip? Lebih parah, ada kalangan yang “mengisi” saat cangkruk dengan mabuk-mabukan, yang jelas akan berdampak buruk dan counter produktif. Ataukah cangkruk menjadi saat “bermutu” karena di sana ada saling pembelajaran, pemahaman, dan peningkatan relasi persahabatan?
De facto, masyarakat cerdas dan kritis akan menjadikan saat cangkruk dirindukan karena di sana ada pertukaran ilmu, wawasan, pengetahuan, informasi-informasi penting bagi kemajuan hidup, dan berbagai hal yang bersifat positif dan konstruktif bagi kehidupan bersama.
Hal ini wajar karena ketika orang-orang yang sedang mengobrol memiliki tingkat kedewasaan dan kematangan tertentu, maka kualitas pembicaraan juga (diandaikan) cukup tinggi. Pengandaian lain dari masyarakat semacam ini adalah kemampuannya dalam berwacana secara sehat, mau menerima kritik dan masukan dengan kebesaran hati dan sikap intelektual yang elegan. Bagi masyarakat semacam ini, cangkruk hanyalah sebagian dari aktivitas keseharian, meskipun toh yang bersifat sebagian itu terasa mengasyikkan, dirindukan, dan ditunggu-tunggu.
Sebaliknya, masyarakat yang masif dan konsumtif menjalani cangkruk sebagai bagian utama dari aktivitas kesehariannya. Berjam-jam waktunya dihabiskan untuk sekadar cangkruk, duduk-duduk dan mengobrol ke sana ke mari. Akibatnya, ketika para cangkrukers sudah mengalami saat jenuh, exhausted, mereka tidak berpikir lagi apakah cangkruk menjadi saat produktif bagi pengembangan wawasan dan bertukar pikiran atau tidak.
Karakter masyarakat yang masif dan konsumtif itu sendiri dicirikan oleh sikap mudah mengiyakan informasi-informasi atau opini publik yang belum jelas kebenarannya. Karenanya, dari karakter masyarakat semacam ini, cangkruk justru sering dijadikan alat oleh spionase untuk menghasut, memprovokasi, atau menebarkan pikiran-pikiran yang salah, atau membentuk opini publik yang sesat. Jadi cangkruk itu sendiri pada dasarnya adalah positif sejauh masyarakat cerdas dan kritis.
Dan di sinilah letak permasalahan yang sebenarnya. Sejauh manakah masyarakat kita cerdas dan kritis dalam menanggapi berbagai informasi yang berkembang selama cangkrukan?
Francis Bacon yang merupakan seorang filsuf berkebangsaan Inggris yang mengajukan pemikiran filosofis yang sangat berharga bagi masyarakat kita sekarang ini. Menurutnya, betapa banyak aktivitas dari hidup kita yang membuat kita tidak sampai pada pemahaman yang benar tentang realitas hidup kita.
Banyak pandangan kita yang kurang atau tidak objektif. Itu semua pertama-tama, menurut Bacon, disebabkan oleh berbagai prasangka yang membelenggu kebebasan kita untuk berpikir dan menilai sesuatu. Prasangka-prasangka itu membelenggu pikiran. Bacon menyebut empat macam prasangka yang sering membelenggu pikiran-pikiran masyarakat kita, yang dalam arti tertentu membodohkan dan membiarkan diri hidup dalam kesesatan berpikir.
Pertama, prasangka yang datang dari sikap pribadi orang yang lebih memilih untuk menutup diri dari komunikasi dialogal-personal. sikap semacam ini membuat orang terbelenggu dalam prasangka-prasangka pribadi karena tidak adanya klarifikasi, komunikasi, dan dialog dari pihak lain. Orang sepandai dan secerdas apa pun, bila dia menutup diri dari dialog, akan terbelenggu oleh prasangka-prasangkanya sendiri.
Kedua, prasangka yang berasal dari cara berpikir kolektif yang sudah akut, seakan-akan karena pola berpikir semacam itu sudah jamak terjadi di antara anggota masyarakat, maka dianggap benar atau bisa dibenarkan. Misalnya, karena ada banyak orang yang terbiasa mencontek, korupsi, melanggar peraturan lalu-lintas, maka perbuatan-perbuatan tersebut bisa dibenarkan. Kolektivisme telah menempatkan massa sebagai kekuatan termasuk dalam cara berpikir, entah benar atau pun salah. Contoh lain adalah diskriminasi terhadap kaum minoritas (dalam arti yang seluas-luasnya, termasuk minoritas agama atau pun suku). Dalam kesesatan kolektif ini, kaum minoritas dianggap kurang eksistensinya dibandingkan golongan atau kelompok mayoritas sedemikian hingga perlakuan tidak adil terhadap mereka dianggap wajar dan bisa dibenarkan.
Ketiga, prasangka yang berasal dari opini publik yang berkembang yang mempengaruhi cara kita berpikir, memandang, dan menilai sesuatu. Prasangka ini masih berkaitan dengan poin ke tiga di atas. Golongan yang kuat dalam menguasai media massa, kekuasaan, dan modal biasanya dengan begitu mudah menghembuskan opini publik yang mempengaruhi cara berpikir masyarakat.
Masyarakat yang masif dan cenderung konsumtif biasanya tidak secara kritis menerima danmenanggapi opini publik yang berkembang sehingga kebenaran suatu opini tidak dikaji dan dipertanyakan lebih lanjut.
Keempat, prasangka yang berasal dari sistem-sistem ideologi dan keyakinan yang berkembang dan mendarah daging dalam cara berpikir masyarakat. Francis Bacon menggambarkan sistem-sistem ideologi dan keyakinan itu bagaikan suatu panggung teater yang mengasyikkan untuk ditonton, tetapi pada saatnya harus “turun panggung”, cerita berakhir, dan pertunjukan selesai. Sistem-sistem ideologi dan keyakinan bisa menjebak orang dalam prasangka-prasangka yang akut karena tidak disadari bahwa sistem-sistem itu pun bisa runtuh dan hilang pengaruhnya.
Bertemu dengan banyak orang setiap hari tentunya akan menjauhkan setiap orang dari prasangka-prasangka negatif dari dalam diri seseorang. Salah satu alternatif untuk bertemu dengan banyak orang adalah dengan cangkrukan.
Cangkrukan merupakan ruang publik yang dapat dimanfaatkan sebagai wahana komunikasi, pusat sosialisasi, pusat informasi, dan juga sebagai hiburan. Cangkruk dianggap sebagai wahana komunikasi dan sosialisasi yang tidak dapat dipungkiri karena dengan cangkruk semua orang bisa membicarakan apapun dengan tema apapun.
Selain itu, cangkruk merupakan pusat informasi di mana semua berita dan kabar terbaru atau yang sedang ngetren bisa saja diketahui saat cangkrukan. Cangkruk juga bisa berfungsi sebagai hiburan karena dengan cangkrukan bisa sejenak merileks pikiran dari segala kepenatan. Sebagai tambahan lagi, cangkruk dapat menjadi pusat ketahanan sosial di suatu kota, misalnya ada pendatang baru di suatu kampung yang kira-kira mirip dengan seorang buronan teroris atau seorang kriminal, maka akan mudah dikenali ketika dilihat oleh anak muda yang sedang cangkruk di malam hari.
Sudah dikatakan bahwa cangkruk adalah suatu kebiasaan dan perilaku sosial yang telah berkembang dalam masyarakat. Perilaku dan kebiasaan itu sendiri belum bisa dinilai secara moral dan etis. Yang membuatnya bisa dinilai secara moral dan etis adalah ketika perilaku, kebiasaan, atau perbuatan tertentu itu dilakukan oleh orang yang berkehendak baik atau jahat.
Agar kebiasaan cangkruk menjadi perilaku konstruktif bagi masyarakat kita, problem mendasar yang masih tetap perlu dipikirkan adalah bagaimana membuat masyarakat kita semakin cerdas, dijauhkan dari kebohongan-kebohongan publik, dan dibuka wawasannya terhadap informasi-informasi yang mendidik dan mencerdaskan.
Sudah barang tentu ini adalah pekerjaan besar yang menjadi tanggung jawab pelaku-pelaku kebijakan publik, termasuk para pekerja media yang turut bertanggung jawab memberikan informasi yang benar, jujur, dan mencerdaskan masyarakat penontonnya.
Perlu untuk senantiasa direfleksikan bagaimana kualitas cangkruk kita selama ini. Sudahkah turut berperan dalam obrolan-obrolan yang cerdas, kritis, adil, dan jujur. Sudahkah berperan dalam mengembangkan budaya sehat berwacana. Maka sebaiknya perlu bagi setiap orang yang bekerja bagi kepentingan publik untuk senantiasa proaktif dalam mengembangkan “ruang-ruang” cangkruk sebagai sarana berwacana yang sehat, pembelajaran masyarakat yang konstruktif, dan media yang jujur dan adil bagi siapa saja.
You might also like
More from Cerapan
Silent Treatment dalam Pertemanan: Saat Diam Menjadi Senjata
Silent Treatment dalam Pertemanan Dalam pertemanan, komunikasi adalah kunci utama untuk menjaga hubungan tetap sehat dan harmonis. Namun, apa jadinya jika …
Time Management Matrix: Strategi Efektif Mengelola Waktu dan Prioritas
Time Management Matrix: Strategi Efektif Mengelola Waktu dan Prioritas Dalam kehidupan yang semakin sibuk, kemampuan untuk mengelola waktu dengan baik menjadi …
Kebutuhan Tidak Penting tapi Mendesak
Kebutuhan Tidak Penting tapi Mendesak Dalam kehidupan modern yang serba cepat dan dinamis, sering kali kita dihadapkan pada berbagai macam kebutuhan. …