Sebagai anak yang terlahir di keluarga beragama Abrahamik, saya dicekoki kepercayaan bahwa Tuhan serba Maha: Maha Tahu, Maha Baik, Maha Berkuasa. Dulu saya percaya dan mensyukuri teori itu sepenuhnya, namun tidak lagi. Bagi saya, kekuasaan Tuhan itu menimbulkan suatu situasi yang amat menyebalkan.
Ketika saya memikirkan betapa saya ingin dapat memilih untuk menolak kelahiran saya, sungguh, yang paling menyebalkan di antara semua kekuasaan Tuhan adalah eksistensi yang tidak dikehendaki yang dibebankan-Nya pada para makhluk-Nya (atau sebut saja pada saya, supaya saya tidak menggeneralisasi secara ceroboh). Bagi saya hidup bukanlah pilihan, namun ironisnya mati sudah pasti (dan bisa jadi mati dengan menyakitkan).
Hal menyebalkan lainnya adalah menghadapi kekacauan yang timbul dari diri saya sendiri dan perilaku para sesama makhluk yang juga tidak tahu mengapa mereka harus ada. Celakanya, semakin acaklah segala kemungkinan setelah mati. Apakah kita akan hilang begitu saja? Masuk neraka? Masuk surga? Perkara masuk surga dan neraka pun untung-untungan! Sejauh apa saya harus menaati-Nya? Apabila tidak ada kebaikan yang sempurna karena berbagai dilema moralitas, harus seperti apa saya hidup supaya mendapat jaminan surga? Tidak jelas!
Karena semua hal itu, menurut saya, ada dua kemungkinan. Pertama, Tuhan adalah seorang diktator yang menciptakan makhluknya untuk menonton penderitaan mereka. Oleh karena itu, apapun kekacauan hasil ciptaan-Nya, tidaklah dianggap sebagai tanggung jawab-Nya. Sialnya, karena Ia diktator, Ia tetap menuntut semua ciptaan-Nya untuk “hidup seturut kehendak-Nya”. Kemungkinan kedua, Tuhan adalah suatu pribadi yang sangat iseng dan terlalu banyak bereksperimen. Barangkali Ia adalah seorang ilmuwan. Saya lebih berharap kemungkinan kedualah kenyataannya.
Pikir saja, apabila sungguh Tuhan adalah diktator yang serba Maha, terlalu besar kekuasaannya bagi alam pikiran manusia, maka apakah sedikit kritik pun di dalam pikiran kita akan dihukum-Nya? Ini belum bicara soal kemungkinan surga dan neraka yang juga wilayah kekuasannya. Apabila Tuhan itu diktator serba Maha, maka ia adalah pribadi yang mengerikan. Dengan kekuasaan tak terbatas, mampu mengatur (atau juga mengabaikan) kehidupan makhluknya sesuka hatinya. Tapi kan Tuhan Maha Baik? Sungguhkah? Pernah dengar the problem of evil?
Apabila Tuhan adalah seorang ilmuwan (kemungkinan kedua), maka saya dapat sedikit lega karena kemungkinan besar Ia adalah pribadi yang mengizinkan ciptaan-Nya untuk juga berkesperimen dan menoleransi segala kealpaan dalam kegiatan eksperimen hidup ciptaan-Nya. Sebab, barangkali Ia pun bereksperimen tanpa henti dengan jagat raya ciptaan-Nya.
Apapun Ia, saya ingin menggugat-Nya karena eksistensi saya yang acak dan sesungguhnya tidak saya inginkan. Mengapa saya harus menjadi bagian dari eksperimennya? Saya tidak mau, jika dapat memilih.
Apakah Ia seorang ilmuwan sekaligus diktator? Ah, entahlah… Pokoknya saya tetap menggugat dan mempertanyakan eksistensi saya. Apabila Ia sedang membaca gugatan ini, saya berharap Ia dapat memahami keresahan saya dan tidak menghukum saya atas kelancangan ini. Semoga.
More from Ruang Raung
Dari CEO Restock ID Kita Belajar
Dari CEO Restock ID Kita Belajar.... Rombongan motor dan mobil berkonvoi berkeliling kota. Mengibarkan bendera kebanggaan sebagai ciri identitas organisasi yang …
Pak Jokowi, Jadi Gini
Usia kemerdekaan Indonesia "Pak Jokowi, Kapan ya Kita Merdeka dari Ambisi?" Usia kemerdekaan Indonesia kini sudah menyentuh 75 tahun. Ya, 75 tahun …
Antara Kedai Kopi dan Dilema Pejalan Kaki
Kedai Kopi dan Dilema Pejalan Kaki Selepas kelas malam, sepulang dari kampus, sekitar jam 7 malam, saya berjalan kembali ke kos. …