Malam itu Zahra duduk di jendela kamarnya merasakan udara segar sambil menatap beberapa bingkai foto yang terpasang di dinding kamarnya, ia melihat foto masa kecilnya yang memegang sebuah balon di tangan kirinya dan tangan kanannya di genggam oleh seorang laki-laki yang sedang menunjuk ke arah depan seakan memberitahu dirinya bahwa ada sesuatu yang menarik di depan sana. Di foto itu Zahra sedang menangis karena pertama kali ia dibawa ke taman bermain dan bergabung dengan anak-anak yang lain, waktu itu ia sangat takut, tapi ada seseorang yang menggenggam tangannya yang membuat hatinya terasa menghangat.
Zahra beranjak dari jendela mengambil bingkai foto itu lalu duduk di ranjang tidur sambil menatap foto masa kecilnya, tanpa ia sadari telah terukir senyum di wajahnya karena mengingat kenangan masa lalu. Ia pun segera menggelengkan kepala sambil tertawa kecil, berusaha menyadarkan dirinya kalau ia sudah terlalu jauh mengingat kenangan masa lalu itu.
“Sudahlah Zahra ini sudah malam mau sampai kapan kau terus membayangkan hal-hal ini tanpa merasa bosan, besok ibu pasti marah kalau tahu aku tidur larut malam dan masih sering berdiri di depan jendela”. Zahra bicara pada dirinya sendiri.
Ternyata perkataan Zahra tadi malam benar, ia bangun kesiangan. Selesai shalat shubuh ia langsung tertidur kembali di atas sejadah, karena setelah kejadian tadi malam Zahra merasa ada batu besar di atas kelopak matanya membuat ia sulit sekali membuka mata. “Zahra!! Kau bangun kesiangan lagi, ibu sudah bilang berulang kali jangan berdiri di jendela itu dan tidur larut malam. Apa yang kau lakukan di jendela itu? Ingin dilihat laki-laki sekampung? Tapi masih saja kau ulangi setiap hari, besok ibu akan beritahu bapakmu supaya dia memaku jendela itu jadi kau tidak berdiri lagi di sana.”
“iya, Bu.” Dari semua omelan dan nasehat yang dilontarkan oleh ibunya pagi ini Zahra hanya menjawabnya dengan jawaban sesingkat itu. Karena Zahra merasa itu sudah menjadi ritual wajib yang harus dilakukan setiap pagi oleh ibunya sama seperti kebiasaan Zahra yang suka berdiri di depan jendela melihat foto-foto masa kecil mengingat kembali kenangan di masa lalu, kemudian tidur hingga larut malam setiap hari tanpa merasa sedikitpun bosan.
“Semalam ibu suruh kau merendam daun pandan semalaman untuk menyetrika baju bapakmu biar lebih wangi karena pagi ini bapakmu disuruh jadi komandan upacara di sekolahnnya.” Ayah Zahra adalah seorang guru honor di sekolah negeri, sebenarnya sekolah ini dulunya adalah sekolah pertama yang dibangun oleh ayah Zahra dengan dana pribadi dan atas bantuan dari masyarakat setempat yang ingin menyekolahkan anaknya.
Dengan berjalannya waktu sekolah itupun berkembang dan diangkat menjadi sekolah negeri. Sementara hingga saat ini ayah Zahra hanya tetap menjadi seorang guru honorer tanpa ada apresiasi yang berarti dari pemerintah.
“Pandannya sudah Zahra rendam tadi malam Bu, Zahra letakkan di atas meja dapur”. Zahra berteriak dari dalam kamarnya berusaha memberitahu ibunya. Belum sempat ibunya menjawab terdengar suara motor berhenti di depan halaman rumah Zahra. “Itu pasti Maryam,” batin Zahra berbicara.
“Zahra berangkat dulu ya, Bu,” sambil menyalami ayah dan ibunya yang duduk di meja belakang. “Zahra sarapan di luar saja nanti kalau ada waktu, assalamualaikum…” Zahra berteriak sambil terburu-buru menuju halaman depan.
“Maaf ya Mar, tadi itu aku…”
“Udah biasa Zahra,” belum sempat Zahra menyelesaikan kata-katanya, Maryam langsung dengan cepat menjawab, wajar saja Maryam sudah terbiasa dengan sikap sahabatnya itu.
“Hehe maaf,” Zahra tertawa kecil sambil menggaruk dahinya yang tidak gatal, lalu memasang helmet yang diberikan Maryam dan segera duduk di atas motor.
“Oh, iya gimana soal tawaran kerja yang kemaren?” Maryam bertanya pada Zahra, sambil terus fokus mengendarai sepeda motor.
“Hmmm… Aku tolak Mar, aku masih betah mengajar di sekolah itu.”
“Zahra kamu itu jangan terlalu idealis, mau sampai kapan kamu tolak pekerjaan yang bisa kasih kamu gaji lebih besar daripada gaji seorang guru honorer,” celetuk Maryam.
“Maksud kamu, Mar?” Zahra bertanya pada Maryam dengan kening yang sedikit dikerutkan.
“Ya maksud aku kamu itu jangan terlalu idealis. Kamu sering tolak pekerjaan yang menurut aku itu lebih bergengsi dari seorang guru honorer dan gajinya juga jauh lebih tinggi, dengan alasan yang gak masuk akal. Misalnya kamu tolak karena sistem kerjanya gak sesuai sama syariat Islam, terus pakaiannya gak sesuai sama syariat, malah kadang-kadang kamu bilang kerjaan kayak gitu dilarang dalam Islam. Mau sampai kapan kamu kasih alasan-alasan gak masuk akal kayak gitu?”
“Jadi menurut kamu menjadi seorang guru itu gak bergengsi, Mar? Terus pekerjaan yang bergengsi menurut kamu itu apa? Profesor? Dokter? Pilot? Pengusaha? Gak ada pekerjaan yang bergengsi Mar, semua pekerjaan itu sama dan ada tanggung jawab masing-masing. Kamu bayangin aja kalau semua orang mau jadi dokter karena itu menurut mereka adalah pekerjaan yang bergengsi dan bisa menghasilkan banyak uang, terus gak ada yang mau jadi petani karena menurut mereka itu bukan pekerjaan yang bergengsi, terus semua orang mau jadi dokter dan gak ada yang mau jadi petani. Kamu pikir dokter gak butuh makan, ya?”
“Ya butuh lah,” balas Maryam.
“Nah itu kamu tahu, begitu juga sebaliknya Mar, kalau semua orang mau jadi petani dan gak ada yang mau jadi dokter karena ribet, susah, lebih baik jadi petani. Terus kalau petani sakit gak butuh dokter? Pasti butuh kan, jadi semua pekerjaan itu sama-sama bergengsi. Jadi kamu gak perlu capek-capek buat ngukur pekerjaan seseorang baik atau enggaknya, karena kita makhluk sosial yang saling memiliki keterkaitan dan saling membutuhkan satu dengan yang lainnya,” Zahra diam sejenak.
“Dan soal kamu yang gak setuju aku jadi seorang guru honorer dengan alasan gak bergengsi dan gajinya nya gak seberapa. Kamu gak tahu ya, kalau semua pekerjaan seseorang yang kamu anggap bergengsi itu juga sumbernya dari seorang guru yang kata kamu gak bergengsi. Seorang pilot, seorang pramugari semua orang-orang yang bekerja di bidang mereka masing-masing itu, dulunya mereka juga belajar sama seorang guru, Mar. Aku gak tahu deh kamu itu belajar dari seorang guru atau enggak. Tapi yang aku tahu kita udah satu sekolah sejak SD sampai SMA, dan di sekolah itu kita belajar sama seorang guru. Gak tahu deh pas aku belajar sama guru waktu itu kamunya lagi di mana. Oh, iya soal gaji guru honorer yang kamu bilang sedikit itu emang sih aku gak bisa mungkiri tapi buktinya aku masih ada sampai sekarang dengan gaji yang hanya empat ratus ribuan perbulannya, doa kan aja ya Mar, semoga gaji para guru honorer naik.”
“Iya iya maksud aku, ya gak banding-bandingin pekerjaan jugalah Zahra, aku cuman mau kamu punya pekerjaan yang bagus dengan penghasilan yang memadai, kan kasihan ibu bapakmu itu sudah tua, kan bagus kamu bisa bantu-bantu mengurangi beban mereka,” jawab Maryam.
“Iya paham kok, aku ngomong gitu biar kita sama-sama tahu dan sama-sama bisa belajar menghargai aja kok Maryam, sayang.”
“Oh, iya Mar satu lagi kamu bilang aku gak usah terlalu idealis dan kasih alasan gak masuk akal karena syariat Islam, jadi menurut kamu yang realistis dan masuk akal itu seperti apa?” Zahra bertanya sambil kebingungan.
“Maksudku, hidup ini butuh makan Zahra. Kita gak bisa selalu berpegang dengan idealis terhadap agama dengan alasan mendapat pahala. Toh, realitasnya kita butuh makan bukan butuh pahala untuk hidup. Ya cari pahala sih boleh, tapi ada hitungannya. Lagi pula dengan pekerjaan lain juga kita bisa bisa dapat pahala asal kita menjalankan dengan baik.” Maryam berhenti sejenak.
“Prinsip dan gaya berpakaian kamu yang keislamian itu menghalangi kamu untuk bisa mengekspresikan diri, banyak aturan-aturan yang buat kamu jadi gak bisa mengekspresikan diri kamu sendiri, mengejar cita-cita kamu juga, mungkin. Terus cara berpakaian kamu yang serba tertutup dengan warna-warna yang monoton, kayak yang kamu pakai sekarang ini Zahra, hitam dari ujung kepala sampai ujung kaki emang harus gitu-gitu banget ya. Jadi maksud aku kamu itu islamnya yang biasa-biasa aja, gak usah terlalu di kait-kaitkan sama kehidupan pribadi kamu. Kalau disuruh puasa ya puasa kalau disuruh sholat ya sholat, jadi jangan terlalu fanatik.
Mendengar perkataan maryam Zahra hanya terdiam sambil terus khusyuk mendengarkan, seluruh badannya langsung melemah seperti ada ratusan pedang yang sedang menusuk-nusuk hatinya setelah mendengar penuturan sahabatnya itu. Zahra dan Maryam memang berteman lama, semua hal yang mereka lakukan selalu bersama-sama tapi ada satu hal yang selalu bertolak belakang, yaitu bagaimana cara mereka memandang dunia.
You might also like
More from Fiksi
Surat untuk Mantan
Lara, Ini mungkin adalah surat yang kesekian kali kutulis, tapi kali ini rasanya berbeda. Seperti ikan besar yang terjerat di jaring …
5 Cerpen Cinta yang Akan Bikin Kamu Terbawa Perasaan
5 Cerpen Cinta yang Akan Bikin Kamu Terbawa Perasaan Hey Sobat Semay, siap untuk terbawa oleh ombak perasaan yang mendalam? Ini …