Bagi para perokok aktif, tak punya korek sama seperti bara tanpa ada api atau bermain sepakbola tanpa bola. Kalau di kantung celana tersimpan berbungkus-bungkus rokok tanpa didampingi korek, itu sama saja dengan mati, alias kerepotan sendiri.
Jika kita berbicara korek api dari sudut pandang perokok, tentu alat yang juga dikenal dengan nama ‘pemantik’ ini tentu sangatlah esensial posisinya. Tak heran bahkan, drama saling curi-mencuri atau rebutan korek api antar sesama karib perokok sudah jadi episode paradigma yang paling, paling dramatis.
Di balik realitas itu jelas memiliki sebab. Kembali lagi ke posisi korek api yang begitu penting. Ya, di samping banyaknya stigma “si jago merah” yang melekat, elemen api sendiri memang sudah memiliki tempat yang krusial di kehidupan kita sehari-hari—setidaknya sampai sementara ini.
Suatu waktu, salah seorang teman saya tidak sengaja mengeluarkan ide yang saya rasa cukup menarik ketika kami sedang memperebutkan sebuah korek api antara siapa milik siapa. Perdebatan ihwal ciri korek penanda serta sengketa hak milik pun seolah tidak bisa terhindarkan. Karena saling menglaim kian sengit, sontak, teman saya itu nyeletuk: “perlu aku kasih finger-print supaya korek aku ini ngggak kamu aku-akuin, Har?” Mendengar itu, tiba-tiba saja perhatian saya justru teralihkan dari perebutan sebuah korek api tadi. Meski secara spontan, celetukan itu bisa disebut sebagai titik yang tidak menutup kemungkinan untuk diadopsi oleh sang pemantik api.
Bicara soal fitur sensor ini, jelas; kental berdekatan dengan apa yang namanya sidik jari. Prioritas utama dari fungsinya adalah otorisasi yang mempermudah kita dalam proses otentikasi si pengakses, karena masih belum ada satupun sidik jari manusia yang sama di dunia ini. Pendek kata, anggap saja finger-print adalah mesin Anjungan Tunai Mandiri (ATM), sementara sidik jari manusia adalah kartu ATM sebagai tanda hak aksesnya—sebagai contoh.
Menurut suatu wacana; 1:64 Milyar kemungkinan untuk 2 orang memiliki sidik jari yang sama. Bahkan, orang-orang kembar identik pun sama sekali memiliki sidik jari yang berbeda walaupun secara DNA mereka sama. Hitungan populasi di bumi juga turut menunjukan kemustahilan bila sidik jari manusia punya kembaran. Berdasarkan data dari PBB tahun 2017, populasi total di planet tempat anda membaca tulisan ini, berjumlah 7,6 milyar. Angka itu masih jauh dengan dugaan tentang sidik jari akan memiliki kembaran jika bumi memilik 64 milyar penghuni. Bahkan, dilansir dari Tempo, PBB memprediksi di tahun 2050 bumi menampung 9,8 miliar. Dan, hanya 11,2 miliar pada tahun 2100. Bayangkan, sampai berapa lama kita bakalan nemuin sidik jari yang memiliki “saudara kembar” dalam sejarah peradaban?
Setelah berpikir ulang, korek api, tetaplah korek api. Yang identik sebagai gawai portable yang memberikan kita nyala api. Korek api ber-finger print bisa-bisa saja mengentaskan sengketa perebutan korek api dalam realitas sosial yang masih (sering) terjadi. Bahkan, persengketaan kepemilikan-kepemilikan lainnya. Seperti sebelumnya, sampai saat ini belum ada pola sidik jari yang sama plek, bukan?
Cuma sayangnya, melihat kurun eksistensinya, finger-print melalui sisi fungsi, jelas sudah rentang teknologi ini masih bermanuver pada prioritas persoalan yang diincarnya sedari awal hingga kini, yaitu otorisasi akses-penggunaan. Tak ubahnya, sensor sidik jari ini hanyalah instrumen tambahan dalam koridor sekuritas berbasis teknologi. Semacam micin penyedap kadar kecanggihan suatu gawai. Smartphone misalnya.
Akhir-akhir ini, gawai pintar yang masih menjadi pergulatan kiblat perkembangan teknologi, secara gencar mengadopsi fitur ini. Mulai dari yang dulunya berfokus pada segmen high-profile, hingga kini segmen murah pun sudah berani mengadopsi. Akhirnya, hampir semua kalangan bisa mencicipi seperti apa finger-print tersebut. Kepenasaran publik dengan fitur ini tak lagi dapat dijadikan bahan untuk terlalu jumawa, karena titik klimaksnya sendiri; sudah hampir habis.
Sebagaimana level keamanan di suatu tempat, pasti ada saja celah kelemahannya. Gaung di awal kelahirannya memang disambut antusias, namun seiring putaran waktu, kebaharuan dan inovasi tetap saja akan mengendap dan tergantikan. Mungkin karena terdapat celah kelemahan—apapun itu bisa saja dipalsukan, termasuk sidik jari sekalipun—atau terhantam oleh popularitas “si artis pendatang baru.”
Kembali pada celotehan teman saya tadi, korek api bisa saja dikenakan price tag lebih dari biasanya karena finger-print bertengger menjadi bagian korek api itu sendiri. Sehingga, ide tersebut dapat berpotensi mengurangi jumlah persengkataan korek yang selama ini terjadi di muka bumi, meskipun terdapat kemungkinan harga yang akan melebihi “eksemplar” korek api konvensional di pasaran saat ini.
Lalu bagaimana dengan permasalahan pencurian atau kehilangan korek api?
Nah, sebagai tambahan untuk setidaknya menutup celah tersebut, saya mempunya ide yang kurang lebih cukup solutif. Sebiji korek api ditambahkan fitur finger-print, sejumput program pelacak jejak macam GPS, dan terakhir, ditambahkan gembok anti-maling supaya amannya itu nggak (kelihatan) nanggung. Dan, baiknya bila ketiga fitur itu dijual sepaket dan tidak secara terpisah. Tidak perlu juga dibarengi dengan manual book nan ruwet dalam kotak mobil Tamiya.
More from Rehat
Kelemahan Tali Pocong: Simpul yang Gampang Lolos?
Kelemahan Tali Pocong: Simpul yang Gampang Lolos? Tali pocong, sering kali dianggap sebagai senjata pamungkas yang bikin bulu kuduk merinding. Tapi …
Kelemahan Pocong: Menguak Sisi Lemah Si Pembalut Keliling
Kelemahan Pocong: Menguak Sisi Lemah Si Pembalut Keliling Pocong, sosok ikonik dalam mitologi horor Indonesia, kerap digambarkan sebagai makhluk yang melompat-lompat …