Fiuh. Biarkan saya menghela napas beberapa jenak sebelum menuliskan ini.
Satu
Dua
Tiga
Tarik napas. Keluarkan lewat pantat.
Baiklah. Saya akan memulainya.
Kepada Bung Arman Dhani yang saya hormati,
Begini Bung. Saya tahu Bung adalah salah satu penulis aktivis yang paling vokal bersuara dalam isu humanisme dan tetek bengek lainnya. Nah, kini Bung Dhani dikenal sebagai seorang male feminist yang kenceng banget deh ngomong soal isu feminisme. Beberapa waktu lalu saya membaca status Bung soal “Hikayat Feminis Galak”.
Geli rasanya ketika membaca status facebook sampeyan itu. Saya geli dan kecewa sekaligus. Menurut saya, status Bung itu mencong logikanya.
Sekarang gini, Bung menuliskan beberapa percakapan antara seorang cowok 1 hingga seterusnya dengan seorang mbak X. Nah, si cowok ini dari awal terus menerus menggoda si mbak X, tapi si mbak X diem aja. Si cowok 1 dan seterusnya tak berhenti juga. Bahkan makin ke sini perkataannya jahanam sekali. Tapi si mbak X terus saja diam. Namun, akhirnya dia bersuara dan memaki dengan galaknya.
Eh, tiba-tiba setelah si mbak X memaki, Bung Dhani mencomot tulisan saya yang di Detik. Senang saya—dikutip idola sosmed. Tapi sayang, Bung mencomot pada bagian tertentu saja untuk diisi ke dalam suara cowok terakhir. Duh, saya langsung spechless. Jadinya seolah-olah saya ini seorang yang misoginis yang jahat sekali.
Memang enak sekali kok Bung, memotong tulisan orang dari konteksnya lalu memasukkannya dalam kerangka tulisan tendensius. Ini resep paling jitu untuk menggiring opini dan menjatuhkan orang tersebut biar di-bully habis-habisan. Ya, mirip-mirip kayak kasus Ahok gitulah.
Jelas sekali loh di situ logika sampeyan mencong ketika menulis status itu. Ndak pas. Apa iya para cowok yang suka ngegodain mbak X dengan kata kasar pantas disejajarkan dengan tulisan saya yang sebetulnya juga mengkritik seksisme?
Saya di tulisan itu juga ngejelasin loh Bung, kalau seksisme itu perlu dilawan dan patriarki perlu digerus. Eh, Bung malah mengutip bagian yang “galak galak” aja.
Ya, tapi apalah saya ini. Saya memang tak lebih dari potongan roti kadaluarsa yang dicampur dengan dedak, lalu diolah menjadi pakan ikan-ikan lele. Beda bangetlah sama Bung Arman Dhani yang sudah khatam baca Ulysses-nya James Joyce yang rumit dan tebal itu.
***
Namun, apakah ada yang berani mengkritik kesalahan logika mencong ini? Tidak ada dong pasTINJA. Kan sudah jadi seleb medsos. Dan siapa yang berani mengkritik seleb medsos? Nanti di-bully deh sama para penggemarnya.
Teman saya yang juga membaca status Bung Arman Dhani, pun bilang analogi sampeyan itu oversimplikasi. Menyederhanakan banyak hal yang saya bicarakan di tulisan saya. Pelecehan seksual dengan kata kasar adalah satu hal. Dan seksisme rendah adalah satu hal lainnya. Lha tapi kok sama Bung Arman Dhani ini dicampur-cumpur sik? Bung ini tukang nasi campur atau penulis, sik?
Duh, saya kecewa. Arman Dhani yang suka ngejek lingkar otak orang dan goblok-goblokin orang itu ternyata juga bisa khilaf.
***
Antonio Gramsci pernah bilang bahwa struktur hegemoni bakal terbentuk secara sempurna bila tidak ada lagi oposisi. Bila tidak ada lagi yang berani mengkritik struktur itu. Nah, sepertinya proses ini juga berlaku untuk lingkaran Bung Arman Dhani deh.
Karena Bung dikenal sebagai aktivis yang membela kebenaran, maka dari itu setiap pendapat Bung pasti dinilai benar dan absah. Apalagi kemilau ke-seleb-an Bung itu begitu haibat.
Misalkan Bung Arman Dhani bilang bahwa keju mozarella itu bisa nyembuhin penyakit kanker, maka para penggemar Bung akan dengan mudah mengamini ini sebagai kebenaran yang valid. Lha mau gimana, yang ngomong kan Arman Dhani? Hehehe. Pasti benar dong.
Tapi saya bersyukur akhirnya saya tercerahkan. Berkat status sampeyan itu, saya pun bisa lepas dari Hegemoni Arman Dhani. Hegemoni yang isinya satir-satir tok. Hegemoni yang isinya maki-maki orang doang, tapi mengabaikan kerunutan logika.
Benar kata kang Zen RS: “menulislah dengan argumen yang dingin. Jangan mengolok-olok terus.” Saya akan terus mengingat pesan ini ketika belajar menulis.
***
Eh, iya Bung, jadi social climber karena ribut mulu itu enak ya pasti. Ribut soal 5 Buku Tak Layak Terbit sampai twitwar sama Budiman Sudjatmiko itu memang bikin eksis. Apalagi sekarang jadi male feminist yang diidolakan ciwi-ciwi gemes. Pasti uwuuwuwu banget deh hidupnya. Jadi gampang dapet penggemar yang loyal. Sebab menjadi male feminist itu kece dan seksi. Seperti halnya menjadi kiri itu seksi.
Tapi btw, saya berterima kasih loh atas kritiknya. Semoga sukses dan satir selalu, ya Bung Arman Dhani!
Salam peler!
You might also like
More from Cerapan
Silent Treatment dalam Pertemanan: Saat Diam Menjadi Senjata
Silent Treatment dalam Pertemanan Dalam pertemanan, komunikasi adalah kunci utama untuk menjaga hubungan tetap sehat dan harmonis. Namun, apa jadinya jika …
Time Management Matrix: Strategi Efektif Mengelola Waktu dan Prioritas
Time Management Matrix: Strategi Efektif Mengelola Waktu dan Prioritas Dalam kehidupan yang semakin sibuk, kemampuan untuk mengelola waktu dengan baik menjadi …
Kebutuhan Tidak Penting tapi Mendesak
Kebutuhan Tidak Penting tapi Mendesak Dalam kehidupan modern yang serba cepat dan dinamis, sering kali kita dihadapkan pada berbagai macam kebutuhan. …