Aku bertanya:/Apakah gunanya pendidikan/Bila hanya akan membuat seseorang menjadi asing/di tengah kenyataan persoalannya/…. (WS Rendra)
Sajak Seonggok Jagung di Kamar yang ditulis oleh W.S Rendra sejatinya adalah refleksi yang dilakukan oleh sang penyair atas realita yang ia hadapi, khususnya dalam bidang pendidikan. Tentu ketika lulusan-lulusan pendidikan formal menjadi terasing dari lingkungannya dan tak mampu mendapatkan pekerjaan sebagaimana harusnya, maka banyak yang bertanya-tanya: untuk apa lama-lama bersekolah kalau seseorang hanya akan menganggur dan tercerabut dari lingkungan sekitarnya? Lalu, apa kelebihan seseorang yang terasing dengan lingkungannya dibandingkan seseorang yang tidak pernah mengenyam pendidikan formal namun tanggap terhadap apa yang terjadi di lingkungan? Pertanyaan-pertanyaan macam itu bisa terus bermunculan seiring harapan kepada pendidikan formal yang tak kunjung terwujud.
Lantas, apa sebenarnya fungsi pendidikan formal? Paradigma sekolah hari ini diyakini oleh masyarakat luas mengacu dari sejarah esksitensi sekolah pada zaman kolonial. Saat itu sekolah ditujukan untuk membentuk para pekerja murah yang bersedia bekerja di industri-industri asing milik kolonial. Maklum saja, mereka begitu cerdas dalam mengolah sumber daya. Mendatangkan tenaga dari negara asal mereka tentu menguras tenaga dan biaya yang tidak sedikit. Seperti gayung bersambut, para pribumi kita juga sudah lelah kerja kasar dan lebih senang bekerja dengan seragam dengan rambut licin mengkilat. Ajaibnya, dengan alasan inilah kegunaan bersekolah terasa di kalangan masyarakat dan bertahan pada waktu yang lama, bahkan sampai dengan sekarang.
Di zaman yang tak lagi sama. Ketika lulusan-lulusan sekolah semakin membludak dan lapangan pekerjaan yang semakin langka, yang terjadi adalah pengangguran di mana-mana. Sementara itu, masyarakat luas masih menganggap, yang juga tidak salah sebenarnya, jika sekolah adalah tempat mempersiapkan anak-anak agar kelak siap bekerja. Dikarenakan sebab yang demikian itulah fungsi sekolah di mata mereka menjadi goyah.
Pemerintah pun sebetulnya tidak tutup mata dengan masalah tersebut. Pemerintah yang diwakili oleh kementrian pendidikan sudah sejak dahulu mencoba untuk mencari solusi yang tepat dalam mengatasi masalah ini. Yang paling ketara adalah kurikulum sebagai dasar dari praktik pendidikan yang sering berganti. Ketika hal itu terjadi dan berulang, tentunya hal itu menandakan kurikulum sebelumnya dirasa belumlah tepat.
Kurikulum 2013 Revisi (selanjutnya akan disebut K13) merupakan kurikulum yang paling baru. Apa kiranya esensi dari K13? Apa yang membuat K13 dirasa mampu untuk menjadi solusi dari masalah yang mendasar ini? Pada dasarnya K13 ingin menekankan pada tumbuhnya karakter seorang ilmuwan pada setiap murid yang ada di sekolah. K13 menuntut muridnya agar berpikir kritis, mampu paham dan mendiskusikan pemikiran, bisa bekerja sama dengan siapa pun, dan yang terakhir, yang paling penting, mampu berkreasi atau mencipta.
Namun demikian, K13 ternyata belumlah mampu memberikan dampak positif yang signifikan. Ini terjadi dikarenakan beberapa hal yang saling berkaitan. Mayoritas guru mengalami kesulitan dengan penerapan K13. Ini berdampak pada banyaknya sekolah (mayoritas berada di daerah yang jauh dari jangkauan pusat) yang belum bisa melaksanakan K13 dengan berbagai pertimbangan. Selain itu, sekolah yang sudah mampu melaksanakan K13 sering salah kaprah menafsirkan kurikulum tersebut.
Sekolah yang sudah menerapkan K13 seringkali terjebak dengan salah satu pendekatan unggulan yang ada di dalam kurikulum tersebut. Pendekatan itu adalah pendekatan saintifik. Pendekatan saintifik dengan 5M-nya merupakan pendekatan yang mengajarkan murid agar bersikap objektif dan ilmiah. Namun demikian, itu tidaklah cukup. Dengan pendekatan ini, murid akan menjadi pintar dan berhenti di sana. Ia kaya akan pengetahuan namun tidak bisa mengkritisi masalah di kehidupannya. Ia juga tidak mampu mengaitkan antara pengetahuan yang sudah dipelajari di sekolah dengan masalah yang terjadi di kehidupannya. Ini terjadi sebab saintifik fokus membahas materi pelajaran saja. Murid tidak diberikan model agar mereka mampu menggunakan ilmu yang didapat untuk lingkungan kehidupannya.
Menjadikan murid pintar tentu belumlah sesuai dengan UUD 1945 yang salah satu tuntutannya adalah mencerdaskan kehidupan bangsa. Cerdas dan pintar memang dua hal yang berbeda. Sesungguhnya apa arti dari kata cerdas? Mengacu pada definisi yang disusun oleh Y.B Mangunwijaya (selanjutnya akan ditulis Romo Mangun), bahwa seseorang yang cerdas adalah orang yang berani mempertanyakan sesuatu dan mengajukan pertanyaan yang timbul dari dalam dirinya. Paulo Freire, seorang filsuf pendidikan asal Brasil, mendefinisikan cerdas sebagai sebuah kesadaran subjektif untuk terlibat dengan kehidupan di luar dirinya sendiri. Dengan definisi seperti ini berarti cerdas akan melahirkan sikap kritis dan eksploratif. Kecerdasan akan menjadikan seseorang serupa ilmuwan yang tanggap dengan apa yang terjadi di sekitarnya.
Ketidakmampuan pendekatan saintifik untuk menjawab persoalan yang ada membuat ia membutuhkan pendekatan-pendekatan lain. Kalau mau mempelajari K13 secara utuh, di dalam kurikulum tersebut tidak hanya disediakan satu pendekatan. Sebut saja salah satunya adalah pendekatan CLIL (Content Language Intregrated Learning). Salah satu penekanan dari pendekatan ini adalah aspek budaya. Aspek ini berfokus pada bagaimana konten pembelajaran harus sesuai dengan ruang dan waktu saat ini. Ilmu harus bisa dihadapkan dengan permasalahan-permasalahan yang tidak jauh dari kehidupan murid. Guru harus mampu memfasilitasi itu. Tanpa aspek ini murid tidak akan pernah terbiasa dengan lingkungan sekitarnya.
Selanjutnya, model pembelajaran haruslah mampu untuk mengejawantahkan apa yang diinginkan oleh kurikulum. Model hadap masalah yang pernah diramu oleh Paulo Freire dan Romo Mangun dirasa sesuai dengan esensi K13. Model ini juga mampu untuk mengolaborasikan pendekatan-pendekatan yang ada dalam K13. Terlebih lagi K13 mencoba untuk melepaskan sentralisasi pendidikan yang terlalu jauh masuk hingga ruang kelas. Kurikulum ini mencoba untuk memberikan kesempatan bagi para guru untuk sedalam mungkin mengkaitkan permasalahan di sekitar sekolah dan lingkungan kehidupan murid dengan ilmu pengetahuan yang dikuasai. Celah itulah yang membuat model ini akan efektif jika digunakan.
Model pembelajaran hadap masalah yang ditawarkan ini akan selalu membiasakan murid memperluas pandangan keluar sekolah. Mereka akan mencari kaitan antara masalah yang ada dengan penyelesaiannya yang bersumber dari ilmu pengetahuan yang dipelajari di ruang kelas. membiasakan murid untuk menganalisa masalah-masalah yang berada di kehidupan mereka akan meningkatkan kepekaan mereka terhadap lingkungan. Guru harus bisa membuka ruang dialog yang membuat murid sadar bahwa mereka adalah subjek. Bayangkan jika setiap guru dari pelajaran yang berbeda-beda bisa mengarahkan murid untuk menggunakan ilmu pengetahuannya agar bisa diaplikasikan secara konkret terhadap masalah-masalah yang terjadi di lingkungan kehidupannya.
Ketika lulusan dari pendidikan formal memiliki kecerdasan yang diperlukan untuk kehidupannya, mereka akan mampu untuk mengenali dirinya sendiri dan lingkungannya. Ketika tidak ada lapangan pekerjaan yang sesuai dengan kemampuannya maka ia akan mencoba untuk mengenali potensi yang ada di daerahnya dan mencoba untuk menciptakan lapangan pekerjaan yang solutif bagi lingkungannya. Ini sejalan dengan Piaget yang mengatakan kalau puncak dari fungsi pendidikan adalah seorang murid mampu menggunakan segala pengetahuannya dalam kehidupan sehari-hari.
Sosialisasi dan bimbingan kurikulum yang terbaru harus lebih gencar dilakukan. Jangan-jangan selama ini letak permasalahannya bukanlah pada kurikulum melainkan pada pelaksanaannya. Kalau memang demikian, K13 tentu akan menjadi sia-sia saja, maka hal dari dasar inilah yang harus diubah. Semua elemen pelaksana pendidikan mulai dari kementrian, guru, dan tentu saja masyarakat harus saling bersinergi dalam melaksanakan kurikulum tersebut secara utuh dan menyeluruh di semua sekolah.
Akan ada dua masalah yang terjawab jika ini terjadi. Yang pertama adalah suksesnya pemerintah untuk mewujudkan UUD 1945 yang ingin mencerdaskan kehidupan bangsa. Yang kedua adalah, dan yang paling vital, mampu untuk menjawab harapan dari masyarakat luas: menciptakan lulusan yang tidak menganggur, bingung, dan terasing dengan lingkungannya.
You might also like
More from Cerapan
Silent Treatment dalam Pertemanan: Saat Diam Menjadi Senjata
Silent Treatment dalam Pertemanan Dalam pertemanan, komunikasi adalah kunci utama untuk menjaga hubungan tetap sehat dan harmonis. Namun, apa jadinya jika …
Time Management Matrix: Strategi Efektif Mengelola Waktu dan Prioritas
Time Management Matrix: Strategi Efektif Mengelola Waktu dan Prioritas Dalam kehidupan yang semakin sibuk, kemampuan untuk mengelola waktu dengan baik menjadi …
Kebutuhan Tidak Penting tapi Mendesak
Kebutuhan Tidak Penting tapi Mendesak Dalam kehidupan modern yang serba cepat dan dinamis, sering kali kita dihadapkan pada berbagai macam kebutuhan. …