Fenomena endorsement di era media sosial beririsan dekat dengan apa yang disebut era new media. Trend ini mulai muncul seiring dengan masifnya masyarakat dalam mengkhatamkan dirinya dalam kedigdayaan media sosial itu sendiri. Memang, apapun tempat yang ramai itu selalu diselap-selipkan oleh terpaan iklan.
Endorsment sendiri sangatlah erat dengan pemanfaatan figur-figur yang berada di luar jabatan struktural (pihak ketiga) untuk dijadikan kepanjangan tangan produsen. Hal ini bertujuan supaya pihak ketiga tersebut mau mengeluarkan testimonial puja-puji kepada barang atau jasa yang memberikannya “tugas” promo semacam ini.
Untuk mengoptimalkan efek dari endorsement tersebut ialah, memilih figur atau tokoh-tokoh yang memang dinilai memiliki semacam pengaruh besar untuk menggerakan sebuah komunitas. Komunitas yang terjebak dalam hegemoni si tokoh yang dipilih pemilik brand itulah yang menjadi incaran strategis yang paling sebenar-benarnya.
Penunjukkan tokoh non-manajemen itu memang bukan paradigma baru. Hanya saja kelahiran era media sosial yang begitu masif ikut mendorong aktifitas pemasarannya. Media sosial yang begitu ramai digunakan masyarakat, tentu menjadi lahan basah bagi para pemasar dalam menyelipkan dirinya dalam komunitas di ruang-ruang maya.
Lahirnya platform media sosial Instagram, menjadikan tren ini semakin melompat jauh ke titik yang paling klimaks. Tak perlu riset berlebih, cukup bidik tokoh-tokoh yang memiliki status artis dan memiliki fan base yang jelas untuk menentukan siapa yang pantas dijadikan alat perwakilan. Atau yang paling minimal, biasanya untuk menghemat biaya honor, pemasar biasanya menelisik tokoh-tokoh yang mengkoleksi jumlah followers yang banyak.
Penokohan dalam strategi endorsement akan condong dengan seberapa jauh jangkauan pasar yang bisa tersentuh. Sokongan hegemonik yang khas dalam siklus ruang maya jelas sangatlah penting. Status keartisan, atau selebriti-medsos yang umumnya memiliki jumlah followers begitu banyak, diindikasikan sebagai poros. Agar mau bekerja sama, iming-iming bayaran, juga prestise serasa bintang iklanpun diadopsi.
Endorsment merupakan salah satu dari 12 pilar marketing. Namun di luar dari penuturan Tung Desem Waringin itu, alur transaksi antara sponsor dan sang tokoh inilah yang dirasa menjadikan andil besar menjamurnya trend ini. Apalagi dengan potensi bisnis endorsement yang menjanjikan penghasilan besar bagi para figurannya itu membentuk irisan baru, bukan lagi tren pemasar saja, melainkan cita-cita profesi baru, yaitu figur-figur penunggu sponsor yang mau meminjam sosoknya sebagai third party endorser untuk memberikan pembelaan melalui testimonial memuja-muji pihak pertama (sponsor).
Maka, jangan heran para seleberiti media sosial menjamur di ruang-ruang maya “memasarkan dirinya” menggunakan capaian jumlah pengikut beserta statistik-statistik lain sebagai cerminan popularitas profilnya. Di era new media, cita-cita selebritis akhirnya dipertemukan cabang atau sub-keartisan baru: di dunia maya itu, manusia jadi berlomba-lomba berunjuk eksis menggunakan iming-iming yang notabene merupakan alat-alat sponsor mendulang untung.
Uang dan popularitas atau hasrat pengakuan diri yang dimiliki manusia, menjadikan citraan dari sebuah tren profesi ini. Keduanya, tak langsung bergerak mengiming-imingi kita dengan olahan prestise terhadap pengakuan dari orang-orang lain. Padahal, bila dicermati, seyogyanya endorser merupakan salah satu alat ‘jualan’. Dengan iming-iming itu, figur-figur pun diperalat mengeluarkan kesaksian yang sebenarnya tak lebih dari kesaksian yang dikontrol.
Kita, manusia, sebagaimana disebutkan Hegel, memang memiliki hasrat untuk diakui dengan martabat dan peghargaan tertentu. Mangacu pada kata-kata Hegel, hasrat itu pula yang ikut menggeser manusia untuk berlomba-lomba, juga untuk memenuhi hasratnya memperoleh nilai prestise yang baik di ruang-ruang maya. Perolehan nilai inilah yang mengakibatkan pembagian masyarakat ke dalam kelas-kelas.
Perbedaan kelas-kelas sosial inilah, dalam hal ini dunia maya, yang dimanfaatkan oleh pemasar untuk membantuk aktifitas pemasaran produknya melalui figur-figur populer yang dianggap memiliki hegemoni di kelas atau segmen komunitas tertentu. Dari dominasi figur itulah, muncul kontestasi figur-figur yang akan dimanfaatkan produk tertentu untuk digunakan sebagai “alat jual”. Hegemoni seorang figur yang berhasil membangun citranya di dunia maya, pada akhirnya luput juga dengan hegemoni lain melalui “iming-iming” dari sang pemasar, yang sayangnya, kita anggap sebagai ‘pengukuh’ perolehan prestise di mata orang lain. Padahal, hegemoni dari nama-nama tersohor di platform sosial daring itu akan diakuisisi oleh “suruhan” relasi dari iming-iming yang menjelma menjadi sebuah hegemoni lain. Ya hegemoni transaksional.
Hegemoni yang sudah dimiliki oleh figur-figur potensial itu, oleh relasi lainnya dieksploitasi: dijadikan potential figure melalui sebuah perjanjian transaksional antara hegemoni figur dan “iming-iming” tren endorse-meng-endorse itu memunculkan elite-elite sales, budak-budak testimoni yang kesaksiannya dibayar oleh pemodal. Oleh hegemoni yang merasa sanggup membayar upah, yang kemudian, menurut Marketwatch, dapat dengan segera menaikan penjualan sebesar 4 persen. Angka itu bisa lebih besar lagi, tergantung seberapa kuatnya kedua hegemoni tadi.
You might also like
More from Rehat
Kelemahan Tali Pocong: Simpul yang Gampang Lolos?
Kelemahan Tali Pocong: Simpul yang Gampang Lolos? Tali pocong, sering kali dianggap sebagai senjata pamungkas yang bikin bulu kuduk merinding. Tapi …
Kelemahan Pocong: Menguak Sisi Lemah Si Pembalut Keliling
Kelemahan Pocong: Menguak Sisi Lemah Si Pembalut Keliling Pocong, sosok ikonik dalam mitologi horor Indonesia, kerap digambarkan sebagai makhluk yang melompat-lompat …