Sebuah taxi biru segera melaju, aku meninggalkan bandar udara Sultan Hasanudin Makassar menuju daerah kelurahan Antang Kecamatan Manggala, kota Makassar, Sulawesi Selatan. Hari itu begitu gelap kurasa, dari balik jendela kutatap rintik hujan dengan sendu. Tak terasa air mataku terus menetes.
Taxi yang kutumpang sudah berhenti di tempat yang aku tuju. Aku keluar dari taxi dan membawa tas ransel. Aku berjalan menyusuri gang kecil. Sekitar 50 meter aku masuk ke sebuah rumah yang cukup besar, di terasnya tampak sepi. Pintu dibuka oleh seorang wanita paruh baya. Aku dipersilakan masuk. Sejurus kemudian aku melihat sebuah potret terpajang di dinding ruang tamu. Aku berdiri dihadapannya. Tampak jelas foto seorang lelaki berpakaian putih abu-abu, dengan senyum di lesung pipitnya. Perlahan aku kembali mengingat masa itu.
***
Dia salah satu sahabat karibku, sejak kami pertama masuk kuliah kami semua satu angkatan dekat dengannya. Dia anak yang baik, ramah, tidak sombong dan tidak pernah marah meski kerap di-bully. Sahabatku yang satu ini punya satu keunikan, dia sangat senang di-bully dan bangga jika ada orang yang bully. Suatu ketika dia meminta kami untuk mem-bully-nya. Sebuah kamera amatir dari gawai murahan merekam kejadian itu. Dalam adegan itu seolah-olah dia adalah mahasiswa baru dan kami sahabatnya berperan sebagai senior yang sudah punya kuasa. Kami maki, mukanya kami coret, rambutnya dijambak, dan sekali-sekali tubuhnya dipukul dengan botol air mineral. Kejadian itu sama sekali tidak menyakiti dia, besok dan seterusnya dia minta lagi untuk di-bully. Memang aneh sih, tapi dia senang dan kami yang bully pun turut senang.
Suatu hari di awal semester aku pernah satu kost dengannya. Kejadian itu sangat pahit, namun kini menjadi kenangan manis yang sangat berharga. Maklum anak muda, jika tak nakal maka tak ada cerita yang akan diwariskan, begitu katanya. Entahlah aku pun tak yakin. Aku, Nesya, Gingin, dan dia satu kos dengan kamar yang berbeda. Malam itu kejadian bedebah yang mencoreng nama kami semua terjadi. Pasalnya, teman-teman di luar kos ini menumpang menginap dan malam harinya mereka minum-minuman keras. Rusuh sudah pasti, ketika semua sudah pada mabuk riuh sekali di kosan ini, muntah di mana-mana. Tidak terkecuali kamarku juga terkena imbas muntah orang-orang yang pada mabuk itu. Keparat, pikirku. Malam itu aku sibuk mengurus mereka yang mabuk sambil membersihkan muntah yang berserekan di kamarku. Malam itu aku tidak bisa tidur, karena kamarku benar-benar kotor dan mereka yang mabuk terus meracau sepanjang malam. Aku takut sekali malam itu, takut besok akan kena murka Oma si pemilik kos. Kami tinggal di kos ini baru dua minggu, ya dua minggu saja. Benar saja, esok harinya kami semua dipanggil oma dan diusir secara kasar oleh orang tua yang sudah bau tanah ini.
Warga sepanjang jalan Kalipasir yang terletak di Jakarta Pusat ini akhirnya mengetahui kalau kami telah berbuat rusuh semalam. Ibu-ibu di pinggir jalan mencibir dan bergosip ria. Jelas sekali aku mendengar mereka membicarakan kami. Apalah daya, siapa yang makan nangka siapa yang kena getahnya. Aku tidak marah, aku coba untuk menikmati saja. Untungnya kami punya teman angkatan yang solid, mereka siap siaga membantu mengangkut semua barang untuk diungsikan dan memberikan tempat tinggal. Meksi begitu sempat aku dua hari tidur di taman Suropati dan mandi di kampus.
Dia, aku kenal sekali. Dia tidak pernah marah se-ekstrim apapun orang mencemoohnya. Dia, orang yang selalu tersenyum sepanjang hari, dua lesung pipitnya menambah manis senyum itu. Dia, tidak pernah punya musuh sejauh aku kenal dengannya. Dia, anak yang tidak pernah sakit serius kecuali sakit gigi yang hampir tiap bulan melandanya. Tak heran, jika ia punya banyak teman dan disenangi banyak orang.
Hari itu, satu minggu menjelang semester empat. Kami semua satu angkatan sudah mempersiapkan segala kebutuhan untuk ujian. Kami harus mempersiapan kostum, set panggung, dan hapalan naskah monolog hampir 5000 kata. Ya, naskah itu kami hapal dan kami perankan sendiri di atas panggung. Proses menghapal dan mendalami karakter naskah sudah kami tekuni sejak enam bulan terakhir.
Dia, adalah salah satu mahasiswa yang hapalan naskahnya paling baik. Ketika teman-teman yang lain belum hapal dan ketakutan menghadapi ujian ini, dia tampak lebih santai dan yakin. Dia sudah siap segalanya, dan sudah mempersiapkan kostum yang nanti akan dipakai saat ujian dengan naskah The Black Cat karya Edgar Allan Poe. Namun, kesiapan itu tidak serta merta membuatnya akan turut berdiri di atas panggung yang megah dengan setting dan lampunya. Seminggu sebelum tampil, ia pergi secara diam-diam. Ia pulang ke Makassar dan memutuskan untuk berhenti kuliah. Kami semua sangat amat terpukul. Keputusan tanpa ada pemberitahuan ini seolah-olah membuat kami bukan sahabatnya. Dia hanya meninggalkan sebuah pesan agar kami semua harus tetap bertahan dan menyelesaikan kuliah, Dia juga menitipkan sepasang kostum ke salah satu sahabat kami yang belum punya kostum untuk dipakai saat ujian nanti “Gel, pakai kostum gue. Biar gue bangga. Setidaknya meskipun gue tidak di atas panggung itu, kostum gue telah mewakili gue dan ikut menyelesaikan ujian gue.” Begitu pesan singkatnya di sms.
Rasanya hari itu ingin kami semua lari ke bandara dan mengejar untuk menahan dia agar jangan berhenti kuliah, namun pesan tersebut terlambat kami terima, dia sudah berada di bandara Soekarno Hatta ketika kami menerima pesan pendek itu. Kami tidak diberi alasaan yang jelas atas keputusannya.
Beberapa tahun berlalu, dia tetap menjadi sahabat sekaligus keluarga kami semua. Meski sudah tidak kuliah bersama kami masih sering komunikasi dan masih sempat bertemu beberapa kali. Hingga pada akhir 2015, setelah beberapa bulan kami tidak pernah bertemu, dia mengirim pesan di grup Whatsapp bahwa dia akan ke Jakarta dan meminta agar bisa bertemu kami semua.
“Guys, ketemu donk. Gue mau ke Jakarta ni,” tulisnya.
“Ayolah. Tapi kapan, yak?” Jawab teman-teman di grup.
“Iya, soalnya kan pada kerja,” jawab yang lain.
“Tanggal segitu gue liburan. Libur panjang,” jawabku
“Iya, kesempatan libur itu,” sahut yang lain. Semua seolah-olah sibuk dengan urusannya masing-masing.
“Ah elah, di grup ini sampai kiamat juga gak bakal ketemu,” ketusnya, karena beberapa kali janji ketemu kami tidak pernah bisa dan hanya sekedar wacana doang. Angkatan kami memang terkenal susah untuk kumpul sejak lulus kuliah.
Memang saat itu waktu tidak tepat, hari kedatangannya ke Jakarta adalah hari libur panjang di mana kami yang sudah bekerja berkesempatan untuk libur dan pulang kampung. Dia tetap ke Jakarta, menemui beberapa orang teman, senior dan junior kampus yang masih tersisa di Jakarta.
Menjelang tanggal 1 Januari 2016, sebuah postingan di media sosial Path miliknya, tampak gambar seorang anak memanjat tangga yang terhubung ke awan, dengan sebuah tulisan pada gambar “apa mimpimu di tahun ini?” Pada caption gambar tersebut ia menulis “Gue mau masuk surga”. Tak ayal, caption ini menjadi bahan olokan teman-teman di Path, satu orang berkomentar “Mati dong lu, cong?” dia membalasnya “Bodo amat, yang penting masuk surga.”
Sebulan kemudian dapat kabar mengejutkan kalau dia masuk Rumah Sakit dan sudah dalam keadaan koma. Dia didiagnosa menderita penyakit miningitis. Dua hari sudah ia koma, namun belum ada tanda-tanda ia akan sadar. Kami teman angkatannya berkumpul dan berdoa bersama agar penyakitnya diangkat. Inilah pertama kali kami bisa berkumpul kembali, meski saat itu dia tidak ikut bersama kami.
Keluarganya di Makassar selalu siap sedia memberi kabar terbaru. Hingga pagi itu, setelah dua hari koma aku mendapatkan sebuah telepon yang mengejutkan dari kakaknya. Aku duduk terdiam, tidak bisa berkata apa-apa. Dia orang yang baik, tak pernah melukai hati orang lain, yang tidak pernah sakit tiba-tiba sakit dan tidak bisa tertolong. Di umurnya yang sangat muda ia harus pergi meninggalkan kami semua selamanya menuju surga-Nya.
Sepanjang perjalanan menuju kantor aku tak mampu menahan tangis. Tidak aku saja tapi kami semua teman angkatannya, serta teman-teman lain yang kenal dengannya. Hari itu kami benar-benar berduka. Kami kehilangan sahabat terbaik, sahabat yang selalu ceria. Hari itu berbagai kabar di medsos memposting berita duka tentang seorang sahabat terbaik, seseorang sahabat dengan lesung pipitnya yang manis pergi untuk selamanya.
Syahdu
Kenangan itu berlalu
Bagai violin luka, ia menggesekkan dawainya
Di antara pepohonan kering, ia bagai udara sejuk yang menerpa
Mengalun indah menyisipkan kenangan yang tak mungkin hilang
Hai Kau
Lesung pipit membekas di wajahmu
Kau, begitu sempurna
Bayangmu tak lekang oleh masa
Kau sahabat terbaik kami semua
Kau sahabat terbaik alam semesta
Kau tidak hanya pendaki gunung sejati
Tapi kau juga sahabat setia sampai mati
ALIF…
Apa kabarmu di surga teman?
Kami semua rindu kamu.
Apa kau baik-baik saja di sana?
Kami semua mengingatmu
Apa kau lihat kami?
Kami selalu menantimu
Meski kami tahu kau tak kan pernah kembali
ALIF….
Salam rindu teruntukmu yang selalu tersenyum
Kau orang yang tidak pernah mau menyusahkan orang lain
Bahkan ketika ajalmu menjemput, kau tak ingin satu orangpun tahu kalau kau sakit
ALIF…
Hari ini aku berdiri di rumahmu. Dulu kau sering memintaku untuk main ke rumahmu di Makassar tapi tidak pernah jadi, namun kini setelah kau tiada aku kerap main ke rumah ini. Keluargamu baik sekali Alif, aku merasa nyaman dengan mereka. Kau sangat beruntung punya orang tua, keluarga seperti mereka. Aku merasa mereka seperti keluargaku sendiri. Malam ini aku menumpang tidur di kamarmu sahabat, jaga aku dalam mimpiku. Esok hari aku akan menjengukmu di pemakamanmu. Selamat malam Alif. Alfatiha….
You might also like
More from Fiksi
Surat untuk Mantan
Lara, Ini mungkin adalah surat yang kesekian kali kutulis, tapi kali ini rasanya berbeda. Seperti ikan besar yang terjerat di jaring …
5 Cerpen Cinta yang Akan Bikin Kamu Terbawa Perasaan
5 Cerpen Cinta yang Akan Bikin Kamu Terbawa Perasaan Hey Sobat Semay, siap untuk terbawa oleh ombak perasaan yang mendalam? Ini …
1 Comment
Masya Allah . Sedih banget bang . Ija jadi ingat waktu ngantar bg kerumah itu . Haha . Ija jadi nangis bacanya . Apalagi pas di puisi .😥😥
Al Fatihah untuk kak Alif .