Posisi generasi muda.
Jadi kepul aspal/Menguarkan bayi-bayi jalan/Dan dialpakan /dalam puisi/Dimakan sepi/Debu dan pengasingan/Gedung sekolahan
Pengetahuan mengenai generasi muda adalah generasi penerus bangsa sudah diketahui hampir setiap orang. Baik secara sadar maupun tidak, banyak orang yang menggantungkan harapan kepada generasi selanjutnya. Namun demikian, banyak pula yang merasa ngeri akan masa depan jika melihat ketidak-idealan pada generasi muda. Yang pasti melalui generasi muda, khalayak bisa sedikit mendapatkan prediksi mengenai masa depan yang akan terjadi.
Keyakinan mengenai posisi generasi muda sudah jelas menjadi keyakinan hampir semua orang. Mereka ialah aset bangsa. Untuk mereka jugalah Negara menciptakan sekolah-sekolah yang diharapkan mampu menyerap seluruh generasi muda yang ada di negeri ini. Tetapi penyerapan generasi muda yang sudah dilakukan bukan tanpa kendala. Siapa yang tidak bisa melihat ada banyak anak-anak yang masih tidak bisa bersekolah?
Ada banyak paradigma yang melekat kepada mereka yang tidak mau (atau tidak ingin) bersekolah. Biasanya itu adalah stigma-stigma yang tidak menyenangkan. Alhasil, bukannya menghindari stigma yang ada, mereka malah merasa memang sudah ditakdirkan untuk menjadi seperti itu. Mereka lebih nyaman di jalan atau di manapun yang tidak ada hubungannya dengan sekolah dan pendidikan formal. Mereka merasa rendah diri dan merasa diasingkan. Mereka merasa ditolak dari peradaban inti dan mencoba untuk mendamai-damaikan hati dengan menjadi warga jalanan.
Setiap anak yang tidak bersekolah mempunyai latar belakang yang berbeda—rata-rara mereka tidak mampu untuk mengikuti peraturan dalam sekolah yang dipukul rata. Negara harus peka. Jumlah mereka tidak sedikit dan ini bisa merugikan Negara di masa depan. Selain itu, dalam beberapa kasus mereka juga bisa menyebarkan pengaruh negatif kepada masyarakat dan teman-temannya yang bersekolah. Murid sekolah yang bebas bergaul dengan siapa saja, bisa jauh lebih intens berteman dengan anak-anak yang tak bersekolah. Ketika murid sekolah belum mampu membedakan salah benar baik buruk, mereka akan dengan mudah terpengaruh hal-hal yang kadang negatif untuk diri mereka.
Lantas sampai kapan semua pengabaian ini terus terjadi? Sadarkah jika pengabaian yang dilakukan akan merugikan banyak pihak. Yang terparah kalau ini terus terjadi adalah Negara menyalahi UUD 1945 yang salah satu aspeknya ingin mencerdaskan seluruh rakyat. Di titik itulah praktik keadilan dipertanyakan.
Sebenarnya, sudah saatnya menyediakan ruang bagi mereka di dalam sekolah-sekolah. Toh, kurikulum saat ini (K13) mengusung pendidikan berkarakter. Kalau memang percaya bahwa K13 mampu menciptakan karakter yang ideal untuk negeri maka pengabaian terhadap mereka yang belum bersekolah karena keadaan sudah seharusnya tidak ada lagi.
Masalahnya, terkadang terletak pada ketakutan-ketakutan yang ada di pihak Negara dan terutama sekolah-sekolah. Pengadaan kelas terbuka yang diisi oleh mereka yang biasa hidup di jalanan diasumsikan dapat memberikan pengaruh buruk dari dalam sekolah. Mereka ngeri membayangkan ketertiban sekolah terganggu. Mereka ngeri memikirkan akan ada banyak ketidakidealan dalam sekolah yang berada di luar kuasa mereka. Tentu ini hanyalah ketakutan yang tidak layak dituruti.
Justru sekolah harus mampu menghadirkan kelas terbuka untuk anak-anak yang tidak bisa mengikuti kelas formal. Menghadirkan kelas terbuka yang mampu menciptakan suasana mengajar yang tidak kaku, luwes, dan lebih mengutamakan esensi. Mampu menjadikan kelas itu sebuah sarana pencucian hal-hal negatif yang selama ini mengisi pikiran mereka. Mampu membuat minat dan bakat mereka terasah dan terarah. Dan setelahnya bagaimana pergaulan mereka dengan murid-murid sekolah?
Paulo Freire pernah menekankan hakikat sekolah demokrasi. Sekolah demokrasi ini tentu saja sejalan dengan paham politik Negara yang saat ini tengah berlangsung. Agar demokrasi bisa berjalan dengan baik, tidak bisa tidak, pendidikan dengan model demokrasi juga harus dilakukan.
Sekolah demokrasi ialah sekolah yang diisi orang-orang berbesar hati, mau bekerja sama dengan kelompok lain untuk mencapai tujuan demi kesejahteraan bersama, atau mau mengombinasikan semangat untuk menegakkan pendiriannya dengan suatu kesadaran bahwa satu orang tidak dapat mewujudkan semua yang diinginkannya.
Dengan model sekolah demokrasi dan esensi dari K13 dirasa akan mampu memberikan solusi yang tepat. Selain karakter, kemampuan bekerja sama dengan siapa pun membuat murid dari kelas terbuka dan murid sekolah biasa bisa bekerja sama dalam menciptakan sesuatu. Sekolah harus menyediakan sebuah wadah yang di dalamnya diisi oleh kegiatan-kegiatan bersama tanpa pandang strata dan kelas sosial.
Hal ini sejalan dengan perkataan Ivan Illich yang tegas mengatakan jika anak-anak miskin harus terbebas dari upaya komersialisasi, diskriminasi, dan penciptaan strata sosial dalam masyarakat (dalam hal ini sekolah) berdasarkan tinggi rendahnya kedudukan seseorang.
You might also like
More from Rehat
Kelemahan Tali Pocong: Simpul yang Gampang Lolos?
Kelemahan Tali Pocong: Simpul yang Gampang Lolos? Tali pocong, sering kali dianggap sebagai senjata pamungkas yang bikin bulu kuduk merinding. Tapi …
Kelemahan Pocong: Menguak Sisi Lemah Si Pembalut Keliling
Kelemahan Pocong: Menguak Sisi Lemah Si Pembalut Keliling Pocong, sosok ikonik dalam mitologi horor Indonesia, kerap digambarkan sebagai makhluk yang melompat-lompat …