Needing to have reality confirmed and experience enhanced by photographs is an aesthetic consumerism to which everyone is now addicted. – Susan Sontag, On Photography
Plato pernah mengajukan sebuah alegori paling terkenalnya, soal gua. Dalam cerita klasiknya, orang-orang dirantai di gua yang gelap. Mereka dihadapkan pada dinding gua, membelakangi sumber cahaya. Mereka hanya bisa melihat bayang-bayang obyek yang datang dan pergi, dari hal-hal yang terjadi, terpantul ke dinding gua. Bagi mereka, bayang-bayang itulah semua yang mereka ketahui tentang dunia, semua itu yang benar-benar eksis bagi mereka. Gua tersebut adalah batas semesta bagi mereka.
Kisah tadi belum selesai, tapi konsep dasar soal realitas tadi yang coba diulas Susan Sontag dalam esai In Plato’s Cave. Manusia, sebutnya dalam esai pembukanya di On Photography tersebut, masih terkurung dalam gua Plato. Namun fotografi mengubah kondisi pemenjaraan tersebut. Fotografi menciptakan semacam “penglihatan” dan perasaan bahwa kita dapat memuat seluruh dunia dalam kepala kita. Realitas baru, sekaligus masalahnya, terbentuk.
Penulis Amerika cum aktivis sosial ini banyak menulis beragam topik selama hidupnya. Salah satu karya kritisnya yang paling terkenal, On Photography, pertama kali diterbitkan pada tahun 1977. Meski ditulis sebelum era seseorang bisa menangkap ratusan gambar lewat ponsel cerdas mereka hanya dengan satu sentuhan, namun berbagai gagasan Sontag tetap sangat relevan dan menjadi salah satu teks definitif tentang kultur visual hari ini.
Manusia gua tadi sekarang punya ponsel pintar dan teknologi informasi yang mutakhir. Sejak penemuan camera obscura tahun 1838, hari ini kita mengambil lebih banyak foto setiap dua menit daripada keseluruhan abad ke-19. Sontag menulis On Photography di masa sebelum penemuan citra digital, namun menengok kembali gagasannya, serasa membaca suatu ramalan.
Fotografi berkembang bersamaan dengan salah satu aktivitas modern yang paling khas: turisme. Untuk pertama kalinya dalam sejarah, segerombolan besar orang secara teratur melakukan perjalanan untuk jangka waktu yang singkat, keluar dari lingkungan tempat tinggalnya.
Dalam melakukan perjalanan, tampaknya tidak wajar untuk bersenang-senang tanpa membawa kamera. Foto akan menawarkan bukti yang tak terbantahkan bahwa perjalanan telah dilaksanakan, kesenangan telah diperoleh. Mengambil foto menjadi cara untuk mensertifikasi pengalaman kita. Foto menyimpan pengalaman menjadi sebuah souvenir, sekaligus sebuah trofi.
Dalam hal ini, turisme sangat beririsan dengan yang namanya konsumerisme. Ketika ada foto di Instagram akan suatu tempat, yang menawarkan kebaruan dan keunikan, secara serempak banyak orang yang ingin mengunjunginya. Masyarakat kapitalis, sebut Sontag, membutuhkan sebuah kultur yang berbasis citraan guna merangsang pembelian. Tidak dapat disangkal bahwa budaya konsumerisme diberi makan oleh visual.
Dilema lainnya, foto-foto akan penderitaan dan kekejaman sekarang memiliki akses yang tak berkesudahan. Sebagian besar dari kita tak bisa menahan banjir informasi itu tetap mengalir di saku kita atau di telapak tangan kita, atau di mana saja ponsel kita berada.
“Perasaan iba adalah emosi yang tidak stabil,” tulis Susan Sontag dalam kumpulan esainya yang terakhir, Regarding the Pain of Others, yang diterbitkan pada 2003. “Perasaan iba perlu diterjemahkan ke dalam tindakan, atau akan jadi layu.” Pernyataan ini seharusnya bikin kita semua merasa tidak nyaman.
Kita mungkin jijik, ngeri, atau tersentuh pada suatu foto, tapi hanya dengan didorong oleh welas asih saja, tidak akan membawa kita pada semacam pemahaman. Apa yang coba ditunjukkan oleh Sontag adalah bahwa emosi tidak dapat dipercaya ketika harus mempertimbangkan tindakan yang benar. Kita perlu berhenti menonton untuk mempertimbangkan bagaimana kita menanggapi gambar penderitaan, kesakitan, dan kekejaman, dan dengan kejam memikirkan peran kita sendiri sebagai pemirsa secara historis dan filosofis.
Masalahnya, kita lebih cepat tergerak untuk ngeri dan jijik, sekaligus kita lebih cepat lupa, karena deretan gambar yang jauh lebih banyak menuntut perhatian kita. Kita dipaksa mengelola lebih banyak informasi melalui gambar daripada era-era sebelumnya, dan ini membuat hubungan kita dengan kasih sayang, kemarahan, dan rasa ketidakberdayaan yang terangsang oleh foto-foto tadi semakin kompleks. Polusi fotografis bikin kita mati rasa.
Fotografi, yang dulu dianggap sebagai media yang menggambarkan “kebenaran,” sekarang ironisnya merupakan penyumbang terbesar tentang manipulasi psikis masyarakat kapitalis. Kita dibombardir dengan gambar setiap hari, sebagian besar dari iklan; di papan reklame, di majalah, dan paling sering di layar kita.
Namun, pada saat yang sama, fotografi adalah percobaan penangkal paradoks kematian kita dan kesadaran yang mendalam akan hal itu. Segala foto adalah memento mori, tulis Sontag. Mengambil foto adalah berpartisipasi dalam kemortalan, kerentanan, ketidaktetapan orang lain. Lewat mengiris suatu momen dan membekukannya, semua foto menjadi kesaksian atas melelehnya waktu yang tanpa henti.
Hal ini begitu benar, saat kita mengisi linimasa media sosial kita dengan gambar, seolah-olah untuk membuktikan bahwa garis waktu biologis kita, kehidupan kita, dipenuhi dengan momen penting. Sekaligus mengingatkan kita bahwa semuanya pasti akan segera menuju titik akhir dari garis waktu itu sendiri: kematian.
Foto mengkonfirmasi keberadaan kita di dunia, memberi semacam pinjaman bahwa ada bobot dalam eksistensi kita. Kenyataannya, kultur visual ini telah dikonfirmasi lebih lanjut dengan penemuan media sosial; sebuah fenomena yang Sontag lihat sekilas sebelum kematiannya akibat leukemia pada 2004.
Mallarmé, mengatakan bahwa segala sesuatu ada di dunia ini untuk berakhir dalam sebuah buku. Masa kini, tulis Sontag, semuanya ada untuk berakhir dalam sebuah foto.
More from Cerapan
Silent Treatment dalam Pertemanan: Saat Diam Menjadi Senjata
Silent Treatment dalam Pertemanan Dalam pertemanan, komunikasi adalah kunci utama untuk menjaga hubungan tetap sehat dan harmonis. Namun, apa jadinya jika …
Time Management Matrix: Strategi Efektif Mengelola Waktu dan Prioritas
Time Management Matrix: Strategi Efektif Mengelola Waktu dan Prioritas Dalam kehidupan yang semakin sibuk, kemampuan untuk mengelola waktu dengan baik menjadi …
Kebutuhan Tidak Penting tapi Mendesak
Kebutuhan Tidak Penting tapi Mendesak Dalam kehidupan modern yang serba cepat dan dinamis, sering kali kita dihadapkan pada berbagai macam kebutuhan. …