/1/
Sebut saja teman laki-laki sekampus saya itu si K. Ia adalah tipikal orang yang, jika masuk ke dalam suatu lingkaran pembicaraan orang-orang, besar kemungkinan akan berhasil mendominasi pembicaraan di sana. Saya yakin, dua hal inilah yang membuat obrolannya disukai banyak orang, termasuk saya: cerdas dan komikal. Oh ya, yang semakin menambahkan ciri khasnya adalah logat Medan yang sangat kental.
Suatu hari, saat saya sedang asyik dalam lingkaran pembicaraan yang sama dengan si K—yang sedang mendominasi—saya menyadari hal ini: para anggota lingkaran pembicaraan lainnya pada ikut berbicara dengan gaya komikal khas si K—padahal biasanya mereka tidak komikal—dan berusaha menggunakan logat Medan—padahal tak ada orang Medan selain si K! Dan, setelah saya amati lagi, hal itu juga terjadi pada diri saya sendiri! (Sayang, tampaknya tidak ada yang berusaha menirukan kecerdasan si K, tak terkecuali saya, entah kenapa.)
Saya pun berpikir keras: Kenapa saya, secara otomatis, berusaha menirukan gaya si K dalam berbicara? Apakah teman-teman yang lain juga mengalaminya secara otomatis? Saking kerasnya saya berpikir, sampai-sampai saya tak bisa tidur pada malam harinya.
Malam itu pula, saya mendapatkan sebuah jawaban: Indikasi adanya keinginan untuk turut menjadi yang mendominasi. Indikasi tersebut mestilah dipaksa-muncul oleh alam bawah sadar saya. Bukankah memang tak jarang alam bawah sadar bekerja dengan cara demikian? Lebih jelasnya, karena saya—mungkin juga yang lainnya—tak tahu cara memanfaatkan gaya diri sendiri untuk menjadi yang mendominasi, maka secara otomatis saya—mungkin juga yang lainnya—mencomot gaya milik orang lain yang mendominasi.
/2/
Setelah saya pikir-pikir, pencomotan macam itu bukan hanya saya lakukan dalam lingkaran pembicaraan bersama si K. Tapi, pernah terjadi pula saat saya menjalankan salah satu hobi saya: menulis.
Misalkan, setelah saya membaca karya tulis dari seorang penulis yang mendominasi pasar tertentu, dengan sendirinya saya akan mencoba meniru gaya penulisan penulis itu, alih-alih mengembangkan gaya sendiri—yang saya belum tahu caranya, pula saya belum tahu apakah saya sudah bisa disebut memiliki gaya sendiri—meskipun dengan pengaruh besar dari penulis tersebut. Lebih hebatnya lagi, tanpa saya sadari, saya tidak berusaha mempelajari kecerdasan macam apa yang terselip dalam gaya penulisan penulis itu, sehingga saya menciptakan sebuah karya tulis yang ….
Cih! Dasar saya penulis pemula!
Ah, kalau saya ingat-ingat lagi, pencomotan gaya bukan hanya saya lakukan dalam dunia tulis-menulis. Tapi juga dalam hal memilih bahan bacaan dan bahan tontonan dan bahan makanan dan dan dan … banyak lagi lainnya!
Cih! Dasar saya manusia pemula!
/3/
Kalau saya pikir-pikir lebih jauh, ternyata ada banyak orang lain—mengacu juga pada orang-orang di luar lingkaran pergaulan saya—yang suka mencomot gaya pihak lain. Saya bisa memberikan sejumlah bukti, yang berasal dari pengamatan saya sejauh ini:
- Banyak orang Indonesia—terutama yang lagi sibuk-sibuknya mencari jati diri—yang mengikuti gaya hidup orang-orang dari negara lain yang dianggap mendominasi, hanya untuk keren-kerenan. (Tapi, apakah mereka berusaha menirukan kecerdasan orang-orang dari negara lain itu?)
- Dalam komunikasi verbal sehari-hari, tak sedikit dari kita—terutama makhluk-makhluk berjiwa urban—yang kerap mencampur bahasa Indonesia dengan bahasa Inggris—meski cuma sepotong atau dua potong kata—hanya karena kita menganggap bahwa bahasa itu keren, mendominasi dunia ini. Padahal, kata-kata berbahasa Inggris yang “diselipkan” itu memiliki padanan dalam bahasa Indonesia.
- Sisanya, sila Anda pikirkan sendiri—pasti tidak akan sulit.
/4/
Jadi, kapan saya—dan yang lainnya—mau berhenti menjadi manusia pemula? Kapan saya—dan yang lainnya—mau mencoba mencari gaya sendiri (walau pasti ada “sentuhan” dari pihak lain) dan mengembangkannya, barangkali hingga menjadi mendominasi? Kapan saya—dan yang lainnya—mau membentuk identitas masing-masing?
Ah, buat apa juga saya memusingkan diri dengan masalah ini? Toh, memang lebih enak menjadi pencomot. Bayangkan saja kalau kita mau bersusah ria untuk menciptakan identitas sendiri, tapi ternyata identitas itu gagal mendominasi, atau malah membuat diri kita jadi terasing dari yang lainnya. Tidak asyik, kan? Lebih baik jadi pencomot; tinggal pilih yang mana yang mendominasi, tirukan, dan beres! Memang kita belum tentu bisa menjadi mendominasi dengan demikian, tapi setidaknya kecil kemungkinan untuk kita menjadi terasing, bukan?
/5/
Hidup pencomot! Hidup krisis identitas!
More from Rehat
Kelemahan Tali Pocong: Simpul yang Gampang Lolos?
Kelemahan Tali Pocong: Simpul yang Gampang Lolos? Tali pocong, sering kali dianggap sebagai senjata pamungkas yang bikin bulu kuduk merinding. Tapi …
Kelemahan Pocong: Menguak Sisi Lemah Si Pembalut Keliling
Kelemahan Pocong: Menguak Sisi Lemah Si Pembalut Keliling Pocong, sosok ikonik dalam mitologi horor Indonesia, kerap digambarkan sebagai makhluk yang melompat-lompat …