Beberapa waktu yang lalu kritikus dan akademisi sastra Maman Mahayana menuliskan kekangenannya dengan sastra koran, ternyata berbeda halnya dengan generasi muda di Jatinangor yang kangen dengan buku stensilan.
Biarkanlah Maman yang akademisi itu kangen dengan sastra koran yang dianggap kualitas kesusastraannya yang tinggi. Generasi muda tentu tidak harus ikut-ikutan kangen sama kekangenannya Maman.
Awalnya saya menduga buku stensilan sudah mati, gugur bersama para penulisnya yang memang berbeda generasi dengan anak-anak muda saat ini. Tetapi ternyata berbagai upaya dilakukan untuk menghidupkan kembali sastra stensil.
Untuk itu, perlu ditelusuri;
- Apa itu sebenarnya stensil?
- Bagaimana stensil berkembang?
Pada dasarnya stensil adalah kertas, yaitu sebagai media yang akan digunakan untuk sebuah kepentingan.
Lain halnya dengan grafiti di kota yang menggunakan teknik stensil yang masih hidup hingga saat ini, kita masih sering menemukan wajah Munir, Wiji Thukul di dinding-dinding ruang publik yang akan selalu dilihat dan diingat oleh berbagai lapisan masyarakat.
Tujuannya jelas bahwa pesan yang disampaikan adalah untuk merawat ingatan terhadap mereka.
Berbeda halnya dengan buku stensilan, dalam hal ini novel pop yang menggunakan kertas stensil dan mendesain covernya yang khas, buku stensilan itu adalah sebuah semangat zaman yang berkembang pada masa itu, masa di awal tahun 1970-an sampai dengan awal tahun 1990-an.
Usaha untuk mengadvokasi novelis stensilan dan mengembangkan gagasan dan semangat stensilan misalnya dilakukan oleh Eka Kurniawan, Intan Paramadita, dan Ugoran Prasad yang sempat mengeluarkan buku kumpulan cerpen budak setan.
Usaha ini bermaksud untuk memberikan penghormatan kepada novelis Abdullah Harahap atas kekonsistenannya berkarya dengan genre novel horor dengan media buku stensilan. Cover yang di desain juga mengikuti pola desain cover yang memang berkembang pada cover novel-novel stensilan.
Bagi Eka dkk, Abdullah Harahap adalah bagian dari kanon sastra horor di dalam kesusastraan Indonesia. Sebuah nama yang seringkali diabaikan karena memang buku novel stensilan dianggap tidak layak untuk dikaji di institusi akademik kesusastraan.
Padahal menurut Mikhael Johani, di barat tidak ada pembedaan terhadap karya horor sejenis novel Abdullah Harahap sehingga berakibat terdiskriminasinya sebuah karya sastra dari institusi akademik di sini. Di luar sana, nama-nama seperti Stephen King, Angela Carter, dan penulis horor lainnya adalah bagian dari rumah besar sastra.
Selain nama Abdullah Harahap, ada beberapa yang sangat dikenang sebagai penulis novel stensilan. Nama-nama tersebut adalah Bastian Tito, Enny Arrow, dan Fredi S. Enny Arrow dan Fredi S sangat digemari karena novel stensilan mereka kental akan kebebasan seksual.
Sedangkan Bastian Tito dikenal dengan Wiro Sableng yang hingga saat ini masih dikenang oleh banyak pembacanya. Bahkan Eka Kurniawan menyebutkan, Wiro Sableng adalah anti-hero di dalam novel silat, karena memang gambaran tentang pesilat telah didekonstruksi oleh Bastian Tito melalui Wiro Sableng.
Penulis stensilan dalam hal ini adalah pengarang yang tangguh dan konsisten dalam berkarya. Bisa dibayangkan berapa banyak seri novel Wiro Sableng, berapa banyak novel erotis Enny Arrow dan Fredi S, dan berapa banyak novel horor Abdullah Harahap.
Selain itu, novel stensilan juga merupakan komoditas ekonomi untuk pengarangnya dan juga produsen bukunya, selain juga sebagai tumpuan ekonomi bagi lapak-lapak koran dan buku di pasar-pasar atau dekat lampu merah kota.
Harga sebuah novel stensilan sangat murah pada saat itu, sangat berbeda dengan buku-buku yang ada pada umumnya. Sekali lagi, harganya jauh lebih murah, terjangkau dan ramah di kantong lapisan masyarakat kelas bawah.
Produsen yaitu penerbit yang menerbitkan novel stensilan mencetak satu judul buku dengan sangat banyak, dan dengan distribusi buku yang hampir ke seluruh pelosok-pelosok di Indonesia.
Berapa banyak estimasinya setiap produksi satu buku, memang perlu untuk mengkajinya lebih jauh, namun bayangkan saja jika satu judul buku dicetak 100.000 eksemplar buku, dan didistribusikan ke seluruh lapak-lapak/kios kelas menengah ke bawah di seluruh pelosok Indonesia, kemudian harganya yang sangat murah untuk ukuran sebuah buku, hanya dalam hitungan hari maka novel stensilan ini kemudian lekas habis. Jelas dengan ini, sebuah industri buku melalui novel stensilan bukan saja menggeliat, tetapi berputar dengan cepat.
Di era saat ini, ketika beberapa anak muda lainnya memilih untuk menjadi penulis internet atau kata Maman sastrawan Facebook, maka pilihan untuk menghidupkan lagi semangat stensilan sungguh penuh resiko.
Salah satu resikonya adalah kertas stensil agak sulit dicari, karena melalui medium kertas stensil ini sebenarnya kisah-kisah dicetakkan tintanya dan menjadi sebuah buku. Sudah jelas medium kertas stensil ini tidak akan digunakan dan ditinggalkan, karena yang saat ini berkembang pesat adalah digital printing, mesin print on demand.
Sebuah produksi buku menggunakan print on demand dapat dikatakan ongkos cetaknya lebih mahal, padahal sebenarnya semangat dari sastra stensilan adalah harganya yang terjangkau oleh seluruh lapisan masyarakat, sehingga kelas menengah ke bawah masyarakat membaca sastra dari penulis generasi terbaru.
Apa yang ditawarkan oleh konsep stensilan dari kelompok anak muda di Jatinangor? Dapat dikatakan baru menangkap semangat saja dari novelis stensilan generasi sebelumnya. Belum sampai pada tataran kekonsistenan berkarya, nafas yang panjang untuk menulis, serta inovasi dalam mengembangkan gagasan kesusastraan.
Buku yang diterbitkan baru satu, yaitu kumpulan cerpen dengan judul Tugas yang Terkahir karya Rifki. Kabarnya akan hadir beberapa buku yang sedang antri untuk diterbitkan.
Untuk ukuran pembanding dengan karya stensilan generasi sebelumnya, jelas sangat berbeda, kisah-kisahnya cenderung berbicara pada diri sendiri, impresi, dan ternyata belum selancar para novelis stensilan itu bercerita dan membangun dunia fiksi.
Jika pada sebelumnya di dalam sastra stensilan dihuni para penulis yang bernafas panjang dalam menulis novel sehingga menghadirkan sambungan puluhan episode. Maka sangat perlu anak-anak muda yang mengusung sastra stensilan ini untuk berlatih menulis dan bertahan menulis dengan nafas panjang.
Tentu pembaca kelas menengah ke bawah sangat rindu adanya tokoh-tokoh di dalam sastra stensil seperti misalnya detektif, jurnalis, pesilat tangguh, atau genre horor dengan perspektif masa kini, dan juga erotisme di masa kini. Dengan harga bukunya yang murah sekali, misalnya novel setebal 150 halaman harganya dibandrol Rp. 5.000,00.
Sebuah buku dengan harga murah sebenarnya yang paling mendekati adalah melalui ebook, akan tetapi sekali lagi bahwa ebook belum menjangkau seluruh lapisan masyarakat terutama kelas memengah ke bawah. Berapapun tebalnya sebuah ebook, maka harga sebuah ebook bisa saja dibandrol dengan harga Rp. 2000 yang bisa dititipkan pada google play atau kindle amazon.
Namun sekali lagi, ternyata barang cetakan belum sepenuhnya mati, segelintir anak muda di Jatinangor ingin mendekap semangat para sastrawan stensilan. Semoga buku kumpulan cerita yang mengusung semangat sastra stensilan ini terus digarap dengan baik dan serius, hingga menjadi industri tersendiri.
You might also like
More from Cerapan
Silent Treatment dalam Pertemanan: Saat Diam Menjadi Senjata
Silent Treatment dalam Pertemanan Dalam pertemanan, komunikasi adalah kunci utama untuk menjaga hubungan tetap sehat dan harmonis. Namun, apa jadinya jika …
Time Management Matrix: Strategi Efektif Mengelola Waktu dan Prioritas
Time Management Matrix: Strategi Efektif Mengelola Waktu dan Prioritas Dalam kehidupan yang semakin sibuk, kemampuan untuk mengelola waktu dengan baik menjadi …
Kebutuhan Tidak Penting tapi Mendesak
Kebutuhan Tidak Penting tapi Mendesak Dalam kehidupan modern yang serba cepat dan dinamis, sering kali kita dihadapkan pada berbagai macam kebutuhan. …