(0: tak tercatat) Introduksi
Tatapan matamu begitu curam, namun teduh dan memanggil. Semirip lembah yang kuning di kaki jurang yang berkabut. Lenganmu dahan sebuah pagi, namun lehermu yang pemalu, pula letih, menyimpan keanggunan malam hari. Serupa bentang temali yang pulas di dekap pendar rembulan. Aku jemuran yang ingin dilupakan dan tertinggal di sana. Kau sodorkan telapakmu seakan sedang memarkir angin dalam jabat tangan pertama kita. Sebuah subuh yang pendiam resap bersama namamu. Dadaku lalu sebingkai jendela yang begadang. Saat terbayang betapa teliti caramu merapikan rambut dan kerah baju, dan memilih kata-kata, dan merek sepatu, dan mencoba lucu dalam sebuah percakapan, dan memutuskan pose bibir seorang pendengar, dan caramu tertawa demi menjaga sisi diri yang rahasia, terbayang pula betapa lama aku cuti dari kesibukan mencintai seseorang. Ada tergugah, namun hari itu, semua yang kutuliskan dengan cahaya cuma fatamorgana di sehambar gurun yang kosong. Kau tak membaca mataku.
(5: 01.54) Insomnia
48 jam – 3 jam = 5 bungkus rokok + Shuffled set playlist melankoli sejak era baroque sampai Marion Jola (entah berapa kali) + 1 Puisi + 372% baterai ponsel + 3 GB kuota reguler + Cinta yang semakin menggumpal untukmu + 10 jam fermentasi kepengecutan + Jantung yang kian curam memikirkanmu denyutnya kian keram di kedalaman + Kangen yang bikin goblog dan bahagia dan apolitis + Mata yang menyaksikan apa saja sebagai kehadiranmu + Shalat jumat yang mengucap nama panjangmu sebagai pengganti seluruh bacaan tiap gerak sembahyang + Mengingat estetika, wine, Kierkegaard + Tangisan pertama untuk kisah kita yang belum ada.
(2: 03.17) Ciuman Curian
Kamu terlelap seperti merangkum insomnia dua hari. Aku terjaga untuk melanjutkan, mirip pekerja lembur yang bertugas memanjakan kesedihan. Aku menyadap wajah lelapmu melalui jantung yang terus dilubangi denyutnya sendiri. Jantung yang lubangnya terus berkata, “Ini tak nyata dan akan segera berakhir.” Suara napasmu, serupa tepuk telapak tangan ibu, ketika dalam gendongnya ia cipta eskapisme dunia mimpi buatku, yang seharian didera demam dan tangisan yang menguras tenaga. Aku mencium napas itu. Umpama purnama menembus kaca jendela. Aku tidak tahu, apakah menembus apakah tenggelam. Aku hanya merasa telah ada di dalammu. Entah tidur. Entah terjaga. Entah memberi. Entah mencuri. Pagi dan matahari yang terbit dari sepasang matamu selalu berhasil membuat ciuman itu seakan tak sungguh-sungguh terjadi. Di dekatmu, tidurku terjaga semirip orang berkemas untuk kepergian yang selamanya.
(3: 21.22) Kemah
Batu-batu kali terdiam membaca ricik dini hari. Sepasang matamu merahasiakan kedalaman langit malam dan risau masa kanak-kanak penuh mainan plastik. Tak pernah kau cium kecut rumput 1 centi dari hidungmu atau angin yang menjatuhkan cabang dahan dalam gelap hutan. “Apakah hanya aku yang menyembunyikan diri sendiri dan pura-pura tak hanyut mendengar notasi sungai membelah keheningan di kejauhan, mendengar orkes binatang dari relung hutan yang tak semuanya bisa kubayangkan bentuknya?” katamu. “Rambutmu bau hujan sore tadi, dingin,” kataku, “tapi lehermu hangat, seperti seluruh dirimu yang hampir pagi.” Bagaimana mungkin kau tahu, aku dalam tenda dan kau, sedang mencari kata-kata dalam nyala unggun, timpalmu dengan meminjam gigil tubuhku untuk mengucapkannya. Langit terasa kian dekat dan segaris siluet pohonan tampak serupa wajahmu yang lelap. Terdengar orang-orang ribut, gadis yang nangis, dentang logam dan kerisik setapak, juga senter yang tiba-tiba terlempar ke dalam belukar. “Kenapa aku merasa sedang berdua saja denganmu di sini?” gumamku. (tepat saat kepalamu nongol dari dalam tenda, lalu seluruh dirimu berjalan ke arahku) kepada diri sendiri.
(4: 02.09) Nonton Dangdut
Adakah yang lebih sepi selain diri yang tak terpahami? Adakah yang lebih luka selain cinta yang terus berkata, “Semua telah berakhir, sebelum segalanya sempat dimulai?” Keriangan dangdut menyembunyikan sunyi yang bergetah. Malam penuh keringat. Seluruh diri dalam tubuhku bergoyang, mengelupasi ingatan, membuat prolog perpisahan yang tidak menguras . kebisuan menjadi kebisuan yang lebih bisu lagi. Kamu menepi ke seberang malam yang lain. Menonton kegembiraan kami yang serupa binatang ternak dilepas dari kandang. Jemari yang merapal dan pundak yang terus guncang, ceracau yang tak disegel etimologi; “lihatlah, kami tangah mengalami kebebasan dengan melupakan kebebasan!” Sepasang kakiku begitu girang. Semirip decak bocah yang pertama kali bisa berjalan. Sebuah kebebasan yang sesungguhnya rawan, rapuh dan mudah jatuh, yang segera lepuh ketika kau bidik aku dari kejauhan dengan semacam teluh yang memulai luka dari kedalaman. Mataku berair serupa bisul pecah, ketika denyut yang tulus mencintamu ini, kau sihir menjadi pusat gempa. Aku lalu menghampirimu dengan tatapan yang telah ompong, “Sayang, kenapa kau meminjam mataku untuk menangisi orang lain?” dan seluruh dirimu telah berubah sekeras cadas. Akulah setengah pelukan yang nganga, yang terseok-seok mencari-cari kata. Untuk kau dengar. Untuk kau dengar.
(6: 11.27) Sarapan yang Terlambat
Lokasi makan yang biasa. Nasi pecel yang biasa. Minuman dingin yang biasa. Bentuk kursi dan meja yang biasa. Denting sendok dan piring yang biasa. Lirih kunyahan yang biasa. Raut langit dan komposisi awan yang biasa. Landskap persawahan usai panen yang biasa. Gelagat angin pada pohon dan tanaman-tanama liar di tepi jalan atau pematang yang biasa. Sepi lalu-lalang yang biasa. Caramu memandang wajahku dan caraku memadang wajahmu yang juga biasa. Namun pada siang yang cukup terik itulah, di pinggir sungai kecil yang riciknya telah tenggelam di bawah frekuensi noise peradaban itulah, perpisahan kita tak menghasilkan kata-kata—kecuali: 4 detik tatapan terakhir yang pucat dan berlubang.
(7: 17.03) Alkohol 7 Jam
Matahari jam 5 sore mengembalikan securah senja lampau yang kita pernah terdiam bersama dalam dekapannya; sebuah cara berpamit yang gagal kita tiru. Kau pergi dengan membiarkan aku menjelma layangan putus dan waktu buatmu berpulang pada pelukan orang lain. Anggur putih adalah fermentasi air susu ibu untuk menidurkan kesedihan-kesedihan. Kepalaku penuh ombak, penuh kata-kata yang terombang-ambing mencari telingamu. Dadaku penuh batu dan debar yang hampir lumpuh. Sepasang mataku melubangi udara, menanam benih gerimis pada segigil gunting yang sibuk memutilasi ingatan tentang buku, filsafat, dan sebuah ciuman yang mencuri harum perutmu. Tiba-tiba kau datang, lantas gelombang surut perlahan. Namun kata-kata telah babak belur. Tak ada lagi yang bisa kau dengar, selain kebisuan yang terluka. Aih! Sorot tatapan yang sepoi-sepoi itu! Hangat rambut itu! Leher yang menggugah itu! O, Hujan yang gagal membabtis cinta kita menjadi legal. Mataku meminjam dirinya sendiri. Mata yang selalu terenyuh menyaksikan matamu yang mengantuk, yang berpejam, yang baru terjaga. O, lihatlah! Lihatlah! Mataku yang seusai 7 jam kau lipat dengan ketiadaanmu, masih menganga semirip botol kosong yang ditinggalkan para pemabuk bukan untuk siapa-siapa.
(1: 23.55) Setengah Puisi
Mencintaimu seperti memasang alarm yang pasti bakal kamu matikan ketika deringnya telah terdengar.
You might also like
More from Fiksi
Surat untuk Mantan
Lara, Ini mungkin adalah surat yang kesekian kali kutulis, tapi kali ini rasanya berbeda. Seperti ikan besar yang terjerat di jaring …
5 Cerpen Cinta yang Akan Bikin Kamu Terbawa Perasaan
5 Cerpen Cinta yang Akan Bikin Kamu Terbawa Perasaan Hey Sobat Semay, siap untuk terbawa oleh ombak perasaan yang mendalam? Ini …
Lamunan Empok Hayat
Lamunan Empok Hayat Dalam Sekian Babak Bunyi berita tentang cuaca ekstrem dan curah hujan tinggi tertangkap telinga Empok Hayat. Kalau saja …