“Ibu kamu cantik, Cha,” kata Rido, temanku. Rido bilang begitu setelah ia melihat ibu mengantarku ke sekolah tadi pagi. Ibu memang sering mengantarku ke sekolah.
“Iya, ibu bilang kalau perempuan itu harus cantik, biar banyak yang suka,” aku berusaha menjelaskan kepada Rido sesuai apa yang pernah ibu katakan padaku.
“Tapi ayah kamu ke mana? Sedang kerja, ya?”
“Aku kurang tahu. Tapi kata ibu, ayahku ada seribu. Aku, sih, senang-senang saja mendengarnya.”
“Wah, hebat! Pasti kamu dibelikan boneka terus, ya?”
Aku coba pikir-pikir sebelum menjawab, “enggak juga.”
Kemudian Rido tak bertanya lagi, sibuk menulis apa yang telah bu guru tulis di papan tulis. Aku pun demikian.
Tak lama, setelah pelajaran matematika yang melelahkan selesai, bel istirahat berbunyi. Karena aku masih kelas 2 Sekolah Dasar, waktu istirahatku hanya satu kali dan itu pun selama 30 menit saja. Tapi selama istirahat, sama seperti biasa, aku hanya di dalam kelas. Kadang Rido menemaniku di dalam kelas, tapi lebih sering aku sendirian. Kurasa Rido rela menemaniku lebih karena kasihan padaku.
Selain itu, aku tak tahu harus ke mana ketika istirahat. Kalau jajan, jujur, aku tak pernah tertarik. Sedangkan bermain dengan teman-teman memang ide yang bagus, tapi aku tak mudah akrab dengan mereka. Mungkin lebih tepat kalau aku tak ditemani. Meski aku mencoba akrab, tapi teman-teman, sepertinya, menjauhiku secara tak langsung.
Mungkin teman-teman menjauhiku karena aku orangnya pendiam. Bu guru juga bilang begitu. Bahkan, bu guru pernah memanggil ibuku karena sifatku yang pendiam ini. Bu guru menduga, kalau aku yang pendiam disebabkan oleh apa yang disebutnya, ‘akibat trauma psikologis yang didapat dari rumah’. Tapi ibuku langsung mengelak, dan bilang kalau aku diasuh dan dirawat sebagaimana anak kecil lainnya. Lalu ibu memberi alasan kalau sifat pendiamku, mungkin saja, menurun dari dirinya yang juga pendiam.
Bel tanda istirahat telah selesai berbunyi. Teman-teman dengan tergesa masuk ke dalam kelas. Sekarang adalah pelajaran Bahasa Indonesia dan menurutku, pelajaran tersebut amat membosankan. Rasanya ingin tidur saja. Aku lebih suka mendengar cerita dari nenek sebelum tidur, daripada memerhatikan bu guru yang berbicara di depan kelas tak henti-henti.
Ternyata tadi aku tertidur. Karena aku langsung terbangun, kaget, setelah mendengar bel tanda pulang yang berisik itu berbunyi. Teman-temanku bergegas pulang, aku juga. Mereka ada yang dijemput oleh orang tuanya, kakaknya, atau pulang berjalan kaki dengan teman yang lainnya. Ibuku tak pernah menjemput, ia hanya mengantarku ke sekolah saja. Maka setiap pulang sekolah, aku memilih berjalan kaki. Lagi pula rumahku tak jauh dari sekolah. Dan aku selalu pulang bersama Rido karena rumahnya dekat dengan rumahku.
Sebelum jam 11 aku sudah sampai rumah. Nenek menyambutku dengan senyumannya. Saat berada di dalam rumah, aku menengok seisi ruangan dan bertanya pada nenek, “Ibu ke mana?”
Nenek menggeleng. Biasanya, di sofa ruang tamu, ibu menonton televisi sambil merokok. Sesekali ia tertawa, lebih sering diam saja. Matanya selalu terlihat merah karena mengantuk, tapi aku bangga karena ibu masih menyempatkan diri untuk mengantarku ke sekolah.
Soal ibu yang merokok, aku sudah pernah bilang padanya kalau merokok itu bisa membunuh. Aku tahu hal tersebut dari televisi. Tapi aku bisa apa mengatur-atur hidup orang dewasa? Setelah aku mengatakan itu, ibu malah memarahiku, “Berisik kamu anak haram! Tahu apa kamu soal rokok, huh?!”, bentaknya. Lalu ibu membuat asap berbentuk bulat dari isapan rokoknya seolah mengejekku. Sampai sekarang aku tak pernah tahu arti dari anak haram. Nenek, sih, sudah pernah menjelaskan. Tapi berbelit-belit, aku tetap tidak mengerti maksudnya.
Di lain waktu, ibu pernah mengucapkan lagi apa yang disebut nenek, ‘kalimat yang tidak baik’. Kata nenek, aku tidak boleh mengucapkan kalimat itu. Ibumu jangan ditiru, katanya lagi. Makanya aku kaget waktu ibu marah dan mencaciku. Ibu pernah mengucapkan ‘kalimat yang tidak baik’ itu saat ia tahu aku memecahkan gelas meskipun tak sengaja. Pun ketika aku telat bangun pagi. Dan aku tak mau menyebut ‘kalimat yang tidak baik’ itu.
Tapi tak melulu ibu marah-marah padaku. Lebih sering ibu bersikap baik. Katanya, kalau ibu sedang marah, artinya ibu sedang pusing. Buktinya, setiap aku dimarahi, ibu selalu meminta maaf. Dan aku semakin disayanginya.
Aku sudah berganti pakaian. Nenek menyuruhku makan siang meski jam belum menunjukkan waktu makan siang. Tapi aku menolak makan kalau nenek tak ikut makan. Nenek bilang ia masih kenyang. Aku tetap menolak hingga akhirnya nenek mengalah. Akhirnya kami makan bersama. Saat makan, aku bertanya lagi tentang ibu. Nenek bilang ia tidak tahu ibu pergi ke mana. Katanya, tunggu saja sampai sore. Aku mengiyakan.
Setelah selesai makan, aku mengantuk. Sementara nenek mencuci piring, aku pergi ke kamar untuk tidur siang, dan berharap saat sore nanti, ibu sudah pulang.
***
Sedari tadi aku di dalam kamar. Memikirkan ibu. Ibu belum juga pulang. Tadi nenek menyuruhku makan malam tapi aku tak bernafsu. Aku bilang nenek saja yang makan, sebab aku mau langsung tidur. Nenek tak memaksaku.
Aku jadi cemas. Seharusnya, kalau ibu pergi di siang hari, menjelang maghrib ibu sudah ada di rumah. Biasa ibu pergi sama temannya, Om Andi. Om Andi orangnya baik. Ia suka membelikanku coklat. Selain itu, ia juga lucu. Aku selalu dibuatnya tertawa. Gaya berjalannya gemulai seperti ibuku dan kalau ia sudah bicara, mungkin baru berhenti kalau pita suaranya putus. Sebenarnya, sih, ibu yang bilang begitu. Dan nada suaranya yang nyaring membuat telingaku hampir tuli.
Awalnya, waktu pertama kali Om Andi main ke rumah dan mengajak ibu pergi, aku tak membolehkannya. Saat itu Om Andi merayuku dan mengatakan kalau ibu akan baik-baik saja dan hanya diajak jalan-jalan olehnya. Anehnya, aku tak diperbolehkan ikut. Tapi, karena sudah tahu kalau Om Andi baik, setelahnya, aku selalu mengizinkan jika ibu diajak pergi olehnya. Tak lupa, Om Andi mencium pipi kanan dan pipi kiriku.
Pintu kamarku ada yang mengetuk. Aku langsung berpura-pura tidur. Saat kuintip sedikit, ternyata nenek. Nenek tahu kalau aku hanya berpura-pura tidur, dan langsung menghampiri dengan duduk di sebelah kananku yang sedang berbaring. Nenek mengelus-elus rambutku, lalu bilang, “Cha, kamu enggak makan dulu?”
Aku menggeleng.
“Ya, sudah. Kalau begitu, mau dengar cerita nenek?”, tawarnya.
Aku menggeleng lagi. Malam ini aku hanya ingin memikirkan ibu. Dan nenek langsung beranjak, lalu menutup pintu kamar secara perlahan.
Aku jadi ingat, malam-malam begini ibu sedang sibuk-sibuknya berdandan. Aku senang melihat ibu tampil cantik. Kalau sudah besar aku ingin seperti ibu, tapi nenek melarang. Ibu selalu memakai rok di atas lutut dengan atasan yang cukup terbuka. Dan meski memakai alas berhak tinggi, namun ibu tetap bisa berjalan dengan amat luwes.
Ibu bekerja tiap malam dan pulang menjelang subuh. Saat kutanya pekerjaannya apa, ibu menjawab, menghibur orang lain. Maksudnya apa aku tak tahu. Kupikir jenis pekerjaan di dunia ini hanya ada dokter, guru, polisi, petugas keamanan dan tentara. Dan hanya petugas keamanan yang kukira selalu bekerja di malam hari. Ternyata, penghibur orang seperti ibuku juga.
Pikiranku lelah, akhirnya aku terlelap dan bangun di pagi hari dengan perasaan sedih.
***
Tidak terasa sudah 7 hari ibu belum juga pulang. Nenek masih belum tahu ibu pergi ke mana dan dengan siapa. Om Andi sudah tidak pernah ke rumah. Hari-hari yang kujalani semakin berat. Terasa ada yang kurang. Dan malam ini, untuk mengusir kesedihan dan rasa rinduku, aku ingin mendengar cerita nenek lagi. Nenek memberi judul cerita itu “Nita Si Kupu-kupu Jelita”. Dan katanya, cerita itu akan berakhir malam ini.
“Segera ceritakan, Nek,” kataku yang sudah berbaring di tempat tidur.
“Dengarkan, ya,” nenek duduk di sebelahku, kakinya berselonjor, dan tubuhnya bersandar.
Aku mengangguk.
“Di sore hari yang dingin. Nita, si kupu-kupu jelita dengan tubuh merah muda, terbang dan hinggap dari bunga mawar yang satu, ke bunga mawar yang lain. Nita berpikir kalau hari ini adalah hari terbaik dari yang pernah ia jalani sebelumnya. Maka, Nita memutuskan untuk bermain sampai jauh.
“Tapi nasib berkata lain, dalam perjalanannya untuk bermain sampai jauh tersebut, ada dua kupu-kupu jahat berwarna hitam yang mengganggunya. Nita tak bisa berbuat apa-apa, kupu-kupu jahat itu telah menangkapnya dan tak membiarkan Nita untuk kabur. Di rumah, saat malam diguyur hujan, ayah dan ibu Nita menunggu hingga Nita pulang, meski mereka tak tahu apa yang sebenarnya terjadi.”
Kudengar suara nenek bergetar. Saat kulihat wajahnya, nenek menitikkan air mata. Sama seperti nenek, aku pun merasa sedih.
“Ceritanya sudah selesai,” kata nenek terbata-bata.
“Ada yang lain lagi?”
Nenek menggeleng. “Nanti nenek pikirkan dulu. Sekarang kamu tidur, semoga kamu memimpikan ibumu,” tak lupa nenek mencium keningku.
Tak lama kemudian aku tertidur, ternyata benar, ada wajah ibu di mimpiku.
You might also like
More from Fiksi
Surat untuk Mantan
Lara, Ini mungkin adalah surat yang kesekian kali kutulis, tapi kali ini rasanya berbeda. Seperti ikan besar yang terjerat di jaring …
5 Cerpen Cinta yang Akan Bikin Kamu Terbawa Perasaan
5 Cerpen Cinta yang Akan Bikin Kamu Terbawa Perasaan Hey Sobat Semay, siap untuk terbawa oleh ombak perasaan yang mendalam? Ini …