Setelah Trump terpilih di Amerika sana juga setelah Brexit, pers-pers macam The Guardian, The New Yorker, dan kawan-kawannya beramai-ramai memakai istilah post-truth buat era sekarang ini. Sederhananya, dalam post-truth itu fakta objektif tidak terlalu penting daripada emosi dan kepercayaan pribadi. Post truth oleh Kamus Oxford dianugerahi sebagai “kata tahun ini” di tahun 2016. Istilah post-truth yang menggema tahun 2016 lalu bisa jadi karena dunia yang semakin cair, kebenaran bisa milik siapapun karena menuruti persepsi itu nikmatnya luar biasa.
Post-truth tak hanya gandrung di negerinya Trump sana, di Indonesia juga demikian. Ambil contoh dari pegelaran pemilu presiden tahun 2014 lalu, banyak pers abal-abal muncul menyajikan berita hoax dan pers arus utama tidak secara terang-terangan menyatakan dukungan ke salah satu calon presiden yang akhirnya membuat berita-beritanya menjadi bias. Jika kiblat sistem persnya adalah sistem pers liberal, sah-sah saja pers menyatakan dukungan, biasanya melalui sikap editorial, pada salah satu calon. Pers-pers di Amerika sana pada 2016 lalu ramai-ramai menyatakan dukungan, baik ke Hillary maupun ke Trump, tetapi, tentu yang netral juga tak kalah banyaknya.
Keterbukaan dukungan semacam itu tentu lebih baik karena warga bisa menyaring informasi mereka sendiri dan memuaskan persepsi masing-masing. Perusahaan pers juga tak perlu malu-malu kucing dan tak rugi karena nama baiknya tidak akan tercemar dan tak jadi bahan olok-olokan kelompok tertentu, seperti Metro TV yang diubah menjadi Metro Tipu dan TV One yang menjadi TV Oon. Keberadaan berita hoax juga bisa diminimalisir karena pemilih telah mendapatkan pembenaran persepsinya masing-masing.
Setelah 2014, media sosial kembali banal akhir-akhir ini karena Pilkada DKI Jakarta. Pers-pers yang kebanyakan berkantor di Jakarta membuat Pilkada DKI Jakarta seolah menjadi isu nasional. Padahal tiada manfaatnya bagi orang-orang daerah untuk meributkan Pilkada DKI, karena toh Gubernur yang nantinya terpilih di Jakarta tak akan memimpin di NTB maupun daerah lain. Pilkada DKI Jakarta hanya menciptakan post-truth jilid III bagi Indonesia setelah post-truth 1965 dan post-truth 2014.
Masyarakat NTB juga banyak yang ikut meramaikan Pilkada DKI Jakarta di media sosial baik dengan membuat status, memberi komentar, dan membagikan berita seputar Pilkada DKI Jakarta. Banyak yang lebih sibuk mengurusi kriteria Gubernur Jakarta idaman, namun abai jika di NTB pasir di Lombok Timur dikeruk untuk reklamasi Teluk Benoa Bali, pantai dan beberapa pulau dikuasai oleh asing, dan semoga saja ujungnya kita tak mengkambinghitamkan ‘asing dan aseng’—istilah yang kerap kali dipakai—karena sikap kita yang tak peduli dan gagal melihat realita di sekitar kita.
Post-truth menguatkan politik identitas, karena menggerakkan massa melalui emosi, sentimen keagamaan, maupun sentimen etnis tentu lebih mudah daripada melalui majelis keilmuan. Akibatnya bisa dilihat, dengan cepatnya kita menuduh orang lain yang tak sepaham dengan kita sebagai ‘kafir’, ‘komunis’, ‘syiah’, ‘wahabi’, dan macam-macamnya. Politik identitas tidak bisa dianggap sebagai angin lalu saja, karena dampaknya bisa berujung pada fasisme. Kita tentunya tahu apa yang telah dilakukan Hitler dan Nazinya kepada Yahudi karena fasisme.
Kembali ke ‘1984’
Gampang saja membuat kebenaran di era post-truth ini. Tak penting jika itu kebohongan sekalipun, yang penting banyak orang yang mengamininya ditambah dengan sedikit luapan emosi, dan diulang terus-menerus, maka jadilah ia kebenaran. Seperti kata George Orwell dalam novel 1984-nya jika Big Brother, tokoh antagonis yang juga diktator mengatakan 2+2=5, maka jadilah ia 5, tidak akan menjadi 4.
Dalam novelnya, Orwell si penulis asal Inggris ini menciptakan 4 kementrian di negara fiksi Oceania, Kementrian Cinta Kasih, Kementrian Perdamaian, Kementrian Ekonomi, dan Kementrian Kebenaran. Di media-media sosial, menariknya banyak yang menjadi agen dan menjalankan laku Kementrian Kebenarannya Orwell. Kerja Kementrian Kebenaran itu menulis ulang sejarah dengan menihilkan yang lama, serta membuat kebenaran agar sesuai dengan doktrin propaganda partai milik Big Brother. Big Brother menjejali rakyat Oceania dengan kebohongan, seperti kita yang juga senang memanjakan persepsi dan kepercayaan kita tanpa mau memahami, yang akhirnya beramai-ramai pula kita menjadi hakim atau Big Brother-Big Brother kecil.
Penjualan novel 1984 meningkat tajam setelah Trump menjadi presiden. Banyak orang-orang di Amerika sana yang kembali membaca 1984 dan fiksi-fiksi distopia lainnya untuk memahami kondisi post-truth ini. Berkebalikan dengan utopia, distopia merupakan gambaran tentang masa depan yang lebih buruk, lebih menyeramkan daripada masa kini. Lain di sana, lain pula di sini, banyak yang belum mengenal karya Orwell. Walhasil, buku-buku bergenre ‘sekali tepuk dapat jodoh’, ‘kaya dalam waktu 24 jam’, ‘motivasi bangun pagi’ dan semacamnya, berada di rak best seller toko-toko buku besar.
Maka, di era post-truth ini terasa benar apa yang dikatakan Nietzsche si filsuf Prusia itu seabad yang lalu, bahwa fakta itu tidak ada, yang ada hanyalah interpretasi. Tentunya interpretasi untuk menyenangkan persepsi kita sendiri: Aku percaya, maka aku benar.
You might also like
More from Poliklitik
Asian Values, Dinasti Politik: Warisan atau Kutukan?
Asian Values, Dinasti Politik: Warisan atau Kutukan? Di jagat politik Indonesia, dinasti bagaikan virus yang tak kunjung musnah. Bak jamur, ia …
Apa yang bisa kita harap dari Visi-Misi Amin?
Apa yang bisa kita harap dari Visi-Misi Amin? Di ambang era baru, Indonesia mendekati titik krusial dalam perjalanannya. Di tengah gelombang …
Kisah Asam Sulfat dan Asam Folat: Satu Huruf, Beda Dunia
Kisah Asam Sulfat dan Asam Folat: Satu Huruf, Beda Dunia Dalam drama panggung politik, terkadang skrip yang terlepas dari naskah bisa …