Labirin perbedaan waktu dalam hidup…
Apakah sama antara waktu ketika kita menunggu dan waktu ketika kita tidak menunggu?
Sejak Minggu kemarin, senyumnya menggantung di anganku. Seolah-olah aku tidak sanggup keluar dari matanya yang serupa labirin. Atau aku memang betah dan sengaja berlama-lama terjebak di sana, di hadapannya. Laki-laki itu bernama Aksara Hijau—cukup kupanggil Aksara.
Sejujurnya, ingin kusebut peristiwa ini jatuh cinta, tapi terkesan picisan. Dan sepertinya terlalu dini membuat kesimpulan. Jika pengakuan itu sampai kuutarakan, bisa saja Aksara akan anggap aku perempuan yang mudah jatuh cinta. Terlalu mudah. Bayangkan, pertemuan kami yang begitu singkat. Maksudku, terasa sangat cepat bagi dua manusia yang belum kenal, tetapi ingin saling kenal. Saling? Tidak, ini urusanku. Doronganku untuk mengenalnya. Aku seperti tak kuasa menjadikannya alasan atas apa yang ingin kuceritakan sekarang kepadamu. Sore ini, namanya, kembali terlintas, mondar-mandir di pikiranku.
Di perjumpaan itu, aku terpaku. Hujan turun. Dan kautahu, ia memerangkap kami. Aku dan Aksara. Kuperhatikan sepasang matanya, sorotannya tajam yang membius. Seakan keduanya terus-menerus berbicara lebih banyak ketimbang mulutnya. Seingatku, ketika itu pendengaranku terasa pengang, tapi penglihatanku jelas. Diam-diam kuamati gerak langkahnya waktu ia balik badan meninggalkanku—setelah hujan benar-benar reda.
Sebentar, aku bilang meninggalkanku? Berkenalan pun tidak. Aku seperti tak siap kalau Aksara menjauh dari pandanganku.
Jika boleh kuingkari ucapanku sendiri perihal kesimpulan, maka Aksara akan kukiaskan sebagai orang yang berhasil mengekalkan senyumnya dalam ingatanku. Tidak salah lagi. Dan pikiran semacam itu yang sebetulnya muncul sebelum akhirnya punggungnya menjauh perlahan dari tempatku berdiri. Sisi kanan dari panggung musik. Tempat itu lebih tepat kusebut sebagai kanopi untuk berteduh saat hujan. Kanopi yang mempertemukan kami sepekan lalu.
Percayalah, perjumpaanku dengan Aksara adalah suatu kebetulan. Sebuah konser musik di pinggir ibukota. Aku berangkat ke sana seorang diri dengan niatan menebus kebosanan akhir pekanku. Sampai di lokasi, aku melihatnya tengah berada di atas panggung sebelum band yang ingin kutonton naik setelahnya. Melalui pelantang suara, ia perkenalkan diri. Aku tak fokus menyimak. Sorot matanya, sekali lagi, seperti berbicara kepadaku.
Sekarang aku ingat namanya. Nama yang bagus, aku suka. Tidak, aku menyukai pemilik nama. Setelah band indie favoritku, Kabar Burung, naik ke panggung melantunkan Telah Satu, adaptasi puisi W.S. Rendra. Lagu kesukaanku. Aku tergugah akan benang merah dari peristiwa yang kualami. Kabar Burung satu-satunya yang mengantarkanku bertemu Aksara Hijau. Itulah asumsi pertamaku. (Oh, aku menulis lengkap namanya).
Telah Satu menyadarkanku bahwa hiduplah Aksara Hijau. Malam itu aku hanyut dalam tatapannya. Juga senyum manis yang menengahi kumis dan janggutnya. Minggu itu hujan lebat.
Kureka ulang senyum Aksara. Aku sulit menghentikan pikiran tentangnya. Tidak pula aku dapat menghentikan suara Aksara. Seperti delusi. Bahkan di tengah gemuruh suara hujan yang biasanya aku nikmati. Terasa suaranya lebih hebat dari suara hujan. Terlintas olehku untuk lanjutkan perjalanan menerjang hujan. Tapi aku tertahan oleh bayangan—ah entah, harapan—seandainya Aksara menghampiriku, menawarkan payung atau sekadar bertanya siapa namaku.
Selepas kepergiannya, aku ucap ulang namanya dalam hati. Berkali-kali.
Aku sampai rumah larut, pukul satu dini hari. Ketika rebahan, mulai kucari tahu segala tentangnya. Perasaan semacam kau telah menemukan sekaligus merasa kehilangan.
Kunyalakan ponselku. Tidak ada cara lain. Pertama-tama, aku ketik ‘Aksara Hijau’ pada kotak pencarian di mesin pencari. Aku temukan banyak akun sosial media dari berbagai platform yang ia gunakan. Sejurus kemudian, kutemukan tanggal lahirnya. Kupelajari rasi bintangnya guna kupahami kepribadiannya. Aku coba hubungkan rasi bintangnya dengan milikku. Hasilnya adalah terdapat banyak aspek kecocokan antara rasi bintang kami. Delusi yang nyata. Semakin meyakinkanku bahwa kami berdua akan bertemu kembali.
Kapan bertemu lagi? Kali ini aku tidak bisa berasumsi. Ini seperti misteri.
Bagiku, mencari tahu tentang dirinya adalah menelisik segala kemungkinan agar bertemu dengannya lagi. Beberapa kali aku pandangi kanopi yang sama, sewaktu jalan pulang dari kantor. Tidak kujumpai Aksara di tempat itu. Bayangannya pun tidak. Beberapa kali kuhampiri kedai tempat Kabar Burung biasa beraksi, mengira Aksara akan datang. Sia-sia. Aku perlu cara lain. Aku harus menemukan Aksara. Untuk saat ini, aku belum ingin berkenalan dengannya. Meski hal itu hanya ada di pikiran dan bersikeras mengusik suara terdalam hatiku bahwa aku teramat ingin mengenalinya, bahkan dekat dengannya. Setidaknya dapat kujumpai lagi wajahnya. Wajah yang tidak dapat aku enyahkan dari pikiranku saat ini.
Dari hasil pencarianku di Google, kami sering menghadiri acara bedah buku yang sama, hadir ke pementasan teater yang sama, dan sering ke acara musik yang sama. Aku perkirakan, kami akan bertemu lagi di acara musik berikutnya: di tempat ketika kami bertemu beberapa hari lalu. Iya, semoga ia datang. Semoga ia segera menyadari bahwa ibu pertiwi yang lebih luas dari ketiak ibuku ini, hiduplah seorang aku yang mengaguminya.
Apa yang akan aku ceritakan jika aku benar akan kenal dengannya. Tidak mungkin aku ceritakan kegilaan ini kepadanya. Kegilaan seperti apa? Kegilaanku membuat sebuah akun media sosial samaran agar dapat kuamati aktivitas Aksara tanpa diketahui olehnya. Aku pendambanya. Itulah sebabnya Jumat malam ini aku pergi ke gedung teater Graha Bakti Budaya yang akan menampilkan lakon adaptasi Desire Under the Elms Eugene O’Niel. Pementasan yang ia sempat posting di laman Instagram-nya. Tempat yang lain dari Minggu lalu. Aku tunggu gong tanda pementasan di depan pintu. Berkali-kali kubersalaman dengan rekan-rekanku yang kebetulan juga datang, sambil kupincingkan ekor mataku ke tiap penjuru selasar. Aku berharap mendapati Aksara. Kubuka Instagram, tidak ada feed terbaru darinya.
Pertunjukan berlangsung menyenangkan, aku puas. Namun, saat berjalan ke luar gedung, kusadari satu hal: Aksara tidak menonton. Itulah pikiran yang kutepis selama menunggu di depan pintu. Tidak ada pertanda bahwa Aksara akan datang.
Mengetahui Aksara tidak hadir ke acara yang sama denganku adalah sebuah kenyataan yang membuatku sedih dan sulit untuk tidur. Aku tahu aku hanya berkhayal dan mengutuki diri sendiri. Tapi keinginan untuk mengenalnya semakin besar. Dorongan ini seperti menguat setiap hari. Bahkan di titik aku belum mengetahuinya secara personal, pesonanya seolah menghantuiku terus menerus. Rasanya untuk mengisi malam yang susah tidur ini, aku bisa cari lebih banyak lagi tentang Aksara. Sial, aku insomnia karenanya.
Kuaktifkan ponselku. Secara tidak beraturan aku gonta-ganti ke beberapa platform media sosial, kuperiksa ulang apakah ada petunjuk. Hasilnya nihil. Aku membencinya, yang sebetulnya aku benci diriku seperti ini. Benci karena terlalu berharap Aksara bisa kutemui lagi.
Kuempaskan ponsel yang kugenggam ke atas kasur. Aku benamkan kepalaku ke bantal. Aku lelah karena pikiran tentang Aksara menyiksaku. Aku enggan menatap layar ponsel sampai sebuah pesan masuk. Ponselku bergetar.
Rin, ada cowok yang mau kenalan.
Er, sahabat sekantorku mengirim pesan beserta potret yang ia katakan ingin berkenalan denganku. Aku tunggu unduhan selesai. Aku terperangah mendapati kiriman Er. Kubilang iya kepada Er dan kupersilakan ia menyerahkan nomor ponselku. Aku coba bersikap wajar dengan cukup bilang terima kasih kepada Er. Aksara Hijau adalah laki-laki yang Er jelaskan.
Di luar itu, aku bergeming. Jantungku berdegup tak keruan membayangkan pesan masuk dari Aksara. Aku menahan diri bertanya nomor ponsel Aksara kepada Er. Kebencianku lenyap. Sebisanya kukendalikan perasaanku. Meskipun, Aksara belum juga mengirimkanku pesan.
Hal itulah yang berkecamuk Jumat malam dan sepanjang Sabtu aku hanya tidur-tiduran. Kerja sepekan di kantor mengurus Asian Games membuat tubuhku perlu tambahan istirahat di rumah. Tapi, tidak untuk Minggu. Aku harus keluar rumah, pikirku. Lantas, sore hari aku pergi ke kedai Berdua Kopi yang dekat rumahku. Barangkali, Minggu hari baik dan ingin aku habiskan dengan baca buku, ditemani es kopi susu dan roti bakar selai keju. Aku masukkan buku yang dua pekan lalu kubeli walaupun belum sempat kubaca ke dalam tas, bersama laptop, ponsel, dompet, dan sekantung kecil perlengkapan make-up.
Berdua Kopi yang kudatangi ini masih sepi. Baru buka sepertinya, periksaku. Tidak apa, aku jadi leluasa mendengarkan lagu kesukaanku. Daftar musik pilihan yang diputar di Berdua Kopi selalu pas dengan seleraku, dan minimal itu alasan yang masuk akal untuk duduk berlama-lama membaca dan sesekali menulis.
Satu setengah jam menulis, kumatikan laptop di sebelah ponselku. Ragangan cerita yang kukarang baru dapat tiga paragraf. Aku merasa buntu, dan situasi ini menyebalkan, meskipun sempat aku selingi dengan baca buku. Di Berdua Kopi, sepenglihatanku hanya ada beberapa pengunjung. Tapi, entah kenapa aku merasa sendiri. Biasanya aku lihai menepis rasa sendiri saat menunggu, tidak untuk kali ini. Tiba-tiba teringat senyum Aksara. Teringat lagi matanya. Aku raih ponsel yang kupasang dengan mode jaga. Kuletakkan buku di pangkuanku.
Ya, Minggu berarti menunggu. Begitulah asumsiku ke sekian. Aku sudah tidak peduli lagi untuk menghitung. Layar ponsel menyala. Aku berusaha menahan diri untuk tidak bertanya lebih jauh kepada Er. Aku tidak ingin ia tahu perasaanku setelah kami berkirim pesan. Dua hari belakangan, aku belum cerita apa-apa kepada Er. Kusembunyikan kekagumanku atas Aksara.
Jam menunjukkan pukul 17.45. Pada layar ponsel yang kunyalakan tertera: sebuah pesan baru yang masuk tanpa sepengetahuanku. Pesan dari nomor yang tidak aku kenal.
Aku Aksara Hijau, temannya Er.
Apa benar ini Rin?
Lagi baca buku apa?
Senyumku mengembang. Aku tertunduk, tersipu membacanya. Er mungkin singgung aku suka baca, maka wajarlah ia tanya soal buku. Penantianku usai. Aku lekas membalas pesannya, memberi tahu judul buku yang kubaca sekarang, Kereta Tidur Avianti Armand. Percakapan di awal yang menarik, gumamku. Aksara dan aku saling balas cepat. Begitu seterusnya selama lima belas menit. Senyumku tetap sama.
Aku seakan ingin meloncat. Saking bahagia. Maka kuambil pelantang telinga lalu kupasang pada ponsel. Aku mau dengar musik yang menggenapi suasana perkenalanku dengan Aksara. Lagu pertama dari Landon Pigg, Falling in Love at a Coffee Shop. Sebelum pindah ke lagu kedua, ada jeda. Dari pelantang suara di Berdua Kopi, sekilas aku dengar lagu Kabar Burung yang kusuka. Mendengar lagu itu, aku lepas pelantang telinga yang menutupi telingaku. Mataku tertuju pada layar ponsel yang di dalamnya mulai bersautan percakapanku dengan Aksara.
“Aku adalah kapal yang telah berlabuh dan ditambatkan.
Kita berdua adalah lava yang tak bisa lagi diuraikan.”
Dari arah belakang, kulihat bayangan langkah seseorang berjalan mendekatiku. Lalu ia geser kursi dan duduk di depanku. Samar-samar ia mengulang bait akhir Telah Satu. Aku angkat kepalaku—yang menunggu pesan balasan dari Aksara—memastikan sumber suara. Seketika aku kikuk. Aku refleks memberi senyum yang semoga itulah senyum terbaik yang aku pernah miliki.
“Hai, aku Rin.” Kami bersalaman. Seceria mungkin aku sikapi kegugupanku.
“Sebetulnya aku duduk di sana sedari tadi,” ia tunjuk satu sudut kedai yang tertutupi oleh tiang di belakangku. “Tapi kayaknya kamu asyik baca, jadi ya aku tunggu. Begitu aku lihat kamu mencopot headphone, aku beranikan diri untuk ke sini,” Ia tersenyum balik kepadaku.
“Suka Rendra? Suka Telah Satu versi Kabar Burung ini ya?”
Ya, aku lihat senyumnya. Aku lihat matanya. Laki-laki itu adalah Aksara Hijau. Aksara, kenalnya. Ia nyata dan bukan misteri bagiku. Setidaknya, untuk sore ini—aku tidak butuh asumsi apa pun. Aku enggan bertanya lagi tentang waktu.
Terima kasih untuk Ghozi.
You might also like
More from Fiksi
Surat untuk Mantan
Lara, Ini mungkin adalah surat yang kesekian kali kutulis, tapi kali ini rasanya berbeda. Seperti ikan besar yang terjerat di jaring …
5 Cerpen Cinta yang Akan Bikin Kamu Terbawa Perasaan
5 Cerpen Cinta yang Akan Bikin Kamu Terbawa Perasaan Hey Sobat Semay, siap untuk terbawa oleh ombak perasaan yang mendalam? Ini …