Orang itu laki-laki, dia hanya mondar-mandir dengan gawai di tangannya. Ketika gawainya itu mengarah ke wajahnya tampak jelas siapa dia. Aku kenal dengan wajah itu. Dia adalah orang yang selama ini benci denganku, dia Jeremy pacarnya Ichi. Aku langsung menduga bahwa Jeremy lah dalang dibalik teror selama ini. Aku tahu dia orang yang sangat cemburu, termasuk dia juga cemburu dengan pak Arman.
Pelan-pelan aku meraba-raba mencari benda keras untuk dijadikan senjata. Akhirnya aku memegang sebuah batu berukuran cukup besar dan jika dipukul ke bagian kepala efeknya mungkin bisa mati. Dalam hati, aku juga takut kalau Jeremy mati karena dipukul aku bisa dalam bahaya besar. Berarti aku harus pukul bagian tertentu seperti bahu atau bagian kaki, agar dia tetap hidup tapi mengalami luka sementara.
Jeremy dalam keadaan lengah, dari belakang aku hantam bahunya dengan batu. Kakinya kutendang sekeras-kerasnya, hingga ia tersungkur ke lantai. Tangannya aku lipat kebelakang, lehernya aku cekek.
“Aduh, sakit,” Jeremy mengerang kesakitan.
“Kampret di mana Ichi?” Tanyaku.
“Bangsat, lu yang kampret. Justru gue ke sini mau cari Ichi, tolol.” terangnya geram. “Mana Ichi?!”
“Eh Tolol, kalau gue tahu Ichi di mana ngapain gue nanya sama lu, bangsat,” balasku geram. “Kok lu bisa ke sini?”
“Ichi kirim pesan WA ke gue. Pesannya aneh, gue kirim pesan balik dan gue telepon gak di jawab. Seinget gue hari ini jadwal latihannya, makanya gue ke sini, monyet.” Tangan Jeremy aku lepas dan aku biarkan ia duduk. Aku jadi tambah bingung.
“Terakhir lu ketemu Ichi kapan?” Tanya Jeremy ketus.
“Sekitar sejam yang lalu.” Aku menceritakan kronologis yang terjadi padaku dan Ichi. Aku juga menjelaskan catatan yang aku temui di tas Ichi. Jeremy membuka catatan itu dan membacanya dengan bantuan dari cahaya yang berasal dari gawainya.
Jeremy adalah alumni jurusan musik dengan mayor gitar. Musikalitasnya tentang musik sudah tidak diragukan lagi, termasuk pengetahuannya dibidang musik.
“Ded, lu tahu tentang Gloomy Sunday?” Tanya Jeremy serius, sambil mengelus bahu dan kakinya yang masih terasa sakit.
“Gak tau.”
“Lagu Gloomy Sunday itu sejarahnya diciptakan oleh musisi Hungaria Rezso Seress tahun 30-an. Aslinya lagu ini berjudul Vege a Vilagnak yang artinya dunia sedang berakhir. Kemudian seorang penulis puisi bernama Laszlo Javor menulis liriknya sendiri untuk lagu tersebut dengan judul Szomorú Vasárnap yang artinya Sabtu sedih. Lagu ini pertama kali menggunakan judul Gloomy Sunday saat dinyanyikan dalam bahasa Inggris oleh Hal Kemp tahun 1936, dengan lirik yang ditulis oleh M. Lewis. Baru tahun 1941 Gloomy Sunday jadi populer di negara-negara berbahasa Inggris setelah dinyanyikan oleh Billie Holiday. Di era 30-40an, sejumlah media massa melaporkan setidaknya ada 19 kasus bunuh diri yang terjadi di Hungaria dan Amerika serikat terkait lagu Gloomy Sunday tersebut. Diduga lagu tersebut mengarahkan pendengarnya untuk bunuh diri. Hingga saat ini tercatat sudah lebih 200 orang bunuh diri setelah mendengarkan lagu ini. BBC sempat memboikot lagu ini dengan alasan menjatuhkan semangat. Larangan tersebut berlaku hingga 66 tahun dan baru pada tahun 2002 BBC mencabutnya. Dan entah berhubungan atau tidak Rezso Seress yang telah menulis lagu Vege a Vilagnak atau Gloomy Sunday ini ditemukan bunuh diri dari jendela apartemennya tepat sehari setelah ulang tahunnya yang ke-69. Lagu ini mampu menghipnotis orang untuk melakukan bunuh diri.”
“Wah, Kok Ichi berani sih ngambil lagu ini.”
“Sekarang kita harus cari Ichi, dan ngapain juga gue jelasin lagu ini panjang lebar ke lu.”
“Lah, lu sendiri yang mau,” jawabku ketus. “Eh bentar deh, lagu ini ada hubungannya. Gue yakin. soalnya teror sebulan terakhir ini mengambil bagian dari lirik Gloomy Sunday. Teror itu selalu meninggalkan pesan Soon there’ll be candles and prayers that are sad. ”
“Segera akan ada lilin dan doa yang sedih,” jawab jeremy sambil berpikir.
“Wait, kok sepertinya gue tahu sesuatu ya,” pikirku sambil diam sejenak “Gini aja, kita naik ke lantai 2. Lu naik dari gedung tari dan gue naik dari gedung musik. Kita ketemu di Jembatan koridor lantai 2,” saranku.
“Oke.” Jeremy segera bersiap dan mengarahkan lampu ponselnya ke jalan.
“Eh, jangan deh. Kan gue gak ada senter. Gak bisa lihat gue.”
“Ah elah. Ya udah barengan aja kita. Nih lu yang pegang HP gue.” Jeremy menyodorkan gawainya kepadaku. Ia berjalan dengan kakinya yang masih sedikit pincang karena tadi aku tendang.
Kami berdua naik ke lantai 2, aku mengarahkan Jeremy untuk menuju tong sampah yang terletak di pojok koridor. Aku bongkar tong sampah itu untuk mencari bungkusan yang tadi aku buang, namun aku tidak menemukan apa-apa. Sepertinya bungkusan itu sudah diambil.
Perlahan aku dan Jeremy naik ke lantai 3. Sepanjang koridor lantai 3 tampak sepi. Semua ruangan kami periksa namun hasilnya nihil, begitu juga dengan recital hall. Kami kembali lagi turun ke lantai dasar, dengan wajah bingung dan penasaran.
“Jer, gue yakin Ichi masih di sekitar kampus,” terangku
“Ya tapi di mana?”
“Soon there’ll be candles and prayers that are sad. Apa kita harus berdoa dengan lilin baru Ichi bisa nemu,” ucapku sambil mikir.
“Ah ngaco lu.” Sontak Jeremy.
“Bentar, sepertinya gue inget sesuatu.” Sejenak aku berpikir. “Hm. Lilin dan doa.” Aku hening kembali. “Dulu sebelum kampus ini direnovasi. Di belakang gedung ini ada kantin. Di antara kantin itu ada satu bangunan bertingkat tempat radio kampus. Nah, dulu anak-anak sering buat acara Art For Cure disana, kami semua berdoa di antara gelap dengan cahaya lilin. Doa ini ditujukan untuk teman-teman yang sedang sakit agar penyakitnya diangkat. Setelah itu baru kami mengadakan penggalangan dana”.
“Maksud lu?” Tanya Jeremy
“Kita coba ke sana,” terangku, setengah yakin.
Aku dan Jeremy pergi ke belakang gedung, tempat ini tampak sudah tidak terawat. Banyak puing-puing kayu yang berserakan bekas kantin. Yang tersisa hanya satu bangunan kecil dan sempit, tempat radio kampus. Sayup-sayup seperti ada suara orang tertawa, bahkan sempat terlintas bayangan anak kecil berlari.
Kami berdua sudah berdiri tepat di bangunan bekas radio kampus itu. Pintunya terbuka sedikit. Aku melongok ke atas, dari bawah tampak seberkas cahaya dan sesosok bayangan besar berdiri memegang sesuatu. Musik gloomy sunday menyala…
Sunday is gloomy,
My hours are slumberless,
Dearest the shadows
I live with are numberless
Little white flowers will
never awaken you
Not where the black coach
of sorrow has taken you
Angels have no thought of
ever returning you
Would they be angry
if I thought of joining you
Gloomy Sunday.
“Ded, kira-kira siapa di atas?” Tanya Jeremy.
“Semoga bukan setan,” sambil berdoa komat kamit.
“Kalau ternyata setan?” Tanya Jeremy pelan.
“Kita kabur,” jawabku lebih pelan.
“Terus Ichi?” Tanyanya lagi.
“Biar aja Ichi diambil setan,” jawabku polos.
“Ah, kampret lu.”
“Abis lu kayak Najwa Shihab, kebanyakan nanya,” jawabku kesal.
“Suuuutt, coba dengerin kayaknya ada yang ngomong.” Jeremy mendekatkan telinganya ke pintu.
Terdengar suara orang berbicara di antara musik Gloomy Sunday.
“Dini, kenapa lu datang lagi setelah semua luka itu terkubur. Din, gue sayang sama lu, kenapa lu pergi begitu cepat.”
“Udah kita naik aja!” Tegas Jeremy.
Aku menunggu di luar. Jeremy membuka pintu dan pelan-pelan menaikki anak tangga. Kepala Jeremy sudah mengarah ke lantai dua, pelan-pelan ia membuka pintu di lantai 2. Aku hanya mendengar suara pertengkaran Jeremy dari pintu.
“Hei, siapa lu?” Tanya Jeremy dengan nada berteriak. “Lu apain cewek gue?”
Dengan sigap lelaki di atas sana menutup dan mengunci pintu di lantai dua.
“Jangan mendekat, kalau cewek lu gak mau gue bunuh!” Ancam suara dari atas ruangan itu.
“Mau lu apa?” Tanya Jeremy.
“Lu Diam, dan jadi saksi aja.”
“Lu apain cewek gue!”
“Diaaamm.” Teriak lelaki itu.
“Bangsat, lu macam-macam awas lu ya!”
“Lu bisa diam gak!” Teriak suara dari lantai atas. Kemudian terdengar suara Gloomy Sunday lebih kencang, sepertinya ia menaikan volumenya. Aku mencoba untuk ikut naik ke atas, Jeremy berusaha mendobrak pintu namun pintu itu teramat kokoh dan ancaman lelaki itu membuat kami diam sejenak, karena kalau kami bersikokoh mengahampiri dia mengancam akan membunuh Ichi. Aku mengintip dibalik lobang pintu, aku melihat sesosok lelaki berdiri tepat di depan Ichi. Ichi duduk di kursi dengan posisi tubuh terikat dan mulut dilakban. Di pangkuan Ichi ada sebuah foto perempuan.
Lelaki itu memegang sebilah pisau. Suaranya terdengar jelas dari luar
“Ichi, kenapa sih lu mirip banget dengan pacar gue. Pacar gue yang udah lama pergi, pergi jauh ke surga. Lu tahu, muka lu bikin luka itu kembali lagi. Gue sakit Ichi, gue sakit, dan sakit itu kembali. Lu gak tahu kan bagaimana rasanya kehilangan orang yang lu sayang, orang yang lu cinta. Dia udah janji sama gue untuk sehidup semati, tapi apa dia pergi duluan ninggalin gue sendiri”. Pisau diarahkan ke muka Ichi.
“Tenang aja gue gak akan bunuh lu. Selama dua tahun terakhir ini gue udah ngikutin perkembangan tentang lu.” Ia meraba wajah Ichi dengan pelan. “Hari ini gue hanya minta tolong sama lu, gue butuh jiwa lu untuk membangkitkan arwah pacar gue. Setelah dia hadir gue akan pergi bersama-sama dia dan lu tetap disini.” Sejenak ia terdiam. “Gue sayang sama pacar gue dan setiap gue lihat lu dengan yang lain, Ichi gue merasa Dini telah menghianati gue. Gue paling gak suka ada lelaki yang ganjen sama lu, kayak Pak Arman. Gue juga gak suka sama temen lu Deddy itu. Heran gue, kenapa sih lu bedua deket banget”. Rambut Ichi dia elus. “Dan gue lebih gak suka sama pacar lu yang sok ganteng itu. Lelaki brewok yang gak bersyukur punya pacar kayak lu.”
“Hei kampreett, buka lu kalau berani!” Teriak Jeremy dari luar pintu.
“Sabar Bung, gue gak bakal sakitin Ichi. Gue cuma mau pinjem dia bentar.”
Lelaki itu menyalakan lilin yang melingkar di sekeliling ruangan. Ia membaca doa-doa yang tidak tahu apa maksudnya. Kemudian di hadapan Ichi ia berdiri dengan sebilah pisau di kanannya, pisau itu ia letakkan di lehernya sendiri. Tangan kirinya memegang sebuah foto. Musik Gloomy Sunday ia biarkan menyala mengiringi ritualnya.
Dari lubang pintu tadi aku lihat jelas siapa lelaki itu, ya aku kenal. Aku langsung turun ke bawah mencari sesuatu tapi tidak ada yang bisa aku gunakan. Aku belari keluar meninggalkan Jeremy dan pergi ke gedung musik. Berbekal gawai milik Jeremy yang masih aku pegang, aku naik ke lantai dua dan masuk ke ruang HM. Aku mengeluarkan speaker portable. Kemudian aku berlari lagi ke belakang gedung. Dengan napas yang ngos-ngosan speaker aku bawa naik dan aku letakkan di depan pintu. Jeremy heran melihatku. Aku tak pedulikan pertanyaan Jeremy, karena aku ingat sesuatu setelah melihat siapa lelaki di dalam sana.
Malam itu, malam minggu kelabu. Seorang lelaki ingin melakukan percobaan bunuh diri dengan memanggil roh kekasihnya. Lelaki itu sudah bersiap menggoreskan pisau di lehernya. Jam di ponsel pintar sudah menunjukan pukul 11.50 WIB.
Tanpa pikir panjang aku mencari musik reverse di youtube, kemudian aku sambungkan ke speaker portable, musik menyala dengan volume full. Aku dan Jeremy menutup telinga erat-erat.
Musik reverse ini berupa suara anak kecil yang tertawa cekikikan, suara cempreng, dan suara erangan seperti senandung. Kemudian suara cekikian itu berubah menjadi suara jeritan yang sangat amat melengking, dengan suara yang sangat tinggi hampir mendekati batas ultrasonik. Kemudian suara itu berubah lagi menjadi suara anak kecil yang bersenandung tanpa lirik. Suara anak kecil itu makin keras dan tiba-tiba menjadi suara teve yang bersemut dengan volume sangat tinggi. Setelah suara teve berhenti muncul lagi suara perempuan cekikikan kemudian perempuan itu menangis. Suara-suara itu berpadu sangat bising.
Mendengar musik itu menyala dengan keras sontak lelaki itu kaget dan melepaskan pisaunya. Ia memegang kepalanya, seperti orang sedang menahan sakit kepala.
“Bangsat. Matikan musik itu!” Ia terus mengerang kesakitan.
Aku dan Jeremy berusaha sekuat tenaga mendobrak pintu. Pintu terbuka dan lelaki itu masih merintih kesakitan. Jeremy segera melepaskan ikatan Ichi. Kemudian kami berdua mengikat lelaki itu.
“Ded, matiin musiknya. Jangan sampai kita juga ikutan gila kelamaan dengar musik ini.” Perintah Jeremy. Ichi memeluk Jeremy erat, tampak air matanya berlinang ketakutan. Kami memutuskan untuk tidak melaporkan ke polisi tapi kami mengantarkan lelaki itu ke rumah sakit jiwa. Lelaki itu adalah Robby.
Sejak kedajian itu Ichi memutuskan untuk tidak mengangkat lagu Gloomy Sunday dan Reverse. Ichi mengangkat karya akhirnya dengan judul Fractal. Fractal adalah sebuah istilah yang artinya patah, rusak dan tidak beraturan.
***
Malam itu tanggal 6 September, Ichi membawakan sembilan judul lagu klasik di antaranya: Il bacio, O mio babbino caro, Sull aria, Del holle rache, Auf dem strom, Sempre libera, Wishing you were somehow here again, Pie jesu, Your are not alone. Sembilan lagu tersebut menceritakan perjalanan Ichi hingga ke titik puncak karya akhirnya. Sembilan lagu ini juga merupakan perwakilan perasaannya ketika Ichi diculik oleh Robby.
Malam yang begitu meriah dan luar biasa penuh dengan tepuk tangan yang mengagung-agungkan penampilan Ichi. Tak dapat disangkal suara Ichi benar-benar mampu menghipnotis semua orang. Aku dan Nadia yang berada di belakang panggung juga merasakan salut yang luar biasa. Tiba-tiba sebelum Ichi memberi penghormatan terakhir, seorang lelaki ke belakang panggung dan menemuiku. Lelaki itu menitipkan Handbouqet kepadaku untuk diberikan kepada Ichi.
Lelaki itu adalah Robby.
You might also like
More from Fiksi
Surat untuk Mantan
Lara, Ini mungkin adalah surat yang kesekian kali kutulis, tapi kali ini rasanya berbeda. Seperti ikan besar yang terjerat di jaring …
5 Cerpen Cinta yang Akan Bikin Kamu Terbawa Perasaan
5 Cerpen Cinta yang Akan Bikin Kamu Terbawa Perasaan Hey Sobat Semay, siap untuk terbawa oleh ombak perasaan yang mendalam? Ini …
1 Comment
Wahh . Gregetan banget . Mantap dah bg 👍👍👏