Mengiringi Waktu dengan “Everybody’s Changing”
Di musim semi tahun 2004, dunia diperkenalkan pada suara yang melankolis sekaligus reflektif. Keane, dengan album debut mereka “Hopes and Fears,” mengukir tempat khusus dalam hati banyak orang melalui lagu “Everybody’s Changing.” Tak terasa 4 pilpres telah kita lalui, dan lagu ini, seperti angin sepoi-sepoi di pantai sepi, tetap mengingatkan kita pada betapa cepatnya waktu berlalu dan bagaimana kita, dalam perjalanan hidup ini, sering merasa tertinggal.
“Everybody’s Changing” bukan hanya sebuah lagu; ia adalah sebuah kontemplasi tentang perubahan dan ketidakmampuan kita, manusia lemah ini, dalam mengejar arus waktu. Dengan lirik sederhana dan tak sulit untuk memahami, Tom Chaplin menyuarakan kegelisahan yang mungkin pernah kita rasakan di suatu titik dalam hidup. “Man is the cruelest animal,” kata Nietzsche, tetapi mungkin, kekejaman waktu adalah yang paling menyakitkan. Waktu yang terus berlari tanpa memperhatikan apakah kita siap untuk berubah atau tetap tinggal di tempat kita berdiri.
Bayangkan seorang lelaki yang duduk di sudut sebuah ruang depan rumah, menatap ke jalan desa. Hujan turun, menciptakan simfoni brutalitas yang melankolis namun sungguh keji. Di sudut ini, dia melihat orang-orang berlalu lalang, wajah-wajah yang menanggung waktu, beban yang makin tak tertangguhkan. Mereka datang dan pergi, seperti ombak yang mencium pantai hanya untuk kembali ke laut. Dia mendengarkan “Everybody’s Changing” dari Keane yang mengalun lembut di ruang tamu yang menyala melalui laptopnya, dan tiba-tiba, nostalgia itu menghentak.
Lagu ini seolah menjadi saksi bisu dari semua kejadian dalam hidupnya selama 20 tahun terakhir. Teman-teman yang pergi, cinta yang remuk redam, karir yang meroket dan kemudian terjungkal dengan mudah serta impian yang perlahan memudar. Namun, di tengah semua perubahan itu, ada sesuatu yang tetap: perasaan bahwa dia selalu tertinggal, selalu merasa bahwa semua orang bergerak maju sementara dia terjebak dalam lubang yang sama, berputar-putar.
Musik Keane, dengan piano yang dominan dan vokal yang menyentuh, menciptakan atmosfer yang seolah membawa kita kembali ke masa-masa itu. Ke masa ketika kita duduk di bangku Sekolah Menengah Atas, dengan segala harapan dan ketakutan kita tentang masa depan. Ke masa ketika kita pertama kali patah hati kala kematian seorang Ibu digrogoti tumor ganas, yang kemudian disusul sahabat lantaran over dosis, dan merasa bahwa dunia telah benar-benar menemu akhir. Dan kini, mendengarkan lagu ini lagi, semua kenangan itu datang kembali, seperti hantu-hantu yang muncul di malam hari, terkadang lebih menakutkan dari 7 setan desa.
Dalam “Everybody’s Changing,” ada keindahan yang menyakitkan, sebuah pengakuan bahwa meskipun kita ingin merangkul perubahan, ada bagian dari diri kita yang selalu ingin tetap di masa lalu, sekalipun itu hal yang mustahil. Hemingway, mungkin akan mengatakan bahwa hidup adalah serangkaian pertempuran yang kita tahu kita akan kalah. Namun, di sinilah kita menemukan makna. Dalam perjuangan, dalam ketidakpastian, dan dalam menerima bahwa, meskipun semuanya berubah, ada sepercik makna dalam setiap momen yang kita lalui.
Dua puluh tahun telah berlalu sejak “Everybody’s Changing” pertama kali dirilis, dan meskipun dunia terus berubah, lagu ini tetap menjadi pengingat abadi akan perjalanan kita. Sebuah perjalanan di mana kita terus mencari makna, terus mencari tempat kita di dunia yang selalu berubah. Dan di tengah semua itu, lagu ini mengingatkan kita bahwa, meskipun semuanya berubah, kita tidak pernah benar-benar sendirian.
Tidak.