Siapa yang tak tahu Taman Lawang, sebuah taman yang terletak di pusat kota Jakarta. Taman yang dikelilingi rumah mewah ini, tampak memberikan gambaran jelas ketidaksetaraan hidup orang-orang di kota. Pasalnya, taman ini terkenal sebagai tempat prostitusi.
Malam itu, aku dan Ayu memberanikan diri untuk menyusuri taman kota ini. Terlihat waria-waria sedang sibuk menawarkan dirinya kepada setiap lelaki yang melintas di depan taman tersebut. Sesekali mereka berteriak heboh seperti sedang berebut pelanggan.
Aku dan Ayu, dipersilakan duduk di sebuah bangku di depan warung kecil oleh seorang pengasuh para waria di taman ini, sebut saja namanya Mama Pantine. Waria berbadan kekar ini berambut panjang blonde, belahan payudaranya tampak jelas dibalik baju tidurnya yang tipis dan bertali kecil. Wajahnya dipenuhi dengan bedak tebal dan lipstik yang menor. Bulu ketiak dibiarkan panjang, sehingga jika ia merokok dan mengangkat tangannya bulu-bulu halus nan panjang itu tampak berhamburan di mana-mana.
“Lihat, kalian berdua jangan seperti Bella,” ucap Mama Pantine sambil menghisap rokoknya, dari mulutnya tercium bau alkohol. “Bella itu sudah Bunda kasih tahu, supaya kuliah yang bener, jangan jualan di sini. Tapi dia ngotot, katanya gak ada uang untuk biaya hidup di Jakarta.”
Aku dan Ayu hanya diam, ada perasaan takut duduk di situ.
“Kalian satu kampus sama Bella dan Nina?” Tanya bunda Pantine. “Iya Bunda. Tapi mereka tidak satu jurusan denganku,” jawabku.
“Hidup itu nikmati aja chyynnn. Orang kan cuma tahunya hidup seperti kami ini kotor, mereka tidak pernah cari tahu orang seperti kami ada karena ada permintaan orang-orang sakit. Tuh lihat!” Ia menunjuk ke arah sudut taman tampak seorang pelanggan laki-laki bertubuh tegap. “Dia itu salah satu orang penting di kota ini. Itu artinya bukan kami saja yang kotor, mereka yang butuh kami jauh lebih kotor.” Mama Pantine bicara sambil ngalor-ngidul karena pengaruh alkohol.
“Terus kalian tidak takut temanan sama Bella dan Nina?” Tanyanya lagi.
“Nggak. Mereka kan teman saya.” Jawabku dengan yakin, Ayu juga menganggukan kepalanya.
“Jangan takut, mereka dijamin bebas HIV. Bunda sudah sering ingatin, kalau main yang cantik pake pengaman.” Terangnya lagi. “Di sini kita sering dapat pembagian pengaman dan pelumas agar tetap sehat wal afiat.”
Aku dari dulu memang tidak pernah menutup kemungkinan untuk berteman kepada siapa saja, tidak penting dia tua atau muda, baik atau jahat, kaya atau miskin. Semua itu dari cara pandang kita. Soal pengaruh itu adalah kita sendiri, jika kita sudah membuat pagar yang tinggi siapapun tamunya pasti tidak akan bisa masuk untuk merusak hidup kita.
Jam sudah menunjukkan pukul 01.00 WIB, itu artinya kami sebentar lagi kami harus makan sahur. Bella dan Nina, masih asik melayani tamunya di bawah pohon yang gelap.
“Bund, kenapa sih kalau orang-orang di sini jualannya di bawah pohon di tempat-tempat yang redup,” tanya Ayu.
“Jangan sedih, kalau kami jualan di bawah cahaya bulan maka akan tampak seperti wanita seutuhnya, bahkan bisa tampak seperti Miss Universe. Namun, jika kami jualan di bawah cahaya lampu yang terang, yang ada pelanggan kabur lihat muka kami yang berantakan. Nampaklah bedak yang tebal dan angker ini.” Gelaknya.
Bella dan Nina menghampiri kami, jalannya berlenggak lenggok dengan busana di atas lutut dan heels yang dijinjing.
“Yuks laah, udah lapangan bola nih. Sahur kita.” Ucap Bella. Lapangan bola = lapar yang luar biasa.
“Cucok meong mak Ayam ini, laris manis. Banyak dutreknya”. (Hebat orang satu ini, laris manis. Banyak duitnya) Tutur Nina.
“Eiiimm, eike yang penting laris. Jual murah aja cyynn, cukup dapat nasi bungkus untuk sahur, syukurin aja.” Terang Bella.
“Dapat berapa kau, Bella?” Tanyaku.
“lima pelong eimm…” (lima puluh ribu) Jelas Bella.
“Berapa orang?” Tanya Nina.
“Tiga orang. Yang dua eyke minta dua pelong, yang satu masih bocah kagak punya duit cuma kasih sepelong. Lu dapat berapa, Nin?”
“Syukurin aja coong, cuma dapat satu orang kasihnya tujuh pelong.” (tujuh puluh ribu). Jelas Nina.
***
Kami kembali ke apartemen yang berada di Jakarta Timur dengan membawa empat bungkus nasi padang yang dibeli dari uang hasil jualan Nina dan Bella. Aku tahu Nina dan Bella adalah lelaki sejati, mereka bukan lelaki jadi-jadian. Mereka berbuat seperti ini karena sebuah pilihan, pilihan yang kurang tepat. Bella bertubuh kekar, hitam dan berotot tidak heran jika ia banyak dikagumi wanita dan punya banyak pacar wanita. Sedangkan Nina seorang lelaki yang bertubuh tinggi besar, tegap dan metro seksual. Mereka adalah penyelamatku, sudah hampir 2 minggu aku hanya mengantongi uang dua ribu rupiah di dompet. Mereka yang menyelamatkanku agar tetap bisa hidup di kota yang kejam ini.
You might also like
More from Fiksi
Surat untuk Mantan
Lara, Ini mungkin adalah surat yang kesekian kali kutulis, tapi kali ini rasanya berbeda. Seperti ikan besar yang terjerat di jaring …
5 Cerpen Cinta yang Akan Bikin Kamu Terbawa Perasaan
5 Cerpen Cinta yang Akan Bikin Kamu Terbawa Perasaan Hey Sobat Semay, siap untuk terbawa oleh ombak perasaan yang mendalam? Ini …
Lamunan Empok Hayat
Lamunan Empok Hayat Dalam Sekian Babak Bunyi berita tentang cuaca ekstrem dan curah hujan tinggi tertangkap telinga Empok Hayat. Kalau saja …