Malam itu langit tidak terlalu temaram. Bulan yang berada di atas kepalaku hanya menampakan diri separuh dari penuh lingkarnya. Mulai dari melihat ke atas langit, dari kejauhan terdapat banyak warna-warni lampu. Malam ini ada pesta di balai kota, dan aku menghadirinya dengan laki-laki beralis bagus hasil karya dari Tuhan yang maha esa. Alisnya bagus, hitam, rapat, rapi seperti alis-alis para perempuan yang melakukan sulam alis.
Dia berada di belakangku sekarang. Memelukku erat seraya mengayunkan perlahan badanku ke kanan dan ke kiri mengikuti alunan musik yang terdengar keras sedikit memekakkan telinga. Ada desiran bahagia yang terasa. Seolah-olah inner child yang ada di dalam tubuhku berlonjak-lonjak bahagia. Sudah lama sekali aku mendambakan perasaan seperti ini. Beberapa kali aku kemukakan pada teman baikku, Kiki. Aku ingin merasakan lagi jatuh cinta yang membuat hari-hariku berwarna. Membuat bangun tidurku bersemangat. Membuatku berguling-guling di atas tempat tidur sesaat setelah mendapatkan pesan dari seseorang.
Namun sepertinya ada yang tercuri malam ini. Mungkin pelukkan atau sekadar wangi coklat yang ada di rambutku, sisa-sisa masker rambut siang tadi sebelum pergi dijemput laki-laki yang terlihat begitu menarik seperti pangeran itu. Dia yang mencuri-curi untuk menghirup wangi cokelat yang berada di rambutku.
Pencuri harum cokelat dari rambutku itu aku panggil ‘mas’. Pernah ia protes karena panggilan itu. Mengingat umur kami hanya berbeda satu tahun. Aku pernah juga menyarankan panggilan lain untuknya, seperti: sayang, dear, honey. Tidak ada yang diinginkannya barang satupun. Aku kenal dengannya awal tahun 2018. Dia adalah rekan kerja beda divisi denganku. Sebulan ini aku mendekatkan diri dengannya, semoga ini adalah sebuah cara untuk mendekatkan dirinya kepadaku juga.
Namanya adalah J. singkat saja, tapi aku suka caraku menyebutkan namanya, J. terdengar begitu mesra. Aku suka sekali menatap wajahnya. J tampan. J cantik. Perpaduan keduanya. J mirip dengan salah satu penyair favoritku ketika dia masih muda. Wajahnya seperti Arjuna. Tampan. Aku suka sekali dengan kedua alisnya yang seperti ulat bulu, semuanya serba pas. Bulu matanya lentik. Hidungnya menyempurnakan kedua mata indah itu. Yang paling aku sukai selama bersamanya adalah, aku lebih menyayangi diriku sendiri dan dia membiarkan itu. Membiarkanku untuk tetap menomorsatukan diri. Sebulan ini adalah waktu-waktu paling bahagia dalam hidupku.
Malam ini, malam di mana ia memeluk dari belakang, dengan erat sesuai dengan dendang lagu yang terlantun dari panggung yang begitu megah di depanku dan J. Di hadapan kami ada Efek Rumah Kaca membawakan salah satu lagunya yang berjudul ‘Jatuh Cinta Itu Biasa Saja’ . Beberapa hari lalu, sebelum berada dalam pelukannya, aku setuju dengan setiap kata dalam lirik yang dilafalkan oleh Efek Rumah Kaca. Tapi tidak dengan malam ini. Jatuh cinta itu luar biasa rasanya. Dalam hatiku, terus menerus mengatakan hal itu. Sejujurnya, aku ingin mengungkapkannya kepada J. Permasalahannya, rasa malu dalam diriku rupanya lebih kuat dari rasa bahagia.
Ini malam minggu. Aku menunggu J menjemputku di rumah. Aku sudah sangat siap, dan benar-benar siap. Aku sudah berusaha terlihat secantik mungkin, baiknya begitu juga terlihat di mata indah J. Tidak lama lagi aku akan melihat senyumnya. Senyuman yang beberapa hari ini mengisi ingatanku. Semakin diingat, semakin lekat, semakin terjerat dan semakin dalam aku jatuh cinta dengannya. Ini tidak berlebihan, seseorang yang jatuh cinta memang cenderung melebih-lebihkan kebahagiaannya.
Mungkin tempat ini akan menjadi suatu tempat yang disukai banyak perempuan di dunia. Berada di tengah kota yang sama sibuknya dengan hatiku yang mulai menabung rindu-rindu untuk J. Terdapat lampu-lampu gantung yang etnik dan temaram. Dengan suara-suara musik yang akan menjadi latar suara kami berdua. Tidak begitu berisik, sehingga telingaku masih memungkinkan untuk dengarkan setiap kata dari J yang akan membuatku makin jatuh cinta. J duduk di sebelahku. Dia meminta untuk tidak menjauh. Tetap di sebelahnya dekat, rapat dan hangat. Aku suka mendengar ceritanya. Aku suka lihat gerakan bibirnya setiap kali ia angkat suara. J mampu membuatku tidak fokus dengan jam besar yang terdapat di sebuah bundaran terkenal di kota ini. Aku tidak peduli akan benda-benda di sekitar. Aku hanya ingin mendengar mata J yang bercerita selaras dengan bibirnya. Matanya sungguh dapat mengekspresikan ceritanya.
Cokelat hangat di atas meja sudah habis. Sudah terlewat berjam-jam di tempat ini bersama J. Dia mengajakku pulang. Katanya, Cinderella tidak boleh keluar rumah lewat tengah malam. Maka ia harus segera mengembalikanku ke beranda ibuku. Kami berjalan menyelusuri mall yang sudah tutup, beberapa lampu tokonya sudah mati. Getar rasa takutku dirasakan oleh J, dia mendekapku erat, berjalan dalam rangkulannya. Lengannya seolah berkata, kamu aman di sisiku. Aku tersenyum menyusuri selasar, escalator yang sudah mati membuat kami menuruni anak tangga bersama.
“Kamu senang jalan sama aku?” Tanya J. Aku merasakan matanya menatap ujung kepalaku. J mungkin mencari mata untuk ditatap saat aku menjawab pertanyaannya. Aku masih tetap memandang lurus ke depan, aku yakin bahwa diriku tidak akan sanggup menatap terlalu lama mata J.
“Senang sekali.” Jawabku singkat. Kembali diam tanpa menanyakan hal yang sama. Aku percaya diri saja J juga senang dengan kencan-kencan kita yang sudah-sudah. J memelukku. Erat. Aku membalas pelukkannya, saat ini aku berharap ada kecup di dahi. Hal itu tidak terjadi, kami kembali meneruskan perjalanan menuju parkiran mobil.
J mengarahkan kepalaku untuk bersandar di bahunya sambil meneruskan cerita di dalam mobil. Kami tertawa bersama, menikmati malam minggu di kota ini. J bercerita mengenai sahabatnya yang sangat ia pedulikan dan memedulikannya. Ia mengatakan, akan mengenalkan aku dengan sahabatnya itu. Nanti. Kami diam sesaat setelah cerita tentang sahabatnya itu selesai. Sesungguhya akupun ingin mengetahui jawaban dari pertanyaan yang tadi J layangkan kepadaku.
“…Terus, kalau Mas J…”
“Iya aku.”
“Senang atau tidak jalan bareng aku?”
“Iya senang. Aku tidak perlu jadi orang lain, itu yang buat aku senang.”
“Ya memang harusnya tetap menjadi diri sendiri.”
J merengkuh bahuku erat. Hangat tubuhnya menjalar mengaliri tubuhku. Dalam rengkuhannya itu, aku ingin teriak senang dan berlonjak-lonjak. Tapi, aku masih menjaga image. Aku hanya dapat tersenyum. Mobil J berhenti perlahan, tepat di depan rumahku. J menatapku, dalam. Aku dapat melihat jelas kedua bola matanya yang mulai memacu adrenalinku lebih cepat seperti saat naik roller coaster. Saat-saat ini juga aku merasakan setiap lagu yang J putar dalam mobilnya menjadi lagu cinta yang bahagia. Saat-saat seperti ini lagu cinta akan terdengar lebih indah setiap kata dari liriknya.
“Aku bingung ya kalau harus buat hubungan itu seperti apa? Yang pasti aku senang sekali bareng kamu. Setiap pulang ke rumah sehabis bertemu kamu, aku seperti memiliki rasa bahagia yang berlebih. Tapi aku bingung harus omong apa?” Kata J seraya menatapku dan memegang bahuku. Akupun tidak mengerti harus menjawab apa. Aku hanya mampu tersenyum menatapnya, dan berulang kali mengucapkan kata “iya” yang padahal tidak ada ‘yes’ atau ‘no’ question dalam pernyataannya itu. Aku memeluknya. Mencium pipi kanan dan kirinya. Mencium bibirnya. Dari balik jendela pintu mobil aku melihat bulan penuh malam itu. Besar dan bulat sekali bulannya. Sebesar dan sebulat mata J dari jarak sedekat ini. Hawa semakin dingin, sebab deru napas J dapat aku dengar. Ah… Semoga J tidak mendengar degub jantungku.
You might also like
More from Fiksi
Surat untuk Mantan
Lara, Ini mungkin adalah surat yang kesekian kali kutulis, tapi kali ini rasanya berbeda. Seperti ikan besar yang terjerat di jaring …
5 Cerpen Cinta yang Akan Bikin Kamu Terbawa Perasaan
5 Cerpen Cinta yang Akan Bikin Kamu Terbawa Perasaan Hey Sobat Semay, siap untuk terbawa oleh ombak perasaan yang mendalam? Ini …
Lamunan Empok Hayat
Lamunan Empok Hayat Dalam Sekian Babak Bunyi berita tentang cuaca ekstrem dan curah hujan tinggi tertangkap telinga Empok Hayat. Kalau saja …