Suasana (agak) panas dalam debat antara pasangan calon calon gubernur dan calon wakil gubernur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo-Taj Yasin dan Sudirman Said-Ida Fauziyah di Hotel Pratajasa, Semarang, Jumat (20/4) malam, bisa membuat orang salah sangka. Pasangan itu berdebat panas padahal dalam hubungan sosial mereka akrab.
Sehari sebelumnya mereka bertemu di forum informal di warung angkringan di kawasan Pamularsih, Kota Semarang. Pertemuan di warung angkringan itu atas undangan Sudirman Said untuk merayakan ulang tahunnya yang ke-55.
Mereka adalah tokoh politik yang selalu memproduksi simbol dan tafsir politik. Dan pertemuan itu tentu memberikan pesan politik kepada publik. Acara itu tentu bisa ditafsirkan bermacam-macam. Warung angkringan bisa jadi simbol ekonomi mikro.
Kalau dipikir-pikir, mereka (tentu) bisa saja berpesta ulang tahun di hotel atau restoran mewah. Lalu, kenapa justru memilih angkringan?
Bila ditelisik lebih jauh. Sebenarnya warung angkringan atau foum wedangan merupakan ruang publik yang banyak digunakan oleh masyarakat sebagai tempat menyampaikan gagasan, pikiran, ide, mengenai kepentingan mereka. Bahkan tak jarang digunakan rekan-rekan mahasiswa untuk curhat seputar (susahnya mendapat) pasangan. Eh malah curhat…
Angkringan boleh jadi hampir sama kelasnya dengan kedai kopi di Inggris, salon di Paris dan tischegesellschaften di Jerman yang menjadi ruang publik. Yang menurut pemikir Jurgen Hubermas, ruang publik itu menjadi tempat berdiskusi, menyampaikan pendapat atau ide, bahkan mengkritik pemerintah. Namun demikian, apakah pasangan yang menjadi pemenang akan mengakomodasi perbincangan di angkringan yang merupakan representasi wong cilik? Kita tunggu saja.
Pemilihan gubernur akan digelar 27 Juni mendatang. Seyogyanya pemilihan kepala daerah tidak perlu tegang, panas, apalagi penuh konflik. Ganjar Pranowo-Taj Yasin dan Sudirman Said-Ida Fauziyah dalam debat yang disiarkan oleh televisi swasta nasional memang mereka saling sindir dan saling serang tentang visi, misi, dan program kerja. Namun nyatanya di luar, mereka bisa tuh mengobrol dengan akrab. Jangan sampai berpolitik malah memecah belah. Berebut kekuasaan harus dilakukan dengan elegan, jangan menghalalkan segala cara. Boleh bersaing, namun silaturahmi jangan sampai putus. Ibarat pasangan, kalau sudah menjadi mantan, silaturahmi harus tetap berjalan.
Mereka juga kiranya perlu memberi pesan kepada pendukung mereka bahwa pemilihan kepala daerah tidak hanya melibatkan kontestan, namun juga pendukung. Cukuplah kiranya pemilihan presiden pada 2014 dan pemilihan gubernur DKI Jakarta pada 2017 meninggalkan luka yang tidak mudah sembuh bagi masing-masing pendukuubermasng kontestan.
Semoga pertemuan di angkringan tersebut bukan gimmick untuk mengelabui publik. Pesan dari pertemuan yang ditemani wedang (minuman hangat) dan aneka gorengan bisa sampai ke akar rumput agar menjauhi gontok-gontokan (permusuhan). Pemilihan kepala daerah boleh panas namun hati harus tetap dingin. Kerukunan elite itu harus memanifestasi menjadi kerukunan bersama dan kedewasaan berpolitik.
You might also like
More from Poliklitik
Asian Values, Dinasti Politik: Warisan atau Kutukan?
Asian Values, Dinasti Politik: Warisan atau Kutukan? Di jagat politik Indonesia, dinasti bagaikan virus yang tak kunjung musnah. Bak jamur, ia …
Apa yang bisa kita harap dari Visi-Misi Amin?
Apa yang bisa kita harap dari Visi-Misi Amin? Di ambang era baru, Indonesia mendekati titik krusial dalam perjalanannya. Di tengah gelombang …
Kisah Asam Sulfat dan Asam Folat: Satu Huruf, Beda Dunia
Kisah Asam Sulfat dan Asam Folat: Satu Huruf, Beda Dunia Dalam drama panggung politik, terkadang skrip yang terlepas dari naskah bisa …