Jika tidak salah ingat saya diperkenalkan dengan Explosions In The Sky circa 2009 oleh seorang kawan. Band ini berasal dari Austin dan Midland, Texas, Amerika Serikat, digawangi oleh Mark Smith, Michael James, Munaf Rayani, dan Chris Hrasky. Kawan saya bilang, musiknya seperti Sigur Rós, yang dua tahun sebelumnya sering saya dengarkan, lazim disebut post-rock, musik instrumental, nir-lirik, meskipun kala itu saya kurang mengerti terminologi tersebut. Yang jelas musik-musik seperti ini sangat nyaman didengarkan di sebuah kota yang memiliki lanskap hutan dan pegunungan. Perbedaannya, Sigur Rós kadang menggunakan “Vonlenska” atau “Hopelandic”, sebuah bentuk vokal non-literal yang tidak memiliki arti tetapi difokuskan pada tekstur suara, yang menambah unsur misterius dan universal ke musik mereka.
BACA JUGA: Pertunjukan Maha Ajaib Konser Abadi Mono
Tak perlu waktu lama bagi saya untuk kecanduan album-album Explosions In The Sky. Mereka segera menjadi teman akrab yang setia, menemani secangkir kopi untuk menjalani hari-hari dengan penuh kemungkinan baru. Terutama untuk album “Those Who Tell the Truth Shall Die, Those Who Tell the Truth Shall Live Forever”, “All of a Sudden I Miss Everyone” dan “The Earth Is Not a Cold Dead Place.”
Memahami Kelahiran Musik Explosions In The Sky
Bisa diasumsikan sebagian besar penggemar Explosions In The Sky di Indonesia berasal dari Jawa Barat, sebut saja Bandung, Kuningan, Majalengka, Cianjur, Ciamis, Sukabumi, dan sekitarnya. Bandung, sejauh yang saya tahu memiliki “komunitas” penggemar post-rock dan menjadi sentral bertemunya sesama penggemar dari berbagai kota priangan.
Ini tentu bukan tanpa sebab, lanskap alam dan pegunungan yang menyejukkan membuat para penggemar yang tinggal di wilayah ini semakin dramatis nan teatrikal kala mendengarkannya. Barangkali kita akan sedikit paham kenapa musik Sigur Rós lahir demikian, lanskap dramatis alam Islandia, gletser, sungai, laut, gunung berapi, dan matahari tengah malam di Islandia semua memengaruhi estetika musik Sigur Rós. Alam yang begitu mempesona dan terkadang keras dari Islandia menciptakan latar belakang yang kuat untuk musik etereal dan epik mereka.
Sementara saya merenungkan apakah lanskap Texas memberikan nuansa yang sama dengan kota-kota yang saya kenal, saya mulai mengingat bagaimana album-album Explosions In The Sky dengan cepat memikat saya. Terdapat beberapa faktor yang mungkin mempengaruhi lahirnya musik dari Texas, khususnya dari Austin:
- Lanskap Texas: Texas memiliki lanskap yang luas dan beragam. Dari padang pasir yang terpapar matahari hingga hutan pinus yang teduh, perasaan “kebesaran” dan “kedalaman” dari alam Texas dapat mempengaruhi musik yang diproduksi oleh para musisi di sana. Meski Bandung, Kuningan dan sekitarnya memiliki lanskap yang berbeda (pegunungan, lembah, dan hutan tropis), keduanya membangkitkan perasaan introspeksi yang serupa.
- Kota Austin: Dikenal sebagai “Ibu Kota Musik Dunia”, Austin memiliki budaya musik yang sangat kaya. Dari festival musik seperti SXSW hingga puluhan tempat live music, budaya ini mendukung eksplorasi dan inovasi musikal, memungkinkan band seperti Explosions in the Sky untuk tumbuh dan berevolusi.
- Tradisi Musik Texas: Sementara Texas dikenal dengan country dan blues, ada tradisi musik eksperimental di negara bagian ini. Kombinasi dari berbagai genre musik ini bisa mempengaruhi band untuk menciptakan suara yang unik dan berbeda.
Bagaimana, terdengar masuk akal kah?
Pecahnya Ledakkan Di Langit
Sebagai pendengar saya tentu memiliki kebebasan untuk menginterpretasikan lagu-lagu mereka hanya dengan membaca judul, misal; Your Hand In Mine, ini adalah cinta yang patah karena pujaan hati tak sesuai ekspektasi, The Birth and Death of the Day; lahirnya harapan yang juga hancur di hari yang sama, atau First Breath After Coma; tentang hidup yang meletihkan, berjalan dalam gelap, namun ada setitik cahaya di lorong sana yang memberi kita harap untuk menghadap dunia yang biadab. Atau apapun tergantung mood pendengar saat itu. Karenanya, secara tidak sadar pada satu masa, setiap hari sebelum memejamkan mata, saya hampir pasti mendengarkan album-album mereka hingga saya tertidur lelap.
Sementara album-album mereka menjadi pengantar tidur saya setiap malam, pengaruh mereka tumbuh jauh lebih dalam. Saya mungkin tidak pernah mendeklarasikan diri sebagai penggemar garis keras, tapi tanpa sadar, lagu-lagu mereka telah menjadi bagian integral dari perjalanan kehidupan saya, mendorong saya untuk mengambil langkah berikutnya: menghadiri konser mereka.
Pertunjukkan pun dimulai…
Para penonton perlahan mulai memadati panggung yang tak begitu besar. Meski demikian, suasana menjadi cukup intens. Kami semua bersemangat untuk menyaksikan pertunjukkan ajaib di depan mata. Dari kanan dan kiri, terdengar obrolan dalam bahasa Sunda. Munaf Rayani, sang gitaris menghampiri microphone dan berkata dengan Bahasa Indonesia yang a la kadarnya, “Halo kami dari ledakkan di langit…” yang disambut tawa para penonton. Lagu pun dibuka dengan First Breath After Coma, sontak para penonton pun menjerit haru karena penantian 13 tahun, 15 tahun, bahkan ada yang 20 tahun hari itu terbayar lunas. Kami semua larut dalam petikkan gitar Ajaib Munaf, seketika hanyut dalam pengalaman batin masing-masing. Ada kebesaran yang indah di sana namun tak bernama, yang mungkin bermakna.
Setelah lagu tersebut berakhir teriakkan penonton pun menggema, yang kemudian berlanjut ke lagu ke-2, intro terdengar amat megah untuk band minimalis seperti mereka; The Birth and Death of the Day. Lagu ini tentu saja sudah kami semua akrabi, diambil dari album All of a Sudden I Miss Everyone, yang rilis pada 2007. Mereka seolah paham jika pendengar di Indonesia sesungguhnya banyak akrab dengan album-album lama. Lagi-lagi kami larut, hanyut, dan mengerucut menjadi kilasan kisah.
Selanjutnya lagu Greet Death, cukup intens, diawali petikkan aneh nan ganjil yang kemudian disusul gebukkan drum yang kencang dan petikkan melodius membuat komposisi tersebut terasa sublim dengan lapisan distorsi mengaum, yang pelan-pelan menurun tensinya lalu memasuki ruang-ruang transenden. Begitu dramatis, sungguh dramatis, benar-benar dramatis.
Gemuruh teriakkan penonton menggema ketika lagu berakhir.
Kemudian lagu ke-4, lagu yang saya kira mudah diterima oleh orang yang baru mendengarkannya sekali. Petikkan gitar yang manis, melodi yang membius, dan dentuman drum yang menggema, semuanya menjalin harmoni, yang pada akhirnya menjadi kepingan memori dari masing-masing kami, Your Hand In Mine, betapa tidak lagu ini dirilis pada 2003, 20 tahun lalu, dalam rentang waktu tersebut lagu ini menjadi anthem setiap momen para individu. Syahdu, merdu, merindu.
Sebagian penonton terharu dan menangis ketika lagu ini berkumandang di langit Jakarta yang sombong.
Lalu disambung dengan The Fight berasal dari album End yang barus dirilis September 2023 lalu. Album ini memang memiliki nuansa yang jauh berbeda dari album lama mereka, lagu The Fight, misalnya, memiliki intensitas tinggi, agak distortif, dan eksperimental. Kami diberi nuansa klaustrofobik di awal, dan sepanjang lagu raungan panjang terdengar, kita memang perlu keluar dari bahaya laten ruang dangkal dan sempit di tahun politik.
Selanjutnya, lagu ke-6, lagi-lagi diambil dari album lama mereka The Earth Is Not a Cold Dead Place, sebuah magnum opus terdengar; the only moment we were alone. Seolah mereka tahu apa yang ingin kami dengar dan saksikan. Di awal terdengar gitar berdetak pelan, kami memasukki dunia yang mereka ciptakan sekaligus juga dunia yang kami ciptakan. Dosis alunan musik meningkat dengan kresendo yang halus namun kuat, mirip dengan pasir ombak yang berdatangan satu per satu menuju tepian, kemudian dibawanya kembali pasir tersebut oleh sang ombak.
Tanpa lirik lagu ini berbicara, bercakap-cakap tanpa suara. Dinamika antara tenang dan berapi-api, hening dan berisik, menggambarkan kontras emosi kami semua, manusia — dari kedamaian, kesepian, harapan, hingga euforia. Lagu ini menjadi penutup pertunjukkan maha dahsyat malam itu. Yang ajaibnya gerimis turun sepanjang lagu, hanya di lagu itu dan kami semua larut ke dalam ledakkan di langit.
Kami sepakat bahwa kami semua pada malam itu telah “naik haji”.
=====================================================
Explosions In The Sky Soundrenaline 2023 Setlist:
- First Breath After Coma
- The Birth and Death of the Day
- Greet Death
- Your Hand in Mine
- The Fight
- The Only Moment We Were Alone