Apa yang bisa saya gambarkan tentang Columbus adalah: film ini manis.
Film dengan pengambilan kamera yang kebanyakan statis namun amat memanjakan penontonnya dengan nilai estetika sebuah bangunan tentang dunia arsitektur, pemandangan alam, percakapan-percakapan, sampai pemikiran-pemikiran yang dialami para tokohnya.
Entah kenapa saya selalu senang dengan film yang sederhana sekaligus rumit. Sesederhana film yang hanya diisi dengan percakapan-percakapan receh sampai intelek dengan durasi yang tidak sebentar, sampai serumit emosi serta gejolak pemikiran manusia dengan sesama manusia dan lingkungan sekitarnya.
Sebuah film yang minim pemain tetapi para tokohnya tahu betul dengan porsi perannya masing-masing. Setelah nonton film ini saya jadi kagum dengan akting Haley Lu Richardson (pemeran Cassandra/Casey di film ini).
Bagi orang seawam saya, saya merasa dunia arsitektur itu dunia yang hanya diisi oleh orang dengan penuh kreatifitas dan imajinasi di dalamnya. Bukan jenis imajinasi ketika saya membaca cerita-cerita fiksi, tetapi lebih kepada imajinasi tentang bentuk sebuah ruang dan bangunan. Saya juga jadi ingat Ariadne, mahasiswi cerdas jurusan arsitektur yang dipilih Cobb untuk menjadi pencipta bangunan dalam lapisan mimpi di film “Inception” (2010) yang berkali-kali saya tonton namun sampai sekarang belum merasa bosan dibuatnya.
Filmnya menceritakan tentang Casey (Haley Lu Richardson), seorang pustakawan yang kagum dengan dunia arsitektur dan Jin (John Cho), pria Korea yang harus terbang ke Indiana, Columbus untuk mengurus Ayahnya yang sedang koma. Ayah Jin adalah seorang arsitek terkenal sekaligus pembicara yang sedang melakukan tur.
Hubungan Casey dan Jin terjalin ketika Casey menawarkan rokok di sebuah taman dan Jin yang terlihat murung menerima tawarannya. Percakapan pun terjadi secara repetitif dengan tempat yang berbeda-beda. Uniknya, Casey selalu menunjukkan bangunan-bangunan kesukaannya setiap kali mereka bertemu dan bercakap. Yang membuat saya kagum juga adalah Jin. Walaupun bukan pengagum arsitektur, ia pendengar yang baik. Mereka membahas Eero dan Eliel Saarinen, James Polshek sampai Deborah Berke di depan bangunan yang mereka ciptakan.
Bagian percakapan yang saya suka adalah antara Casey dan teman sesama pustakawannya. Temannya berkata dengan sangat antusias tentang kritik arti minat dan perhatian terhadap sesuatu dengan analogi penggemar buku dan penggemar video game. Sebuah kritik tentang apa itu perhatian dan apa itu minat dan apa perbedaannya. Sebuah krisis perhatian dan krisis minat sampai berakhir pada pertanyaan “Apakah kita kehilangan minat kepada hal-hal yang penting? Bagaimana dengan kehidupan sehari-hari? Apa kita kehilangan minat terhadapnya”?
“Columbus” sama sekali bukan jenis film yang membuat penontonnya misuh-misuh melainkan jenis film yang lebih menuntun kita kepada hal-hal estetis tentang manusia dan tempat sekitarnya dengan sudut pandang masing-masing.
You might also like
More from Tontonan
Sinopsis Sokola Rimba
Sinopsis Sokola Rimba Film "Sokola Rimba" merupakan adaptasi dari kisah nyata seorang wanita bernama Butet Manurung yang didedikasikan untuk memberikan pendidikan …
The Commuter: Plot Twist dan Endingnya
The Commuter: Plot Twist dan Endingnya "The Commuter," dibintangi oleh Liam Neeson, membawa penonton dalam perjalanan menegangkan penuh kejutan. Michael MacCauley, …
Analisis Ending Film The Commuter
Analisis Ending Film The Commuter "The Commuter," sebuah film thriller yang dibintangi oleh Liam Neeson, membawa penonton dalam perjalanan yang penuh …